Nyai Balau, Cerita Rakyat yang Nyata, Bukan Mitos

GUGUR: Nyai Balau yang diperankan Thalia dibopoh oleh Raden Laut yang diperankan oleh Elpan. Nyai Balau akhirnya gugur dalam pertempuran sengit di Kuta Tewah. Foto: ARIEF PRATHAMA/KALTENG POS

PALANGKA RAYA – Penampilan memukau para pemeran opera Nyai Balau sukses menghipnosis penonton. Pendalaman peran masing-masing pemain tidak perlu diragukan. Bahkan tidak sedikit dari penonton yang terus menunjukkan ekspresi takjubnya. Tepuk tangan riuh memenuhi Ballroom Kahayan Swiss-Belhotel Danum, Minggu (29/10).

Opera Nyai Balau dengan tajuk penaklukan Kuta (benteng) Tewah ini menurut penuturan Arbendi, sang sutradara merupakan sekuel ketiga. Sekuel pertama opera Nyai Balau itu pada tahun 2014 menceritakan jika ia hanyalah sosok perempuan biasa. “Namun karena ia mendapatkan serangan dari para asang, ia harus membalas serangan itu sehingga ia menjadi perempuan tangguh heroik untuk dapat terus bertahan hidup dan melindungi dirinya,” terangnya.

Untuk sekuel kedua, lanjutnya, karena Nyai Balau merupakan warga asli Tewah, yang mana daerah ini memiliki merupakan lokasi yang strategis. Sehingga tempat tersebut menjadi sasaran Belanda untuk diambil alih kekuasaannya. “Oleh karena itu, muncul serangan demi serangan di Tewah tersebut oleh mereka para penjajah,”jelasnya.

Sedangkan pada sekuel ketiga ini yang juga merupakan sekuel terakhir adalah menampilkan kisah perang besar Kuta Tewah dalam serangan besar-besaran. “Yang mana ini dilancarkan oleh kelompok asang yang bersekutu dengan pihak Belanda,” terangnya. Nyai Balau akhirnya gugur dalam pertempuran itu.

Pada sekuel ketiga ini, diperankan dengan 30 orang pemain yang telah diseleksi sebelumnya. Opera yang menceritakan sosok Nyai Balau ini bukan tanpa alasan, ini merupakan upaya dari pada putra-putri daerah untuk mengenalkan pahlawan wanita Bumi Tambun Bungai pada masyarakat. “Orang justru seringkali beranggapan Nyai Balau hanyalah seorang tokoh legenda mitos,”terangnya.

Di mana pada fakta sebenarnya, ia merupakan seorang yang memperjuangkan tanah kelahirannya dari para penjajah. Bahkan saat pemeran masih masa latihan, pihaknya sempat ke Gunung Mas mendatangi keturunan dari Nyai Balau sendiri.

“Yang mana itu juga sebagai salah satu pendekatan para pemain pada kerabat dari Nyai Balau. Sehingga mereka dapat mendalami peran dan mengetahui keadaan Tewah seperti apa,”ungkapnya.

Arbendi menyebut jika awal mula risetnya tentang sosok Nyai Balau itu pada tahun 2013. Mencari dari berbagai referensi, baik itu riset lapangan ataupun pustakaan. “Karena orang Dayak dahulu tidak mengenal aksara, jadi tidak ada tulisan ataupun manuskrip yang mereka tinggalkan. Mereka hanya meninggalkan sejarah melalui tutur, sehingga tidak ada bukti berupa tulisan yang bisa dilihat oleh kita generasi sekarang,” terangnya.

Dalam risetnya, Arbendi justru mencari referensi pada buku karya orang asing yang menuliskan sejarah-sejarah orang Dayak. Namun tetap saja, itu hanya dari sudut pandang mereka orang asing. Yang mana di beberapa bagian justru salah dan tidak seperti kenyataan yang ada.

Arbendi menyayangkan karena tidak ada dokumen ataupun tulisan yang dimiliki oleh orang lokal Kalteng sendiri. Bahkan lanjutnya, di beberapa tuliskan menyebutkan jika suku Dayak adalah orang-orang yang gemar berburu manusia.

Oleh karena itu, melalui opera dan pertunjukan yang pihaknya sajikan bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan menunjukkan seperti apa orang-orang suku Dayak itu. “Kita tidak perlu memproteskan hal itu dengan kekerasan, kita gunakan cara yang lebih baik dan lebih mudah untuk diterima,” ungkapnya.

Maka dari itu, Rumah Budaya Pajawan Tingang Dayak Cultural Center akan terus menampilkan cerita-cerita bersejarah lainnya untuk memberikan edukasi dan pengenalan kepada masyarakat luas.

Usai pementasan, para pemeran opera itu menunjukkan kepuasan bias menyelesaikan pertunjukan dengan memberikan performa terbaik mereka.

“Rasanya lega sekali karena akhirnya bisa menampilkan yang terbaik setelah latihan dengan waktu yang tergolong cukup singkat itu,”ungkap Elpan, yang berperan sebagai Raden Laut dan diiyakan oleh ketiga rekannya.

Thalia yang berperan sebagai Nyai Balau sendiri mengaku cukup kesulitan saat memerankan peran itu. “Karena karakter Nyai Balau itu sangat kuat sekali, sehingga apabila tidak mempunyai rasa dan emosi yang pas akan sangat sulit,”ujarnya pada Kalteng Pos.

Hal serupa juga diakui oleh Azura yang berperan sebagai Kameloh Bawi Kadin. “Mendalami peran ini mungkin menjadi kesulitan tersendiri bagi kami, karena peran yang dimainkan memiliki karakter tersendiri sehingga perlu emosi dan penghayatan ekstra untuk hasil yang memuaskan,”timpalnya. Sementara itu, Daniel yang memerankan sosok Temanggung Dupa menyampaikan jika selama kurang lebih tiga bulan menjalani proses latihan tidaklah mudah bagi mereka. “Ini kerja sama tim, karena dalam berproses ini tidak sendiri. Sehingga untuk menyesuaikan antar satu sama lain itu cukup sulit mulai dari chemistry dan beberapa hal lainnya,”tuturnya. (*zia/ram/kpfm)

636 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.