TOK ! Peladang Divonis 7 Bulan Penjara, Denda Rp50 Juta

Meski ada aturan social distancing, puluhan masyarakat adat Dayak tetap datang ke PN Muara Teweh untuk mendampingi Saprudin alias Sapur menjalani sidang putusan, kemarin (30/3). (FADLI/KALTENG POS)

MUARA TEWEH-Sidang kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menjerat Saprudin alias Sapur (61) memasuki babak akhir. Peladang asal Desa Juking Panjang, Kecamatan Murung, Kabupaten Murung Raya (Mura) ini divonis tujuh bulan penjara, dalam sidang pembacaan putusan oleh Ketua Majelis Hakim Cipto Hosari Parsaroan Nababan di Pengadilan Negeri (PN) Muara Teweh, Senin (30/3). Dalam sidang tersebut, Sapur didampingi sekelompok masyarakat adat.

Sapur didakwa melakukan tindak pidana melawan hukum yakni melakukan pembakaran hutan dan lahan di Desa Juking Pajang. Atas dasar itulah ia dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Liberty S Purba dengan tuntutan tiga tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa Saprudin alias Sapur telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membuka lahan dengan membakar.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama tujuh bulan dan denda sebesar lima puluh juta rupiah, dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan,” ungkap Ketua Majelis Hakim Cipto.

Barang bukti dalam kasus ini berupa empat batang kayu yang sudah terbakar dengan panjang kurang lebih 60 cm, satu bilah parang dengan panjang kurang lebih 50 cm beserta sarung yang terbuat dari bahan pipa paralon.

Majelis Hakim menilai hukuman minimum tiga tahun penjara yang dituntut terhadap terdakwa, tidak berbanding lurus dengan efek pembelajaran atau perubahan yang diharapkan bagi terdakwa ke depannya. “Tuntutan tiga tahun penjara serta denda terdakwa, jika dihubungkan dengan fakta persidangan sebelumnya, tidak berkeadilan,” tegasnya.

Lebih lanjut Cipto menuturkan, tujuan pemidanaan ini bukanlah semata-mata untuk membalas perbuatan pidana yang telah dilakukan terdakwa, akan tetapi bersifat edukatif yakni instrumen pembelajaran bagi terdakwa agar dapat memperbaiki sikap dan perbuatannya pada masa akan datang. Kasus ini juga sebagai pembelajaran bagi masyarakat agar tidak melakukan perbuatan pidana sebagaimana dilakukan oleh terdakwa.

“Bukan bermaksud memasuki ranah dan kewenangan legislatif sebagai lembaga pembentuk undang-undang itu sendiri, tapi  bila dikenakan pidana penjara minimum, justru hukum bagi terdakwa tidak lagi memenuhi tujuan dari penyatuan pidana itu sendiri, melainkan akan memberikan kesan derita bagi terdakwa dan keluarganya,” pungkasnya. 

Editor :ala/dar
Reporter : adl

345 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.