Melihat Dampak Karhutla terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Kalteng

Masyarakat yang menggantungkan penghasilan dari alam perlu banyak bersabar. Karhutla yang marak terjadi sangat mengganggu mata pencarian mereka. Yang paling terdampak adalah mereka yang tinggal di dekat lokasi karhutla terparah. Salah satunya masyarakat Desa Tumbang Nusa, yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
AKHMAD DHANI, Pulang Pisau

SEPANJANG jalan menuju Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, pengendara akan disuguhi dengan pemandangan lahan bekas kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sebagian sudah padam dan ditumbuhi semak belukar. Sebagian masih hitam legam. Sebagian lagi masih tampak berasap.
Kebakaran juga terjadi di lokasi yang dekat dari rumah warga. Ada satu dua rumah semipermanen dan gedung walet yang masih berdiri tegas di antara lahan-lahan bekas terbakar itu. Sangat beruntung rumah dan bangunan sarang walet itu tidak ikut terbakar.
Daihatsu Xenia berderu kencang di atas jalan berbatu kerikil. Saya (penulis, red) menuju Desa Tumbang Nusa yang jaraknya kurang lebih sekitar 1,5 kilometer dari Jalan Trans Kalimantan. Setelah melalui jalan menuju desa yang di sebelah kiri dan kanannya dipenuhi lahan-lahan bekas terbakar, jalan kecil yang hanya muat untuk dua buah motor menyambut kami. Saya lantas berjalan kaki meninggalkan mobil. Di depan mata saya, terhampar Sungai Kahayan yang lengang. Satu dua perahu kecil terlihat membelah sungai. Memecah keheningan. Di tiap perahu itu ada jaring-jaring penangkap ikan.
Di Desa Tumbang Nusa, kami bertemu dengan dua orang nelayan, yakni Matnor (63) dan Katman (61). Keduanya mengalami kesulitan mendapatkan ikan selama terjadinya kemarau kurang lebih sejak tiga bulan terakhir. Padahal, menangkap ikan di sungai merupakan mata pencarian utama mereka. Dengan begitu mereka bisa menjaga agar dapur tetap mengepul dan kebutuhan dasar terpenuhi.
“Karena asap kebakaran, jadi kami jarang mencari ikan. Asap di luar sangat pekat. Tak jarang kami mengalami gangguan pernapasan,” beber Matnor kepada wartawan saat dijumpai di rumahnya, kemarin.
Nelayan di desa setempat umumnya bekerja dari pukul 08.00 WIB hingga 14.00 WIB. Dalam seminggu mereka bisa melaut empat hari. Matnor mengungkapkan, semenjak terjadi kabut asap akibat karhutla, ia dan rekan seprofesinya terpaksa mengurangi hari kerja. Kabut asap tak hanya mengganggu kesehatan, tapi juga mengganggu penglihatan mereka menuju lokasi penangkapan ikan.
“Pagi dan sore asap sangat pekat. Kami butuh waktu dua jam untuk menuju lokasi menangkap ikan. Kalau asapnya tebal, sangat mengganggu penglihatan. Kalau tidak hati-hati, bisa tersesat,” ungkapnya.
Mereka biasanya menjual ikan hasil tangkapan kepada para pengepul yang juga berada di desa setempat. Jenis ikan yang sering ditangkap dan paling banyak dijual adalah ikan babat, ikan bakut, ikan belida, dan ikan baung.
“Kalau hari biasa, kami dapat untung sehari Rp500-700 ribu, tetapi kalau musim kemarau kami hanya dapat untung Rp300-400 ribu per hari,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Ulak itu mengatakan, para nelayan di Desa Tumbang Nusa mengalami sakit-sakitan akibat memaksakan diri bekerja saat kondisi udara sedang tidak kondusif. “Tetapi kalau enggak kerja, mau makan apa kami?” ucapnya.
Senada juga diungkapkan Katman, warga yang tempat tinggalnya tak jauh dari rumah Ulak. Ia mengatakan, sejak tiga bulan terakhir kondisi keuangan keluarganya terganggu karena kesulitan mendapatkan penghasilan dari mencari ikan. Ia dan istrinya yang tinggal berdua harus kesulitan memenuhi kebutuhan pangan karena seretnya rezeki dari penopang utama ekonomi.
“Tiap hari mencari ikan, tapi sebentar saja, berangkatnya dari 06.00 WIB sampai 10.00 WIB. Biasanya setiap hari saya dapat untung dari jual ikan tangkapan Rp50 ribu, tapi sejak masuk musim kemarau nihil,” ucapnya.
Katman mengatakan, seretnya penghasilan mereka diakibatkan kondisi sungai yang kering, sehingga sulit mendapatkan ikan. Selama musim kemarau tahun ini, Katman menggantungkan pemenuhan kebutuhan keluarga dari penghasilan anak bungsunya yang bekerja sebagai penambang emas.
“Aku mengharapkan penghasilan dari anakku yang bekerja sebagai penambang emas di daerah Murui, untuk membeli beras dan lain-lain aku harus meminta uang darinya,” ujar pria yang memiliki tujuh anak itu.
Sebelumnya, Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng, Ahmad Toyib mengatakan, daerah dengan karhutla terparah adalah Pulang Pisau dan Kapuas. Daerah yang paling banyak terjadi karhutla di wilayah Pulang Pisau yakni di Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya.
Kamis (28/9) lalu, Wakil Gubernur Kalteng H Edy Pratowo telah meninjau langsung lokasi karhutla di Tumbang Nusa. Saat itu, lahan yang terbakar sudah mendekati jalan raya Trans Kalimantan yang menghubungkan Kota Palangka Raya dan Kabupaten Pulang Pisau. Selain mengakibatkan kemacetan, asap dari kebakaran lahan juga mengganggu jarak pandang pengendara.
“Dari kondisi tersebut, helikopter tidak bisa diterbangkan, sehingga api sulit dipadamkan. Satgas darat juga susah bergerak karena asap yang begitu tebal,” ujar Toyib kepada Kalteng Pos, Jumat (29/9) lalu. (*/ce/ala/kpfm)