Warga Klaim Bayar PBB sejak 2005, SHM Hj Musrifah Terbit 2008

LEGALITAS TANAH: Sejumlah warga memperlihatkan bukti SHM kepemilikan tanah di Jalan Hiu Putih, Selasa (8/8). Foto: ARIEF PRATHAMA/KALTENG POS

PALANGKA RAYA-Permasalahan sengketa tanah di Jalan Hiu Putih VIII, VIII A, VIII B, dan Hiu Putih IX belum menemui titik terang. Sejumlah warga yang berstatus tergugat masih terus berupaya menempuh jalur hukum, setelah sebelumnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya mengabulkan permohonan pihak penggugat untuk mencabut sertifikat hak milik (SHM) belasan warga di wilayah setempat.

Warga tergugat bersama kuasa hukum mereka telah mengambil tindakan dengan melaporkan ke sejumlah instansi pusat, seperti Komisi Yudisial (KY), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RI, dan Badan Pengawas Mahkamah Agung RI. Hal itu diungkapkan Virgo, salah satu warga yang terlibat sengketa.

“Kami menyampaikan laporan pengaduan warga ke KY, kepada pihak KY kami sampaikan pelanggaran kode etik, kami juga sampaikan laporan pengaduan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung RI,” beber Virgo kepada awak media saat konferensi pers di Jalan Hiu Putih VIII, Gang Bambang, Selasa pagi (8/8).

Tak hanya itu, Virgo menyebut pihaknya juga sudah menyampaikan laporan pengaduan ke Menteri ATR/BPN melalui Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian ATR/BPN RI.

“Terakhir, kami juga melaporkan ke Presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) RI. Dalam laporan itu sudah kami lampirkan sejumlah dokumen yang berfungsi sebagai pendukung laporan kami,” tuturnya.

Di tempat yang sama, Ismail selaku kuasa hukum warga mengatakan, proses banding yang dilakukan pihaknya akan selalu diawasi dan dikawal KY dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. “Kami berharap dengan adanya upaya banding itu, putusan ke depan bisa memberikan keadilan bagi warga Hiu Putih,” ujarnya.

Dikatakan Ismail, ada beberapa lampiran surat yang sudah dikirimkan ke tiga instansi berwenang tersebut. Lampiran yang pihaknya sampaikan ke KY, Badan Pengawas Mahkamah Agung, dan Kementerian ATR/BPN antara lain bukti PBB tahun 2005 dan 2008, tiga alat bukti yang tidak tertulis atau dihilangkan dalam putusan PTUN, sertifikat hak milik (SHM) yang menjadi alas hak tanah yang dikantongi warga, serta SK Wali Kota tahun 1990.

“Mereka menggunakan SK Wali Kota tahun 1990 dengan ketentuan dan diktum yang sudah tertera di dalamnya, kemudian kami juga melampirkan surat menyurat yang melarang penerbitan sertifikat tanah pada tahun 2007 di objek tanah itu, yang dari kantor Pertanahan dan Kehutanan,” bebernya seraya menyebut surat larangan penerbitan sertifikat itu juga dilampirkan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Satgas Anti Mafia Tanah.

Selain itu, tambah Ismail, terdapat tiga alat bukti yang tidak tertulis atau dihilangkan dari putusan PTUN. “Surat P35, 36, dan 37 itu hilang, sehingga fakta tersebut juga kami lampirkan, karena hilang pada berkas putusan,” ucapnya.

Ia juga menyinggung soal keabsahan dua sertifikat yang tumpang-tindih pada suatu bidang tanah. Dikatakannya, sudah ada dua skema yang bisa membatalkan sertifikat dalam satu bidang tanah, yakni dari lembaga pertanahan yakni BPN dan jalur hukum pengadilan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Tetapi dalam konteks ini, kalau memang pertanahan berani mengeluarkan (sertifikat), berarti harus berani juga membatalkan. Jangan sampai warga saling bersengketa gara-gara produk yang dikeluarkan BPN,” ujarnya.

Berkenaan dengan fakta adanya tumpang-tindih sertifikat antara Hj Musrifah selaku penggugat dan sejumlah warga selaku tergugat intervensi II, menurut Ismail, ada beberapa fakta yang janggal. Salah satunya adalah persyaratan penerbitan surat pajak bumi dan bangunan (PBB).

Menurut Ismail, sertifikat yang terbit memerlukan persyaratan PBB. Sertifikat milik pihak penggugat (Hj Musrifah) diterbitkan tahun 2008. Sementara warga setempat sudah membayar PBB untuk objek tanah yang sama sejak tahun 2005.

“Kalau dalam konteks Hj Musrifah misalkan, untuk menerbitkan PBB tahun 2007 tidak mungkin, karena tahun sebelumnya yakni 2005, sejumlah warga sudah membayar PBB. Padahal kalau itu (PBB, red) tidak terbit, maka tidak akan ada sertifikat. Faktanya sekarang SHM punya Hj Musrifah terbit dan ada PBB, tapi alamatnya berbeda. Dalam surat milik penggugat tertulis Jalan Hiu Putih Ujung Dalam, RT 0 RW 0 tahun 2007. Di mana alamatnya itu, tidak jelas,” ucapnya.

Ismail meyakini surat pembayaran PBB milik kliennya memiliki alamat yang jelas, beserta alamat lengkap yang memang berada di atas objek tanah sengketa. Salah satunya di Jalan Hiu Putih VIII, Gang Bambang.

“Kalau terbit dua PBB dalam objek sama, itu kan tidak mungkin. Artinya dalam kasus ini objek tanahnya berbeda. Menurut saya, Badan Pertanahan perlu berkoordinasi dengan pemda untuk menentukan kepemilikan objek pajak tanah itu, apakah milik Hj Musrifah atau warga,” tandasnya. (dan/ce/ala/kpfm)

73 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.