PALANGKA RAYA-Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Tengah (Kalteng) telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk pemilu 2024 berjumlah 1,9 juta jiwa. 60 persen atau 1 juta lebih pemilih dari total pemilih tersebut merupakan kelompok muda dari kalangan generasi milenial dan generasi Z (data lengkap pada tabel).

Anggota KPU Provinsi Kalteng Harmain Ibrohim membeberkan jumlah pemilih dari generasi Z (lahir 1997-2012) mencapai 24,7 %, dan generasi milenial atau generasi Y (lahir 1981-1996) mencapai 36,5 %. Dengan demikian, 60 persen dari total pemilih Kalteng merupakan kaum muda.
“Begitu dominannya jumlah pemilih dari kedua generasi ini, menuntut KPU Kalteng membuat prioritas untuk sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada mereka, dalam rangka mendorong keterlibatan generasi milenial dan generasi Z dalam pemilu 2024,” ucap Harmain selaku anggota KPU Kalteng dari divisi sosialisasi pendidikan pemilih partisipasi masyarakat dan sumber daya manusia (SDM).
Strategi yang dipakai KPU Kalteng adalah memanfaatan media sosial sebagai wadah sosialisasi pemilu, karena kaum milenial dan generasi z hampir tiap saat menjelajahi media sosial. Strategi lainnya yakni penerapan jemput bola dengan melaksanakan sosialisasi terkait pemilu 2024 ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus.
Dikatakan Harmain, KPU telah membuat MoU dengan beberapa kampus di Kalteng, seperti UPR, IAIN Palangka Raya, UMPR, Unkrip. Di antara menyangkut kegiatan magang dan program MBKM mahasiswa di KPU Kalteng, kegiatan pendidikan pemilih dengan menghadirkan mahasiswa di Rumah Pintar Pemilu KPU, dan pada saatnya nanti melibatkan mahasiswa dalam program Relawan Demokrasi.
“Jadi, para mahasiswa yang berasal dari generasi milenial dan generasi Z tidak hanya fokus pada penggunaan hak pilih, tetapi juga bisa ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan kepemiluan,” tuturnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Barometer Kebijakan Publik dan Politik Daerah (Bajakah) Institute, Farid Zaky Yopiannor SSos MSi mengatakan, berdasarkan demografi pemilih di Kalteng, diperlukan strategi khusus dari para politikus untuk dapat menggaet suara atau dukungan, karena tiap kelompok generasi ini memiliki gaya berbeda dalam hal kecenderungan untuk terlibat dalam politik praktis.
“Tiga kategori generasi ini merupakan generasi yang dalam tanda kutip, cerewet dan berisik, terutama karena tingkat melek teknologi mereka yang tinggi. Perlu strategi dari caleg atau parpol kekinian yang berbasis teknologi. Misalnya dengan memaksimalkan kampanye melalui media sosial,” ungkap Zaky kepada Kalteng Pos, Rabu (5/7).
Tak hanya itu, Zaky menyebut, strategi komunikasi politik via media sosial juga harus menggunakan diksi-diksi ala generasi milenial, sehingga dapat menarik simpati mereka untuk memberikan dukungan. Menurutnya, perlu strategi berbeda untuk menggaet dukungan dari tiap generasi pemilih, terutama generasi Y dan generasi Z.
“Dengan tingkat literasi teknologi mereka yang lebih tinggi daripada generasi X, perlu penetrasi platform partai yang bervariasi. Kalau generasi X basis ideologi partai masih kuat, sementara Y dan Z lebih kritis terhadap kinerja dan track record partai, sehingga partai perlu mengarusutamakan manajemen isu dalam komunikasi politik,” tuturnya.
Menurut kandidat doktor ilmu kebijakan publik dari Universitas Brawijaya itu, diperlukan usaha ekstra keras untuk menggaet suara dari kelompok generasi yang berbeda itu.
“Jika ingin menyasar generasi Y dan generasi Z, perlu kerja ekstra keras dalam meramu program kerja yang relevan dengan ‘keresahan’ dan ‘kegalauan’ yang dihadapi kalangan muda dan pemilih pemula,” ungkapnya.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR) itu, caleg parpol harus mengikis jargon yang bersifat populis terkait citra semata, tetapi perlu tawaran kerja berupa visi dan misi yang jelas.
