Tekun Menyusun Kamus, Disambut Baik Institusi Pendidikan

Sepmiwawalma dan Damianus Siyok, Menjaga Bahasa Daerah Tetap Lestari (3/Selesai)

Sepmiwawalma

Penantian Sepmiwawalma dan Damianus Siyok menanti “kelahiran” kamus Bahasa Dayak Ngaju-Bahasa Indonesia bukan tanpa tantangan. Dia tak menampik akan kesulitan yang dihadapi. Menyusun kamus lengkap sehingga harus melalui proses yang panjang membutuhkan konsistensi. Ketika sudah jadi, gayung pun bersambut. Institusi pendidikan membuka lebar-lebar pintu perpustakaan mereka untuk menampung buah tangan pasutri tersebut.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

LANGKAH pertama yang keduanya tempuh ketika mulai mengeksekusi penyusunan kamus Dayak Ngaju-Indonesia ini adalah dengan mendokumentasikan berbagai kosakata yang diketahui. Pertama,  mendokumentasikan berbagai bahasa dari mereka selaku penutur bahasa Dayak Ngaju. Artinya pihaknya menulis dari sesuatu yang dipakai sehari-hari.

“Kami juga bertanya kepada para penutur bahasa Dayak Ngaju lainnya, sehingga pengetahuan kami semakin kaya. Selanjutnya kami menganalisis, kata itu masuk ke kelompok apa. Apakah kata benda, kata kerja, kata sifat atau apa,” ungkap wanita yang merupakan anggota KPU Provinsi Kalteng 2013-2018 ini.

Langkah selanjutnya adalah menggunakan rujukan. Terdapat kamus induk yang digunakan untuk menjadi rujukan penyusunan kamus itu. Kamus induk yang menjadi rujukan adalah Dajacksch–Deutsches Worterbuch atau kamus Dayak Ngaju–Jerman yang disusun oleh Aug Harderland dan terbit tahun 1859. Berikutnya Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju-Indonesia karya Albert A Bingan & Offeny A Ibrahim, dan kamus Dwibahasa Dayak Ngaju-Indonesia karya Dunis Iper. Selain ketiga kamus ini, rujukan berikutnya adalah Surat Barasih.

“Jika kamus Harderland adalah gudang kosakata di masa lampau, termasuk kata-kata yang tidak lagi populer saat ini, misalnya Lepau (lumbung padi), kamus Albert dan Dunis serta Surat Barasih adalah rujukan kami soal penulisan kata (kutak itah) yang dianggap standar dalam penulisan yang sudah disepakati oleh intelektual Dayak Ngaju,” jelas wanita kelahiran Sepang Simin, Kabupaten Gunung Mas ini.

Contoh penulisan kata Dayak Ngaju yang populer dan dianggap standar adalah, uluh ditulis oloh, kalunen ditulis kalonen, kalute ditulis kalote, Pangkuh ditulis Pangkoh, Kasungan ditulis Kasongan. Mengapa demikian? Sayangnya Sepmi mengaku pihaknya belum menemukan dokumen akurat yang menjelaskan soal itu, namun pihaknya meyakini bahwa pola itu dipengaruhi oleh pola penulisan pada bahan ajar dan literasi di masa lampau, khususnya di sekolah-sekolah Zending (sekolah yang didirikan Zending untuk orang Dayak, misalnya di Mandomai, Kuala Kurun, Barimba, Kuala Kapuas, dsb). Kendati terlihat sederhana, ia mengakui menyusun kamus tidaklah mudah).

“Menyusun kamus itu sesungguhnya sulit. Memerlukan waktu yang lama, bertahun-tahun. Ini tentu saja menuntut ketekunan. Karena jika tidak tekun, apalagi bekerja tanpa dibayar, tidak akan selesai,” ungkapnya.

Untuk karya tulis dalam bentuk buku kamus, ujar ibu satu anak ini, tatkala dijual pun belum tentu segera dibeli orang. Padahal untuk mencetaknya saja perlu modal. Meski demikian, ia mengaku tidak mengalami kendala berarti ketika memasarkan kamus tersebut.

Hal itu mengingat kamus bahasa Dayak Ngaju diperlukan, karena siswa di sekolah-sekolah di Kalteng belajar muatan lokal yang berbasis bahasa Dayak Ngaju. Untuk sekarang, Muatan lokal itu ada karena Pergub nomor 22 Tahun 2011 Tentang Cara Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal.

“Menurut Pergub ini bahasa dan sastra daerah menempati urutan pertama sebagai kearifan lokal yang dianggap penting,” ucap wanita bergelar sarjana hukum ini. Keduanya menargetkan agar setiap lima tahun sekali mengeluarkan kamus dalam edisi terbaru atau revisi secara konsisten. Sebab ingin memasukkan lema-lema baru ke kamus edisi revisi tersebut sehingga up to date atau terus-menerus disempurnakan.

Sejauh ini keduanya masih menyusun kamus bahasa Dayak Ngaju, mengingat pihaknya merupakan penutur dari bahasa tersebut. Sumber daya yang dibutuhkan pun relatif mudah didapat, mengingat mereka bisa langsung membukukan kosakata yang dipakai dalam obrolan sehari-hari.

Kamus yang keduanya susun terdiri atas dua jenis. Pertama kelompok khusus (dicetak dan tidak dijual) dan kedua untuk umum (dicetak untuk dijual). Kelompok khusus sejak tahun 2017 tidak pihaknya kembangkan lagi. Sejak tahun 2017 itulah, keduanya fokus mengembangkan kamus Dayak Ngaju-Indonesia untuk kelompok umum.

Sepmi pun bercerita ketika ia dan sang suami pertama kali menawarkan kamus tersebut. Sambutan yang pihaknya terima pun cukup beragam. Kelompok pelajar dan guru muatan lokal pada umumnya gembira, karena mereka pada akhirnya bisa memiliki kamus Dayak Ngaju-Indonesia. Di Kuala Kapuas, sempat ada sekolah yang ragu-ragu untuk membeli buat siswanya.

“Sang guru mau melihat isinya dulu, apakah sudah sesuai dengan keperluan mereka atau belum. Setelah melihat, mereka membeli beberapa, karena menurut dia sudah standar dengan keperluan mereka,”  ujarnya.

Wanita yang sering memenangkan sejumlah lomba menulis ini menegaskan, kamus yang pihaknya susun adalah produk pikiran dan produk intelektual. Mungkin-mungkin saja ada orang lain menemukan kekurangan dari sudut A ataupun B, namun sejauh ini belum ada orang yang mengungkapkan itu. Oleh sebab itu, pihaknya berkesimpulan bahwa kamus yang dihasilkan disambut baik.

Ditanya apakah juga berniat untuk menyusun kamus bahasa Dayak pada rumpun Dayak yang lainnya selain Dayak Ngaju, ia mengaku belum ada upaya untuk ke sana. “Sejauh ini belum ada upaya membuat kamus bahasa lain. Karena belum memiliki kapasitas dan sumber daya ke sana,” ucapnya. (*/ala/kpfm)

305 Views