Dorong Parpol Penuhi Keterwakilan Perempuan

Maju sebagai Calon Legislatif pada Pemilu 2024

SUMBER: SEKRETARIAT DPRD PROVINSI KALTENG

“Partai politik memang dituntut untuk bekerja lebih keras untuk bias memenuhi persentase keterwakilan perempuan”

Dr Jhon Retei Alfri Sandi

Pengamat Politik

PALANGKA RAYA-Keterwakilan perempuan di kursi DPRD kabupaten/kota dan provinsi di Bumi Tambun Bungai masih minim. Padahal dalam Undang-Undang Pemilu sudah jelas diatur perihal 30 persen keterwakilan perempuan. Namun kenyataannya, rata-rata persentase di Kalteng baru mencapai angka 26 persen. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik (parpol) dalam memenuhi keterwakilan perempuan yang ikut mencalon pada pemilu legislatif 2024 mendatang.

Kewajiban 30 persen keterwakilan perempuan ini telah diatur dalam pasal 53 UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada pasal 52 memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Berdasarkan data Sekretariat DPRD Provinsi Kalteng, jumlah wakil rakyat periode 2019-2024 di 14 kabupaten/kota dan provinsi sebanyak 424 orang, dengan rincian 112 perempuan (26,45 persen) dan 312 laki-laki.

Dari data tersebut, hanya ada empat daerah yang memenuhi jumlah minimal 30 persen anggota legislatif perempuan. Yakni Kabupaten Barito Selatan (40 persen), Barito Utara (32 persen), Gunung Mas (48 persen), dan Kota Palangka Raya (30 persen). DPRD Provinsi Kalteng juga tercatat telah memenuhi kuota ideal 30 persen, dengan proporsi anggota legislatif perempuan 33,33 persen. Sementara itu, tiga kabupaten/kota terbawah dalam hal jumlah keterwakilan perempuan di lembaga legislatif adalah Kabupaten Seruyan, Katingan, dan Murung Raya (selengkapnya pada tabel).

Agar keterwakilan perempuan terpenuhi pada pemilu legislatif 2024, pengamat politik Dr Jhon Retei Alfri Sandi menyebut perlu ada dorongan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Memang yang melaksanakan partai politik, tapi ada dua komponen yang bertanggung jawab, yakni KPU dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu, kedua lembaga tersebut  mesti bisa mendorong partai politik menerapkan ketentuan pasal terkait kewajiban 30 persen keterwakilan perempuan,” kata Jhon kepada wartawan, Minggu (11/12).  

Ia menjelaskan, undang-undang telah mengamanahkan perihal keterwakilan perempuan. Namun pada lain sisi masih banyak perempuan yang tak mau terjun di dunia perpolitikan. Ini menjadi kesulitan yang dihadapi partai politik, terkhusus partai politik baru.

“Ini menjadi tantangan dalam sistem politik yang ada, bagaimana bisa menumbuhkan kesadaran perempuan untuk ikut berpolitik. Bagaimana partai politik menyosialisasikan dan memperkenalkan diri, sehingga jumlah kuota 30 persen bisa terpenuhi di tiap daerah,” tutur wakil dekan FISIP Universitas Palangka Raya (UPR) itu.

Jhon juga menjelaskan soal peran KPU sebagai pintu gerbang dan Bawaslu sebagai pengawas, sekaligus mempertanyakan ketegasan sanksi jika kuota 30 persen tidak dipenuhi oleh parpol. Karena selam ini sanksi hanya dalam bentuk administrasi, tidak sampai menganulir partai politik.

“Berbicara soal ini, perlu penyelesaian dari hulunya, yakni memberikan pendidikan politik yang baik sehingga masyarakat memiliki kesadaran dan berbondong-bondong mendaftarkan diri, dengan demikian partai politik pun tidak kesulitan menemukan kader,” ucap Jhon.

Dikatakan Jhon, lahirnya ketentuan undang-undang yang mengharuskan adanya keterwakilan perempuan merupakan upaya negara untuk mendorong partisipasi perempuan dalam politik. Untuk itu perlu ada instrumen yang bisa mendorong kaum perempuan untuk percaya diri ikut mencalonkan diri dalam pemilu.

