Puasa Asyura Menghapus Dosa

Keistimewaan 10 Muharram bagi Umat Islam

PALANGKA RAYA-10 Muharram merupakan hari spesial dan istimewa bagi umat Islam. Bagaimana tidak? Banyak peristiwa penting pada bulan Muharram ini bagi peradaban Islam. Banyak anjuran dan keutamaan yang sunah untuk dilakukan. Mulai dari salat, sedekah, zakat, hingga melaksanakan puasa Asyura (keistimewaan dan malam yang dianjurkan pada 10 Muharram lihat grafis).

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalteng Prof Dr KH Khairil mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh khalayak mengenai keistimewaan 10 Muharram dan anjurannya. Di antaranya, berdasarkan Al-Qur’an dan hadis keutamaan 10 Muharram adalah terlepasnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun saat menyeberang di Laut Merah dari Mesir menuju Arab Saudi. Saat itu, menurut pemaparan Prof Khairil, Nabi Musa bisa selamat, sedangkan Fir’aun tenggelam.

“Kemudian orang-orang Yahudi memperingati lepasnya Nabi Musa dari kejaran Firaun dengan berpuasa,” kata Prof Khairil Anwar dalam wawancaranya dengan Kalteng Pos, Selasa (25/7).

Nabi Muhammad yang mengetahui hal tersebut berkata bahwa orang Islam juga berhak untuk menghormati hari asyura atau 10 Muharram.

“Menurut Rasulullah, dengan terlepasnya Nabi Musa dari kejaran Firaun, maka umat Islam juga disunahkan untuk berpuasa. Barang siapa berpuasa di hari Asyura, maka akan diampuni dosa-dosanya selama satu tahun. Terutama dosa-dosa kecil, akan diampuni oleh Allah Swt,” jelas mantan rektor IAIN Palangka Raya itu.  

Prof Khairil melanjutkan ceritanya, Nabi Muhammad juga mensunahkan puasa hari kesembilan atau yang disebut juga dengan puasa Tasu’a. “Itu untuk membedakan dengan puasa orang Yahudi,” ucapnya.

Saat itu Nabi Muhammad berkeinginan berpuasa di hari kesembilan Muharram tahun depan. Namun wafat sebelum keinginan itu tercapai. Sehingga ada cita-cita nabi yang ingin berpuasa di hari kesembilan. “Kita mendengar hadis itu, tentu disunahkan juga untuk puasa di hari kesembilan,” tambahnya.

Maka di hari kesembilan dan kesepuluh, umat Islam disunahkan untuk berpuasa, yang dinamakan puasa sunah tasu’a dan puasa sunah asyura, sebagai bentuk penghormatan terlepasnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.

Selain itu, yang perlu diketahui juga, dalam Al-Qur’an disebutkan Nabi Nuh terlepas dari bala berupa banjir bandang pada tanggal 10 Muharram. Setelah sekian lama terjebak dalam kapal akibat banjir, persediaan makanan pun kian menipis. Kemudian Nabi Nuh memerintahkan kepada seluruh penghuni kapal untuk mengumpulkan sisa-sisa makanan.

“Sisa-sisa makanan dikumpulkan, baik berupa biji-bijian dan lainnya, kemudian sisa-sisa persediaan makanan itu diolah menjadi bubur untuk dimakan bersama,” jelasnya.

Sehingga hingga saat ini tepat pada tanggal 10 Muharram, umat Islam pada umumnya membuat bubur asyura sebagai bentuk rasa syukur dan memperingati selamatnya Nabi Nuh dari banjir bandang.

“Atas dua kejadian itu, maka sebagai umat Islam harus menghormati dengan cara bersyukur karena telah diselamatkan dari berbagai musibah,” ucapnya.

Begitu pula dengan cerita nabi yang lain. Ada banyak cerita seperti kisah Nabi Isa, Nabi Ibrahim, ataupun Nabi Yunus. Namun sayangnya tidak banyak diketahui dasarnya. Hanya tahu ceritanya saja.

“Jika ditinjau dari berbagai tafsir terkait Nabi Nuh dan Nabi Musa, memang ada riwayat yang kuat,” tambahnya.

