Ada Potensi Inflasi Beras jika Produksi Padi Menurun
PALANGKA RAYA-Periode Agustus hingga September tahun ini, diprediksi wilayah Kalteng akan mengalami cuaca panas yang dipengaruhi oleh anomali cuaca El Nino. Kondisi tersebut disinyalir dapat menghambat produksi padi di provinsi seluas 153.444 km² ini, sehingga memengaruhi ketersedian pangan. Masalah ini perlu menjadi perhatian khusus para pemangku kebijakan, agar komoditas pangan tidak menjadi penyumbang inflasi daerah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Provinsi Kalteng telah memprediksi kondisi cuaca selama dua bulan ke depan beserta pengaruh yang mungkin terjadi akibat kondisi tersebut.
Kepala BMKG Provinsi Kalteng Catur Winarni mengungkapkan, berdasarkan analisis cuaca yang dilakukan pihaknya, bulan Juli hingga September adalah interval waktu masuknya puncak musim kemarau pada sejumlah daerah di Kalteng.
“Puncak kemarau di bulan Juli sudah kita lalui, alhamdulillah pada bulan itu ada sedikit gangguan cuaca sehingga masih sempat turun hujan. Sekarang kita menghadapi puncak kemarau Agustus hingga September. Potensi kekeringan sedikit meningkat. Bisa dipastikan lebih kering dari cuaca tiga tahun sebelumnya,” ungkap Catur kepada wartawan usai menghadiri rapat inflasi bersama Tim Penanganan Inflasi Daerah (TPID) Kalteng di kantor gubernur, Rabu (2/8).
Berkaitan dengan implikasi ekonomis yang ditimbulkan, Catur menyebut musim kemarau yang dipengaruhi oleh El Nino tentu berpengaruh terhadap ketahanan pangan daerah. Tingkat produksi pangan, khususnya padi, akan mengalami hambatan karena kekeringan.
Tingkat produksi pangan yang terhambat, lanjut Catur, akan memengaruhi ketersediaan pangan di daerah. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian TPID provinsi dan kabupaten/kota guna menekan dan mengantisipasi dampaknya.
“Karena kami prediksi El Nino baru akan melandai pada Oktober nanti. Tetapi dampaknya mungkin akan berlanjut sampai akhir tahun, sehingga perlu kewaspadaan mengenai berbagai implikasi yang mungkin terjadi,” terangnya.
Di tempat yang sama, Staf Ahli Gubernur Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan (Ekbang) Yuas Elko mengatakan, potensi cuaca yang panas beberapa waktu terakhir dapat menyebabkan laju inflasi, terutama bahan pokok penting seperti beras.
“Besar sekali pengaruh cuaca terhadap produksi beras. Kalau musim kemarau, pasti produksi padi menurun, karena tanah gersang dan kesulitan mendapatkan air,” tuturnya. Selain itu, lanjut Yuas, ada ancaman lain berupa munculnya hama yang berpengaruh pada terhambatnya produksi padi.
Berdasarkan kondisi itu, pemprov sudah mengajukan surat ke pusat untuk mengadakan rekayasa cuaca.
“Sudah kami ajukan, tinggal menunggu saja kapan eksekusinya, ini bentuk ancang-ancang untuk melakukan rekayasa cuaca,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (DTPHP) Kalteng Hj Sunarti melalui Kepala Bidang (Kabid) Tanaman Hortikultura DTPHP Kalteng Mukti Aji, membenarkan bahwa kondisi cuaca yang panas disertai El Nino sangat berpengaruh terhadap produksi padi.
“Produksi beras tentu akan terpengaruh. Kalau dalam kondisi panas seperti musim-musim begini, jelas tidak bisa menanam. Ketidakpastian cuaca juga berpengaruh,” ungkapnya kepada Kalteng Pos usai rapat yang sama.
Mukti menjelaskan, pada lahan sawah yang hanya mengandalkan aliran air dari saluran irigasi, hanya bisa panen setahun sekali. Kondisi ini lazim terjadi di daerah-daerah produsen padi, tetapi tidak termasuk kawasan food estate.
“Di kawasan food estate yang saluran irigasinya sudah modern, sedikit banyak tidak terpengaruh, masih bisa panen dua kali dalam setahun,” tuturnya.
Mukti mewanti-wanti petani untuk lebih bekerja keras mengatur pengairan ke lahan persawahan, karena tidak bisa lagi mengandalkan air hujan.
“Penyiraman harus dilakukan lebih intens, saya pikir para petani lebih paham teknis terkait itu,” tandasnya.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Kalteng Taufik Saleh menambahkan, siklus produksi dan keadaan cuaca dapat menjadi acuan dalam upaya pengendalian harga beras di pasar. Ada sejumlah catatan penting yang diterangkannya dan dapat menjadi acuan dari pengendalian harga.
Dikatakan Taufik, Jawa Tengah, Bali, dan NTB mengalami tingkat curah hujan yang rendah. Meskipun Kalteng cenderung mengalami tingkat curah hujan menengah, tetapi pada beberapa wilayah di Kalimantan Selatan (Kalsel) mengalami curah hujan yang rendah.
“Dengan kondisi ini, penyerapan hasil panen dari Kalteng ke Kalsel bisa lebih tinggi alias meningkat dari sebelumnya,”ucapnya.
Ia menerangkan, tekanan inflasi di Kalteng pada Agustus 2023 diperkirakan akan tetap rendah. Meski demikian, ada sejumlah faktor pendorong inflasi yang sebaiknya diperhatikan.
“Faktor pendorong inflasi di antaranya potensi anomali cuaca akibat El Nino, kondisi cuaca yang lebih kering berpotensi menurunkan produksi hortikultura, dan potensi realisasi panen yang lebih rendah dibandingkan tahun lalu,” ujarnya.
Karena itu Taufik merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk terus memantau percepatan masa tanam dan hama penyakit, serta mengoptimalkan sarana dan alat mesin pertanian (alsintan) modern untuk mendukung produksi embung, irigasi, pompa, sumur, bibit, dan lain-lain.
“Juga perlu memperkuat pasokan dari luar provinsi, terutama komoditas beras. Ini salah satu upaya guna memastikan pasokan beras terjaga, mengantisipasi penurunan panen akibat El Nino,” tandasnya. (dan/ce/ala/kpfm)