70 Persen Sumber Air Belum Punya Alat Filterisasi
Ada yang Belum Mengantongi Izin Pengeboran dari PDAM
PALANGKA RAYA-Bisnis air minum isi ulang tengah menjamur di Kota Palangka Raya. Hampir di tiap ruas jalan hingga gang kecil ada tempat usaha pengisian air minum isi ulang. Sayangnya, industri ini disinyalir memiliki beragam permasalahan dari hulu hingga hilirnya.
Pada tingkat penyedia sumber air, izin bor dan alat filterisasi air belum dimiliki oleh banyak pengelola. Di tingkat hilir pun, masih banyak depot air minum isi ulang yang belum layak atau memenuhi standar kesehatan. Seiring menjamurnya depot air isi ulang dengan kualitas air yang belum terjamin, kesehatan masyarakat selaku konsumen pun patut dipertanyakan.
Depot air isi ulang harus mendatangkan air dari sumbernya. Kebanyakan sumber air yang diambil berasal dari Kelurahan Tangkiling, Kecamatan Bukit Batu. Tempat itu dinilai menyediakan air berkualitas, karena berada di dataran tinggi. Ada banyak warga yang membuka usaha penyediaan air di lokasi setempat. Namun, disinyalir masih banyak yang belum mengantongi izin dari lembaga terkait, dalam hal ini Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Tak hanya itu, tak sedikit pengusaha penyedia sumber air yang diduga belum memiliki instalasi pengelolaan air yang berstandar.
Ketua Asosiasi Pengelola Air Minum Isi Ulang (Apdanum) Kota Palangka Raya, Benni Sinaga mengungkapkan, ada beberapa pengelola sumber air yang belum memiliki izin bor dari PDAM dari total 25 sumber air milik perorangan.
“Yang memiliki izin pengeboran dari PDAM baru hanya sekitar 60 persen, berarti yang belum mengurus izin bor ada 40 persen sumber air,” beber Benni kepada Kalteng Pos, Senin (27/11).
Berizin tidaknya sumber air akan sangat dirasakan oleh pengusaha depot air minum isi ulang di Kota Cantik. Pada akhirnya, dampak langsung akan dirasakan oleh masyarakat. Sebab, berizin tidaknya sumber air akan memengaruhi kualitas air yang dihasilkan.
“Kualitas airnya ada yang baik dan ada yang kurang baik. Nah, izin dari PDAM itu untuk menjamin kualitas. Kalau tidak ada izin, artinya belum berkualitas,” ucapnya.
Benni membeberkan, dari sejumlah sumber air di Tangkiling, baru 30 persen yang sudah memiliki alat instalasi filterisasi kualitas air. “Sementara 70 persen sumber air belum memiliki sarana filterisasi,” bebernya. Ironinya, air itu sudah dibeli oleh depot-depot air minum di Palangka Raya.
Karena itu, ia menyarankan dinas kesehatan dan PDAM bekerja sama untuk mewujudkan instalasi filterisasi air yang memadai pada sumber-sumber air yang ada. Hal itu dinilai penting demi menjaga kualitas air yang diambil dari tanah benar-benar layak dikonsumsi. Selama ini, lanjut Benni, masih ada beberapa pengusaha pengelola sumber air yang belum mampu menyediakan alat filterisasi.
“Pengusaha yang memiliki modal cukup memang bisa menyediakan itu, tetapi yang tidak memiliki modal mencukupi akan menggunakan cara praktis, yakni langsug mengambil tanpa alat filter, di situlah letak permasalahan,” ungkap Benni.
Ia menyebut, air yang berasal dari Tangkiling memiliki keunggulan dibandingkan air yang bersumber di tempat lain. Sebab, daerah sumber air itu berada di dataran tinggi. Sudah ada beberapa pengelola sumber yang menyediakan filterisasi untuk menjamin kualitas air yang diambil layak dikonsumsi.
Selama ini, bukti bahwa air benar-benar diambil dari Tangkiling juga belum ditampakkan oleh sejumlah pengusaha depot air isi ulang. Seharusnya ada surat yang membuktikan bahwa air itu benar-benar diambil dari Tangkiling.
“Harusnya ada semacam kuitansi, supaya benar-benar membuktikan bahwa air itu diambil dari Tangkiling,” ujarnya.
Menurut Benni, masih banyak penyuplai air yang mengambil air yang bukan dari Tangkiling. Ada yang dari Palangka Raya, seperti di Jalan Jati, Marang, dan Kereng Bangkirai. “Kelemahannya selama ini adalah tidak ada bukti dari penyuplai,” ucapnya.
Menurut Benni, permasalahan air minum isi ulang di Kota Palangka Raya terjadi dari hulu ke hilir. Dari hulu, sumber air yang ada masih banyak yang belum memiliki alat filterisasi yang memadai. Sebagian juga belum mengantongi izin bor dari PDAM.
“Pemerintah harus memberikan perhatian lebih terkait masalah air ini, dilihat dari sumber, penyuplai air, sampai ke depot-depot. Sebagai pengusaha air, maka saya harus memilih mendatangkan air dari sumber yang sudah berizin dan memiliki filterisasi. Saya pun harus mengurus izin-izin untuk membuka depot,” ujarnya.