Lalu selain daripada puasa sunah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram, umat muslim juga dianjurkan untuk memperbanyak istigfar.

“Perbanyak selawat kepada Nabi Muhammad, juga memperbanyak sedekah kepada keluarga, istri, anak, ataupun kepada anak yatim dan mereka yang membutuhkan. Itulah yang perlu dilakukan oleh umat Islam dalam memperingati 10 Muharram,” jelasnya.

Ketua MUI Kalteng itu juga mengatakan, tanggal 9 dan 10 Muharram tahun ini bertepatan dengan malam Jumat.

“Masyarakat (umat Islam, red) diharapkan dapat mengamalkan dengan sebaik-baiknya,” tutur Khairil.

Ia juga mengingatkan kepada umat Islam untuk bersedekah kepada anak yatim. Menurutnya, dengan mengusap satu helai rambut anak yatim bisa meningkatkan derajat.

“Makanya ada tradisi memegang rambut anak yatim pada tanggal 10 Muharram saat memberikan sedekah atau santunan, karena dalam satu helai rambut bisa mengangkat drajat orang yang bersedekah,” terangnya.

Sementara itu, pengajar Pondok Pesantren (Ponpes) Anwarul Yaqin, Fajriannor menjelaskan, bulan muharram adalah salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt. Bahkan merupakan bulan yang paling mulia di antara bulan-bulan yang lain (Dzulqaidah, Dzulhijjah, dan Rajab).

“Tertulis di dalam hadis orang-orang Quraish zaman jahiliyah dan mereka berpuasa dari pada hari Asyura, dan Rasulullah juga berpuasa di hari Asyura. Dan mana kala Rasulullah berhijrah ke kota Madinah, ia berpuasa di hari Asyura dan memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa. Manakala diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadan, maka Rasulullah berpuasa pada bulan Ramadan. Tapi setelah itu Rasulullah tidak memerintah para sahabatnya untuk berpuasa di hari Asyura, dalam artian tidak memaksa untuk berpuasa di hari Asyura. Ini hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim,” sebut Fajriannor, Selasa (25/7).

Fajriannor yang juga merupakan murid dari Habib Umar Al-Hafiz itu mengingatkan kepada para umat IsIam untuk menyambut hari yang mulia itu dengan melakukan amaliah-amaliah yang mulia pula.

“Sebagaimana yang dianjurkan, di antaranya silaturahmi, sedekah, mandi sunah, ziarah ulama, ziarh orang yang sakit, mengusap kepala anak yatim, puasa, dan lainnya,” beber alumnus Daarul Musthofa Tarim Hadromaut, Yaman itu.

Salah satu amalan yang dimaksud adalah meluaskan rezeki kepada keluarga.

“Kata Ibnu Mansyur kepada Imam Ahmad; apakah kamu mendengar dalam hadis siapa orang yang meluaskan. Arti meluaskan itu yakni meluas rezeki kepada keluarga. Sebagai contoh, kalau pada hari-hari biasa memberikan keluarga 50 ribu rupiah, maka pada hari Asyura ditambahkan menjadi 200 ribu rupiah, atau kalau pada hari biasa makan telur, maka pada hari Asyura makan daging. Siapa yang meluaskan rezeki untuk keluarga pada hari Asyura, maka Allah akan meluaskan rezeki kepadanya dalam setahun. Kemudian jawab Imam Ahmad; aku pernah mendengar itu,” ucap Fajriannor.

Ia juga menjelaskan bagaimana masyarakat menyalahartikan kemuliaan pada hari Asyura, seperti menyakiti diri sendiri. Hal itu menggambarkan bagaimana perilaku kaum khawarij atau biasa dikenal di Indonesia sebagai kaum Syi’ah.

“Dengan menyakiti diri sendiri, mereka (Kaum Syi’ah) menghubungkan bagaimana kematian Saidini Husain. Padahal di Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak pernah mengajarkan untuk menyakiti diri sendiri,” tegasnya. (zia/irj/ce/ala/kpfm)

81 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.