“Partai politik memang dituntut untuk bekerja lebih keras dalam memenuhi persentase keterwakilan perempuan,” ucapnya.

Jhon menyarankan agar lembaga penyelenggara pemilu memberi penghargaan kepada parpol yang bias memenuhi persentase tersebut. Menurutnya, dengan adanya penghargaan itu, publik akan menilai bahwa tiap partai politik memiliki keseriusan dalam menjalankan ketentuan itu.

Salah satu perempuan yang duduk di kursi DPRD Kalteng, Kuwu Senilawati menjelaskan bahwa keterwakilan perempuan sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Dia mencontohkan Cut Nyak Dien dari Aceh, Fatmawati, dan Dewi Sartika. Menurutnya perlu ada pendidikan atau sosialisasi untuk memberikan pemahaman perihal peran perempuan di dunia politik, khususnya di lembaga legislatif.

“Sederhananya, dalam rumah tangga perlu ada perempuan untuk membantu, begitu juga dengan dunia pemerintah, ditambah lagi naluri keibuan perempuan akan sangat membantu dalam memberikan pandangan pada setiap aturan yang dikeluarkan,” tegas srikandi dari fraksi Gerindra itu.

Terpisah, Ketua Komisi III DPRD Provinsi Kalteng Nafsiah juga angkat bicara soal peran perempuan di dunia politik maupun lembaga pemerintahan.

“Dengan adanya keterlibatan perempuan dalam lembaga plegislatif, segala kebijakan dan keputusan politik dapat lebih akomodatif dan substantif berpihak kepada perempuan. Tanpa kehadiran perempuan, lantas siapa yang akan memperjuangkan itu, adanya perempuan pun belum tentu bisa mengatasi ini, apalagi kalau tidak ada. Karena itu keberadaan perempuan mutlak diperlukan,” tegas Nafsiah.

Menurut kader Partai Golkar itu, peran perempuan masih perlu terus didorong, karena peraturan negara sudah memberi ruang untuk itu. Namun pada sisi lain masih ada cukup banyak kendala yang ditemui perempuan untuk bias eksis, baik kendala dari diri sendiri maupun lingkungan.  

“Salah satunya karena terbentuk stereotip bahwa perempuan adalah kaum lemah, yang secara pendidikan masih jauh tertinggal dari laki-laki, sementara laki-laki dinilai jauh lebih kuat, lebih mampu, dan sebagainya,” sebutnya.

Kendala lain yang juga dihadapi adalah soal subordinasi, marjinalisasi, dan beban ganda yang dipikul perempuan. Meski demikian, Nafsiah tetap menekankan bahwa kaum perempuan harus berani untuk tampil sejajar dengan laki-laki.

“Kita hanya berkutat pada tataran teori saja, tapi tidak tahu persis bagaimana politik itu sesungguhnya. Karena itu, melek politik bagi perempuan dewasa ini menjadi hal yang penting, jangan dianggap sebagai hal tabu,” tegasnya.

Ia juga menyayangkan para suami dan keluarga yang cenderung menghambat perempuan untuk terjun ke dunia perpolitikan.

Terpisah, Anggota Komisi II DPRD Kalteng Ina Prayawati menuturkan, berbicara soal pencalonan politik, kembali kepada tiap individu (perempuan, red). Siapa pun yang memantapkan diri untuk maju, artinya telah siap bertarung. Yang perlu diasah adalah mental agar kuat menghadapi gejolak yang terjadi di dunia perpolitikan.

“Saya pikir laki-laki dan perempuan itu sama saja, tidak ada bedanya, mau dibilang beda soal empatinya, tapi banyak saja kaum laki-laki yang memiliki itu, kendala sebenarnya adalah kemampuan bertarung yang kurang diasah,” ucapnya sembari menyebut, banyak saja perempuan yang mencalonkan diri, tapi tidak mau terjun langsung ke tengah masyarakat agar makin dikenal. Hal ini juga yang membuat keterwakilan perempuan di parlemen sering tidak terpenuhi. (irj/ce/ala/kpfm)

172 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.