Dorong Pemerintah Percepat Pengakuan Hutan Adat

PALANGKA RAYA-Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan 15 hutan adat (HA) di Kabupaten Gunung Mas (Gumas) dengan total luas ± 68.326 hektare (ha). Dengan demikian, Gumas tercatat sebagai kabupaten yang memiliki hutan adat terluas se-Indonesia. Disinyalir masih ada banyak wilayah hutan adat yang perlu disahkan dan diakui oleh pemerintah, tersebar di sejumlah daerah di Bumi Tambun Bungai. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Save Our Borneo (SOB), Muhammad Habibi. 

Ia menjelaskan, secara keseluruhan, hampir 12 juta hektare (ha) wilayah Kalteng dikuasai sektor kehutanan. Menurutnya, ketika masyarakat adat menyatakan diri sebagai masyarakat hukum adat, maka dalam konteks regulasi harus ada produk hukum yang menyatakan mereka sebagai masyarakat adat. 

“Kendala selama ini, ketika masyarakat adat menyatakan diri sebagai masyarakat hukum adat, kemudian meminta pemerintah daerah untuk mengesahkan, justru pemerintah sering lambat bahkan tidak mau mengakomodasi,” kata Habibi kepada Kalteng Pos saat dihubungi via telepon WhatsApp, Kamis (10/8). 

Habibi berpendapat, persoalan tersebut membutuhkan political will dari pemerintah daerah sendiri, terkait kemauan mengakui atau tidak hutan adat milik masyarakat tersebut. 

“Pemerintah pusat dalam hal ini KLHK, harus membantu proses percepatan pengesahan atau pengakuan masyarakat adat di daerah-daerah lain yang ada di Kalteng, selain Gumas,” tuturnya. 

Lebih lanjut ia menjelaskan, KLHK sudah memiliki tim terpadu yang dibentuk untuk memproses percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA). 

“Tim terpadu itu diharapkan bisa membantu atau mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat proses pengesahan masyarakat hukum adat,” ujarnya. 

Habibi mencontohkan Kabupaten Lamandau yang memiliki Kinipan sebagai daerah yang sudah mengajukan pengesahan dan pengakuan masyarakat hukum adat. Namun hingga saat ini tak kunjung disahkan. 

“Masyarakat Kinipan sudah mengajukan pengesahan sebagai masyarakat hukum adat sejak lama, cuman sampai sekarang prosesnya belum jelas, ada banyak masalah teknis yang menjadi alasan pemerintah daerah belum menetapkan masyarakat hukum adat sebagaimana pengajuan itu,” tuturnya. 

Menurut Habibi, hal tersebut sangat disayangkan, mengingat masyarakat mempunyai kekayaan pengetahuan untuk wilayah adat mereka. Namun dalam konteks bernegara, masyarakat hukum adat harus diakui melalui undang-undang, regulasi dari perda, ataupun keputusan kepala daerah. Cukup merugikan masyarakat adat jika harus menunggu pengakuan dari pemerintah yang prosesnya membutuhkan waktu yang panjang. 

“Sebenarnya masyarakat sudah melakukan upaya-upaya pengesahan hutan adat sesuai regulasi yang berlaku, tetapi pemerintah daerah terlihat belum begitu mau memfasilitasi keinginan masyarakat itu,” tuturnya. 

Ia menambahkan, sangat penting negara mengakui eksistensi masyarakat adat. Sebab, masyarakat adat pun ingin agar keberadaan mereka beserta adat istiadat dan kearifan lokal yang dimiliki, diakui dan dilindungi pemerintah. 

Jika dipahami secara komprehensif, sambung Habibi, pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi masyarakat adat tidak hanya soal mengakui keberadaan masyarakatnya, tetapi juga ruang hidup, hukum-hukum adat yang diterapkan, beserta kebudayaan yang dijaga turun-temurun. 

“Jadi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dari pemerintah tidak hanya untuk mengakui dan melindungi manusianya saja, tetapi juga terhadap wilayah yang menjadi ruang hidup masyarakat adat,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng berharap pengesahan masyarakat adat bisa segera dilakukan oleh para kepala daerah yang ada di Kalteng. “Saya berharap langkah seperti ini juga dilakukan oleh semua kepala daerah di Kalteng, khususnya masyarakat adat yang masih sangat kecil pengakuan dan perlindungan oleh negara,” tegas Bayu Herinata dalam wawancara, Rabu (9/8).

Bayu menyebut hal ini merupaka hal baik dan membutuhkan proses yang cukup panjang. Dimulai dari inisiasi di daerah, dibantu dorongan masyarakat sipil. Secara proses ada beberapa yang perlu dilakukan pemerintah daerah. Ada perda yang dikeluarkan, lalu ditindaklanjuti indentifikasi dan verifikasi lapangan oleh tim KLHK. Masyarakat sipil hanya perlu fokus untuk mengawalnya. 

“Proses-proses itu memang ada tahapan yang harus dipastikan integrasi antara pengakuan, baik itu subjek masyarakat hukum adat maupun objeknya yakni wilayah hukum adat, menjadi peran penting pemerintah kabupaten ke depannya dalam integrasi kebijakan lain seperti RTRW, itu harus dimasukkan ke dalam alokasi ruang yang ada di daerah,” tambahnya. 

Terkait dengan kawasan hutan, salah satu yang penting adalah bagaimana memasukkan wilayah adat ke dalam peta kawasan hutan. Itu perlu dilakukan agar bisa menguatkan pengakuan dan perlindungan yang dimiliki oleh komunitas-komunitas yang ada. 

Menurutnya, pengakuan hutan adat merupakan bagian kecil dari perlindungan wilayah adat yang dikelola oleh masyarakat hukum adat. Sehingga hal-hal seperti itu harus menjadi fokus ke depan dan menjadi poin penting yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait. 

“Dalam konteks wilayah hutan seperti itu, dalam praktik pengelolaan wilayah khususnya hutan adat, sangat baik yang dilakukan oleh salah satu kelompok masyarakat hukum adat di Gumas. Terbukti sampai saat ini wilayah itu tetap terjaga dan terlindungi kelestariannya. Hal itu berdampak baik pada ekosistem lingkungan. Mereka memastikan hutan yang ada terawat, sekaligus mencegah kerusakan lingkungan yang makin masif terjadi di Kalteng,” tegasnya. (dan/irj/ce/ala/kpfm)

59 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.