Dari hilir, baru 25 persen depot air minum isi ulang yang sudah memenuhi standar. Berdasarkan data Apdanum, depot air minum di Kota Palangka Raya berjumlah 512. “Kalau yang memenuhi standar hanya 25 persen, itu masih di angka kurang lebih 100-an depot,” tuturnya.
Kalteng Pos berkesempatan untuk mendatangi satu tempat pangkalan air Tangkiling yang berada di Nyaru Menteng, Kota Palangka Raya. Terlihat 20 tandon yang berisi air berjejer di lantai dua. Salah satu pemilik mengatakan, ia menjual air itu per rit. Isinya 2.250 liter. Dan itu dua tandon. Satu tandon berisi 1.050 liter dan satu tandon lagi berisi 1.200 liter.
“Biayanya itu sampai Bundaran Besar sekitar Rp200.000,” ungkapnya saat ditemui Kalteng Pos di kediamannya, Senin (27/11).
Sang pemilik mengaku air itu berasal dari sumur bor. Ada empat hingga lima titik sumur bor. Namun yang layak untuk dikonsumsi hanya satu sumur.
Sejak tahun 2000 ia menjual air Tangkiling. Awalnya berjualan di Kota Palangka Raya. Lambat laun makin banyak orang mengikuti jejaknya. Persaingan tak terhindarkan. Ia pun mengaku heran karena banyak depot air minum di kota yang dinamai air Tangkiling.
Sebab, tidak sedikit air itu diambil dari air Sungai Kahayan. Menggunakan water bor. Sungai Kahayan juga sudah sangat tercemar. Berdasarkan survei pun, sebagian besar air di Kota Palangka Raya tidak layak dikonsumsi. pH air yang ada di Kota Palangka Raya itu di bawah minimum. Di bawah 6. Tak jarang ditemukan ada yang berbau.
“Kalau yang di tempat saya, pH-nya di angka 6,8. Artinya aman untuk dikonsumsi,” ungkapnya.
Sebelum didistribusikan ke masyarakat, ia selalu rutin mensterilisasikan untuk menghilangkan partikel, kuman, dan bakteri. Tiap tiga bulan melakukan uji lab. Hasilnya pun tetap layak dikonsumsi.
“Baik buruknya kualitas air bisa dilihat dari bahan bakunya. Apabila bahan bakunya buruk, maka kualitasnya juga buruk. Begitu pun sebaliknya,” jelasnya
Kalteng Pos juga menguji kualitas air dari pemilik pangkalan air Tangkiling menggunakan alat total dissolbed solids (TDS). Air tersebut diambil dari air keran yang sudah tersambung dengan penampung air. TDS merupakan indikator untuk mengukur jumlah padatan atau partikel yang terlarut dalam air. TDS meter adalah alat yang sering digunakan untuk mengukur jumlah partikel terlarut pada air minum. Hasil tes menunjukkan angka 0,07. Makin rendah angka TDS, maka makin bagus kualitas air.
Dirinya mengaku, airnya tidak hanya digunakan untuk minum saja. Namun untuk aktivitas lain seperti mandi. Izin usaha maupun uji labnya itu lumayan susah. Karena harus melalui geologi di Bandung.
“Jadi melalui wali kota, terus dicek layak atau tidak, barulah diambil sampelnya, mereka bawa pulang ke Bandung. Hanya bisa menunggu, karena prosesnya cukup lama,” tandasnya.
Sementara itu, Lurah Kelurahan Tumbang Tahai, Satia Jaya mengungkapkan, di Kelurahan Tumbang Tahai terdapat 10 pangkalan air Tangkiling. Pihaknya pun sudah mengantongi datanya.
Namun Satia mengaku tidak bisa memastikan semua pangkalan air Tangkiling itu sudah teruji kualitasnya oleh laboratorium, karena merupakan urusan pemilik pangkalan air. Yang jelas, para pemilik pangkalan air itu memiliki retribusi pajak. “Tiap bulan mereka wajib menyetor pajak ke Badan Lingkungan Hidup (BLH),” tuturnya.
Para pemilik pangkalan air Tangkiling yang berada di Kelurahan Tumbang Tahai tersebut mendistribusikan air ke berbagai daerah sesuai permintaan pelanggan. Masyarakat sekitar pun tak jarang untuk membeli.
“Paling banyak orang mendapatkan air, ya dari Tumbang Tahai ini sebenarnya. Karena di Tumbang Tahai ini, semua daerahnya, ketika di bor lepas dari batu,” ucap Satia.
Satia pun tak meragukan kualitas air di Tumbang Tahai. Masih terjaga keasrian dan tidak tercemar. Perihal kabar yang beredar yang menyebut kualitas air yang dijual pada depot-depot di Kota Palangka Raya tercemar, ia menduga merupakan perilaku nakal dari pemilik depot. Misalkan, ketika stok air habis, bisa saja para pemilik depot menggunakan air dari sumur bor. “Saya jamin air di Tumbang Tahai tidak tercemar dan aman dikonsumsi,” pungkasnya. (dan/ham/ce/ala/kpfm)