“Untuk target generasi X juga demikian, perlu tawaran platform kerja caleg atau partai yang konkret, sehingga bisa memikat hati mereka. Umumnya generasi X juga masih didominasi oleh pemilih rasional,” tambahnya.
Zaki mengatakan, pemilih generasi Z cenderung lebih cerewet, karena cukup memahami pengetahuan baru tentang demokrasi dan aktivitas perpolitikan. Mereka juga relatif baru terpapar konsep-konsep politik dan kebijakan publik, sehingga kritis dan daya nalarnya masih tinggi, serta lebih open minded.
“Oleh karena itu, caleg atau parpol perlu mengombinasikan kematangan tokoh dan tawaran cara kerja baru sehingga dapat memikat hati pemilih. Penggunaan teknologi sangat wajib untuk menggaet simpati mereka,” ucapnya.
Menurut Zaky, pendekatan berbeda harus dilakukan terhadap pemilih generasi X. Menurutnya, generasi ini didominasi oleh generasi matang dalam hal politik. Mereka punya experience dengan berbagai macam pemilu, sehingga dapat dianggap sebagai generasi yang cukup makan garam terhadap dinamika pemilihan umum.
“Generasi X juga sudah khatam dengan pentingnya serangan fajar dan politik uang, sehingga ceruk karakter tokoh yang mereka pilih biasanya lebih senior, yang mereka anggap mampu dan kompeten dalam memimpin,” ujarnya, sembari menambahkan bahwa generasi X cenderung lebih mendukung calon yang mempunyai karakter ketokohan senior dan background sosiologis seperti ormas yang berlandaskan agama, suku, dan etnis.
“Arah generasi Y dan Z lebih open minded, mereka tidak terlalu menitikberatkan pada background sosiologis, tetapi pada kompetensi leadership seorang calon. Mereka lebih cenderung ke tokoh yang mampu memikat hati anak muda dan punya karakter solving problem, serta tawaran manajemen isu publik yang cerdik, terutama melalui platform media sosial,” tuturnya.
Adapun generasi X, kata Zaky, lebih tertarik pada isu-isu pragmatis seperti kesejahteraan sosial ekonomi, model bantuan sosial yang seperti apa, program kesejahteraan pensiun, dan lain-lain. Dengan kata lain, lanjutnya, generasi X merupakan kumpulan para pemilih yang mapan politik dan biasa bercengkerama di kedai warung kopi sembari berdiskusi tentang kegelisahan pendapatan sehari-hari.
“Generasi Y dan Z hampir mirip dalam hal isu tentang digitalisme, pengembangan kepemudaan, ekonomi kreatif, reformasi birokrasi, dan pemberantasan korupsi, sampai pada demokrasi yang bersih. Kedua generasi ini lebih suka mendalami track record para tokoh caleg atau parpol, jadi harus bebas dari riwayat korupsi,” tandasnya.
Sementara itu, pengamat politik Dr Jhon Retei Alfri Sandi mengatakan, para caleg perlu sepenuhnya dapat merangkul generasi Y dan Z. Penting bagi parpol-parpol melakukan transformasi agar bisa merespons kecenderungan politik, karena kedua kelompok ini merupakan pemilih yang paling kritis, karena menguasai informasi.
“Di dalam konsep marketing, seorang calon seharusnya bisa memetakan karakteristik tiap kategori pemilih, sehingga saat sosialisasi, sang caleg mampu menggunakan media yang sesuai dengan kelompok generasi yang ditemui,” tegas Jhon Retei.
Jhon mencontohkan, pemilih berusia di atas 45 tahun biasanya menghabiskan hari-harinya dengan menonton televisi dan membaca koran. Otomatis strategi pendekatan untuk pemilih generasi ini berbeda dengan kelompok generasi Y dan Z yang cenderung menggunakan media sosial.
“Misalnya di salah satu dapil didominasi usia generasi Y dan Z, tentunya penggunaan media sosial mainstream menjadi salah satu strategi untuk memperkenalkan sosok calon kepada masyarakat luas,” tegasnya.
Terhadap generasi Z dan Y yang suka bergabung dengan komunitas-komunitas, tutur Jhon, para caleg harus mampu membaur. Pola sosialisasinya pun perlu disiapkan secara matang, sehingga kelompok yang didekati merasa nyaman dan tertarik. (irj/dan/ce/ala/kpfm)