Gugatan soal Masa Jabatan Dikabulkan MK, Halikinnor; Berkah Bulan Puasa

PALANGKA RAYA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).

Sejumlah Kepala daerah tersebut meminta MK melakukan judicial review atau pengujian yudisial terhadap Pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang menyatakan bahwa kepala daerah hasil pilkada 2020 menjabat hingga tahun 2024. Sementara, pada Pasal 162 ayat (1) dan (2) UU yang sama mengatur bahwa kepala daerah menjabat selama lima tahun. Tak terkecuali bagi Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Halikinnor.

Dengan dikabulkannya gugatan tersebut, maka tidak ada penunjukan penjabat (pj) kepala daerah sampai dengan tahapan pilkada 2024 berakhir atau saat pelantikan kepala daerah terpilih pada pilkada 2024. Masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati Kotim yang seharusnya berakhir pada 31 Desember 2014, diperpanjang hingga dilantiknya kepala daerah baru.

Bupati Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) H Halikinnor mengatakan, dirinya bersama Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) mengajukan gugatan ke MK, perihal pengurangan masa jabatan sehubungan dengan digelarnya pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada bulan November 2024 nanti.

Gugatan tersebut akhirnya dikabulkan MK, sehingga masa jabatannya dan wakil tidak jadi berakhir pada 31 Desember 2024, melainkan berlanjut sampai pelantikan kepala daerah hasil pilkada serentak tahun 2024.

“Alhamdulillah berkah bulan puasa, kami sangat bersyukur keputusan MK, gugatan kami terkait masa jabatan kepala daerah hasil pilkada dikabulkan, sehingga tidak jadi berakhir 31 Desember 2024,” kata Halikinnor usai menghadiri rapat paripurna di DPRD Kotim, Senin (25/3).

Ia mengatakan, masa jabatannya bersama Irawati berlanjut sampai dilantiknya kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah nanti. Sehingga tidak ada penjabat bupati (pj) yang akan ditunjuk sampai pelantikan kepala daerah hasil pilkada serentak.

“Dengan dikabulkannya gugatan tersebut tidak ada penunjukan pj bupati hingga dilantiknya kepala daerah hasil pilkada, sehingga kami dapat memaksimalkan kinerja dengan masa jabatan yang tersisa,” ucap Halikin.

Untuk diketahui, MK telah mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan 11 kepala daerah hasil pilkada 2020. Hasilnya, masa jabatan kepala daerah hasil pilkada tahun 2020 batal berakhir pada tahun 2024. Putusan perkara nomor 27/PUU-XXII/2024 tersebut dibacakan dalam sidang di MK, Rabu (20/3).

Dalam putusan, MK menilai Pasal 201 ayat (7) yang menyatakan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024, bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

MK pun memerintahkan norma pasal tersebut diubah menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan serentak tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 tahun masa jabatan.

Terpisah, Plt Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Provinsi Kalteng, Rusita Murniasi, S.Sos., M.Si mengatakan, keputusan MK berpengaruh terhadap masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati Kotim. Masa jabatannya mereka nantinya akan habis hingga pelantikan bupati dan wakil bupati terpilih.

“Masa jabatan Bupati/Wakil Bupati Kotim 26 Februari 2021 hingga 31 Desember 2024, tetapi pelantikannnya sama-sama dengan hasil pilkada serentak. Kalau tidak ada halangan, kemungkinan awal tahun 2025. Apabila mereka mencalonkan diri lagi pada pilkada, maka harus mengajukan cuti kampanye,” katanya, Selasa (26/3).

Sementara itu, pengamat politik Dr Jhon Retei Alfri Sandi, S.Sos., M.Si turut menanggapi keputusan MK tersebut. Menurutnya, hal itu unik dan bukan persoalan baru. Pelaksanaan pilkada serentak telah ditetapkan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016. UU tersebut didesain mengingat pelaksanaan pilkada yang marak hampir tiap tahun dilakukan di Indonedia dan menelan biaya yang tinggi. Sehingga para pembentuk undang-undang saat itu berinisiatif melaksanakan pilkada serentak.

“Pada ketentuan UU itu juga ditetapkan tentang penjabat (pj). Dengan adanya pj itu dimaksudkan bahwa kemudian putaran pilkada dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia. Kita mencoba masuk di November 2024. Menurut yang saya pahami, untuk mereka yang dilantik tahun 2020, akhir masa jabatan mereka itu sampai dengan dilantiknya kepala daerah baru,” ujarnya kepada Kalteng Pos, Selasa (26/3).

