
Di tengah kesibukannya, Aipda Deny Krisbiyantoro menyempatkan berbagi ilmu dan pengalamannya lewat Kelas Foto Borneo. Tak dipungut biaya sedikit pun dari para peserta. Kelas ini menjadi wadah menumbuhkan minat dan membangun karakter pencinta fotografi.
AGUS PRAMONO, Palangka Raya
SORE itu, di ruangan belakang sebuah kafe, 15 peserta Kelas Foto Borneo (KFB) #3 duduk lesehan setengah melingkar menghadap layar. Ruang berukuran 4×4 meter itu dikelilingi dinding penuh mural. Paling menonjol adalah mural bergambar kamera DSLR. Memancarkan kontras warna yang keras.
Tak lama berselang, datang seseorang sambil menenteng tas hitam. Deny -sapaan akrabnya- mengucapkan salam pada peserta yang hadir. Masih mengenakan seragam kebanggaan. Selepas dinas, Deny tak pulang ke rumah, tapi langsung menuju kelas mengajar.
Dibantu dengan pengajar lain, abdi negara yang berdinas di Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Polda Kalteng ini langsung membantu menyampaikan materi fotografi. Slide demi slide materi dijabarkan. Peserta pun serius menyimak. Sesekali diselingi candaan. Ada peserta yang langsung paham. Ada juga yang memilih diam. Ada pula yang seolah-olah paham.
Sesekali Deny mengambil alat tulis. Menulis di papan untuk memperjelas. Di dalam ruang kelas itu, peserta memiliki kebebasan. Bisa selonjoran. Bisa bertanya sambil makan gorengan. Tak seperti suasana kelas formal.
Deny bersama Komunitas Hitam Putih Borneo mendirikan KFB. Sudah tiga edisi atau tiga tahun berjalan. Sudah puluhan yang mendaftar. Meski yang lulus dalam setiap edisi tidak sampai sepuluh jumlahnya. Kelas ini tak dipungut biaya alias gratis. Hanya diminta komitmen dari peserta untuk terus masuk kelas. Dua kali dalam seminggu selama tiga bulan. Peserta datang dari berbagai kalangan. Dari yang pelajar, swasta, sampai yang berstatus pegawai negeri. “Di kelas ini, kami tidak memaksakan peserta untuk menjadi fotografer yang hebat,” ujar pria kelahiran Pacitan, 39 tahun silam.
Menurut anak kedua dari pasangan Karno dan Sri Hartatik (alm) ini, banyak orang yang memiliki hobi fotografi, tapi hanya sebatas suka. Kemajuan teknologi peralatan fotografi berdampak pada banyak hal dasar yang terlewatkan. Pelaku fotografi kerap terjebak pada industri alat. Bukan industri kreatif yang ditonjolkan.
Pada KFB ini, pengajar menekankan agar peserta bisa menemukan karakternya sendiri. Tentunya setiap peserta berbeda-beda. Ada karakter peserta yang semestinya punya bakat, tapi malu. Ada pula sebaliknya. Melalui kelas ini, peserta diminta tak hanya berorientasi pada hasil, melainkan diajarkan cara berkomunikasi, berpikir, mandiri, dan teknis mendapatkan foto.
Untuk itu, setiap pekan pengajar memberi pekerjaan rumah (PR). Peserta diminta mencari foto sesuai dengan materi yang disampaikan sebelumnya. PR pun dikoreksi di pertemuan berikutnya. Hasil PR dari peserta pun terkadang membuat pengajar semringah. Ada juga yang buang muka. Hal yang wajar. Karena masih belajar.
“Saya dan pengajar lain menyadari karakter masing-masing peserta. Saya tidak memaksa mereka mengikuti cara saya. Boleh pakai cara sendiri, asal tujuannya sama,” tambah pria yang doyan makan pecel ini.
Suami dari Maria Yunita ini sudah mengenal foto semasa duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Kebetulan ada keluarganya yang membuka studio foto. Kamera merek Fuji menjadi kamera pertama yang berhasil dibelinya dari hasil keringatnya sendiri. Padahal saat itu ia masih menempuh pendidikan. Tahun 2001, Deny resmi menjadi bagian dari korps bhayangkara.
Menjadi polisi tak menjadi halangan baginya untuk terus berkarya di dunia fotografi. Dukungan pun terus datang dari keluarga. Alhasil, rentetan apresiasi pun dalam genggamannya. Mulai dari menang lomba foto skala Kalteng sampai yang berlabel nasional. Di antaranya, penghargaan dari Disbudpar Provinsi Kalteng sebagai Foto Favorit FBIM 2014 dan penghargaan dari Lomba Foto Historical Landmark dari Balik Lensa yang digelar media cetak nasional. Ayah dari Naura, Nada, dan Kya ini juga sering dipercayakan menjadi juri pada lomba fotografi. (*)