300 Ribu Kawasan Masih Kumuh

Didominasi Permukiman di Tepian Sungai

“Kami berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota untuk dapat menangani kawasan kumuh”

Erlin Hardi

Kadisperkimtan Kalteng

PALANGKA RAYA-Kawasan permukiman kumuh di Kalimantan Tengah (Kalteng) yang tersebar di 14 kabupaten/kota masih banyak. Berjumlah ratusan ribu. Untuk mengatasi persoalan kawasan kumuh ini, perlu upaya jemput bola dari pemerintah.

Kepala Dinas Permukiman, Kawasan Perumahan, dan Pertanahan (Disperkimtan) Kalteng Erlin Hardi mengatakan, menurut perkiraan kasar berdasarkan data tahun 2022 lalu, secara keseluruhan Kalteng masih memiliki 200 ribu hingga 300 ribu kawasan permukiman kumuh. Kekumuhan kawasan itu, lanjut Erlin, diukur berdasarkan jarak satu rumah ke rumah lainnya yang berdempetan, luas rumah, dan sanitasi rumah yang masih belum memenuhi standar kesehatan hunian.

“Kawasan kumuh itu kebanyakan ada di Kapuas, Sampit, dan Kota Palangka Raya. Kota-kota yang penduduknya banyak, kawasan permukiman kumuhnya pun banyak. Kalau jumlah se-Kalteng, kawasan permukiman kumuh berada di angka 35 persen, kurang lebih sekitar 200 ribu sampai 300 ribu jumlahnya,” beber Erlin kepada wartawan usai menghadiri rapat koordinasi pelaksanaan redistribusi daerah tanah objek reforma agraria Kalteng tahun 2023 di Swiss-Belhotel Danum, Palangka Raya, Selasa (21/3).

Suatu kawasan permukiman bisa masuk kategori tidak kumuh jika memiliki beberapa komponen penting dalam mewujudkan lingkungan permukiman sehat. Seperti sarana prasarana air minum dan sanitasi serta kelayakhunian rumah yang diukur berdasarkan kondisi bangunan rumah. Bertambahnya kawasan permukiman kumuh, lanjut Erlin, bisa terjadi karena kebiasaan masyarakat Kalteng yang memang senang tinggal di bantaran sungai atau rumah yang tidak layak huni. Salah satu pemicunya adalah ketidakmampuan ekonomi.

Kawasan permukiman kumuh banyak terdapat di beberapa daerah, berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penduduk. Erlin mengatakan, pada umumnya jumlah kawasan kumuh di suatu daerah berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penduduk.

“Sebetulnya tidak seperti itu juga, karena bisa saja banyak penduduk tapi banyak juga kawasan permukiman yang tertata rapi, tapi intinya di Kalteng saat ini masih berbanding lurus, makin banyak jumlah penduduk, makin banyak kawasan kumuhnya,” tuturnya.

Kawasan permukiman kumuh di Kalteng justru banyak terdapat di wilayah tepian sungai. Namun ada juga kawasan permukiman kumuh yang jauh dari tepian sungai.

“Memang di Kalteng ini, kawasan kumuh didominasi oleh permukiman di pinggir sungai, permukiman kumuh itu tumbuhnya dari daerah-daerah permukiman pinggir sungai itu,” bebernya.

Dengan kondisi saat ini, kawasan kumuh di Kalteng masih berpotensi bertambah. Erlin mengatakan, ada beberapa daerah yang mengalami peningkatan, meski tidak signifikan. Namun ia tidak dapat menyebut data secara terinci, karena masih dipegang oleh Bidang Penanganan Kawasan Kumuh.

“Kami berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota untuk dapat menangani kawasan kumuh,” tambahnya.

Untuk mengurangi jumlah permukiman kumuh, pihaknya mencetuskan program Bedah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dan juga memperbaiki sarana prasarana jalan lingkungan di suatu kawasan yang masuk kategori kawasan kumuh.

“Kami juga menggandeng teman-teman dari PU untuk menangani hal ini, karena sanitasi dan air bersih berada dalam kewenangan PU. Kami yakin kawasan kumuh bisa tuntas ditangani kalau parameter itu dibangun semua,” pungkasnya.

Terpisah, pemerhati lingkungan Rudy Yoga Lesmana ST MT menjelaskan, kawasan permukiman kumuh merupakan kawasan perumahan yang kurang aspek perencanaannya saat dibangun. Kurangnya perencanaan ini akibat kebutuhan masyarakat akan rumah yang cukup mendesak.

“Biasanya lokasi kumuh ini dihuni oleh masyarakat menengah ke bawah, perencanaan kurang, tapi kebutuhan akan rumah mendesak,” jelas Rudy kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, Selasa (21/3).

Dosen Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya itu membenarkan bahwa kebanyakan kawasan kumuh di Kalteng terdapat di wilayah bantaran sungai. Hal itu dikarenakan pola hidup masyarakat Kalteng yang sudah mengakar sejak zaman dahulu, yakni bermukim di bantaran sungai.

“Kawasan itu kan sudah terbangun dari dulu, belum ada perencanaan, orang sudah tinggal di situ, jadi kalau mau ditata ulang cukup sulit, pasti menimbulkan gejolak di masyarakat, kalau kita mau bangun kawasan itu menjadi layak huni, maka harus terlebih dulu merelokasi mereka,” tuturnya.

Upaya mengurangi kawasan kumuh juga harus dilihat dari aspek sosiologis, agar solusi yang dicanangkan tidak menimbulkan gejolak sosial di tengah masyarakat. Karena itu, selain diperlukan upaya pengurangan kawasan kumuh melalui program teknis seperti pembenahan rumah tidak layak huni dan perbaikan sarana dan prasarana, juga perlu upaya mengubah perilaku masyarakat.

“Masalah seperti ini tidak serta-merta bisa diselesaikan secara teknis, karena bisa saja permukiman kumuh bertambah karena pola pikir masyarakat. Maka dari itu, diperlukan juga adanya perubahan pola pikir masyarakat untuk menghuni suatu lokasi hunian,” pungkasnya. (dad/ce/ala/kpfm)

289 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.