Berdasarkan pengamatannya, anomali muncul ketika adanya gugatan-gugatan ke MK dari kepala daerah yang merasa masa jabatannya dikurangi dan hak individualnya dibatasi. Meskipun dalam undang-undang sudah jelas bahwa mereka nantinya akan diberikan konpensasi sebesar gaji penuh selama periode lima tahun.

Kemudian yang menjadi persoalan yakni harus dipahami terlebih dahulu tentang hak individual serta maksud dari pembentukan undang-undang yang mangatur pilkada serentak. Jika keputusan MK diimplementasi, maka hakikat dari pilkada serentak itu juga harus melakukan pelantikan secara serentak. Namun terkait dengan legitimasi para penjabat, menurutnya fatwa MK justru memundurkan kebijakan yang sudah ditetapkan dan diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016.

Kemudian dengan adanya koreksi dari MK terkait dengan hak kepala daerah yang menjalankan tugas selama 5 tahun, maka makna keserentakan itu juga bermasalah. Secara otomatis hal tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap pilkada Kotim tahun 2024.

“Mengapa harus ada pj dan kemudian pj itu ditetapkan tidak boleh mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan ikut menjadi kontestasi pilkada, karena salah satunya untuk menciptakan netralitas birokrasi. Namun dengan adanya fatwa itu, ternyata di beberapa daerah tertentu ada kepala daerah yang baru berakhir masa jabatannya setelah kepala daerah terpilih dilantik,” lanjutnya.

Melihat kasus di Kotim, sambung Jhon Retei, bisa jadi akan memunculkan perdebatan mengenai politik dinasti yang menciptakan arena kontestasi menjadi dipandang tidak netral. Meskipun dalam ranah MK memberikan ruang bagi kepala daerah untuk mengakhiri masa jabatan sesuai dengan periodesasi waktu, namun argumen gugatan tentu salah satunya agar bagaimana kepala daerah bisa menjalankan program secara penuh. Sehingga dengan sisa waktu itu mereka akan merealisasikan program kerja yang telah direncanakan.

“Saya kira pernyataan itu karena memang secara konstitusional sudah ada putusan dari MK kepada daerah-daerah tertentu. Suka tidak suka harus menerima keputusan itu. Seperti yang dilihat, Bupati Kotim mempunyai ruang untuk mencalonkan kembali. Ada satu produk MK dan ada satu produk UU Pilkada. Ada desain untuk melaksanakan pilkada serentak, dengan salah satunya menetapkan pj dan kemudian salah satunya menciptakan netralitas birokrasi,” tandasnya.

Ternyata, lanjut akademisi Fisip Universitas Palangka Raya itu, di tempat tertentu yang masa kerja kepala daerah belum berakhir, bisa menjadi persoalan. Itulah anomalinya Indonesia. Artinya ada satu semangat di bawah Undang-Undang Dasar yang kemudian mencoba untuk merancang pilkada serentak dan terstruktur, kemudian dipatahkan dengan adanya keputusan MK.

Semestinya ketika melakukan penataan sistem, lalu melahirkan UU, MK mempertimbangkan bagaimana filosofi lahirnya UU Pilkada sebagai upaya menata sistem politik yang menyangkut sistem pemilihan kepala daerah. Pasalnya, dengan adanya pj, dimaksudkan akan meminimalkan politisasi dan menjadikan birokrasi lebih netral. Namun kenyataannya, melalui putusan MK tersebut, jabatan kepala daerah diakhiri pada saat dilantiknya kepala daerah terpilih saat pilkada mendatang. Menurutnya itu menjadi persoalan.

“Semangat UU Nomor 10 Tahun 2016, dengan lahirnya konstitusi ini juga nantinya menjadi menarik untuk diperbincangkan. Rohnya keputusan MK tidak bertentangan dengan UUD 1945. MK menguji UU pada UUD. Akomodasi keputusan MK itu adalah mempertimbangkan hak-hak dasar individu, di mana pada saat mereka dipilih oleh rakyat pada saat periodesasi 5 tahun, maka mereka punya hak menjalankan tugas selama 5 tahun. Namun, lahirnya ketentuan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, malah dipatahkan dalam perjalanan,” katanya.

Menurut Jhon, seharusnya MK mempertimbangkan tentang bagaimana membangun sistem hukum dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, sehingga bisa tertata dengan baik. Padahal salah satu upaya yang telah dilakukan saat ini ialah melakukan pilkada serentak dan pelantikan serentak.

Jhon menilai hasil keputusan MK itu tentu berpengaruh bagi masyarakat, karena sebuah kepemimpinan juga berdampak terhadap masyarakat. Pada saat seorang pemimpin menjadi harapan masyarakat, tentunya masyarakat ingin mempertahankan pemimpin tersebut. Namun apabila pemimpin dinilai tidak amanah oleh masyarakat, maka ada kelompok masyarakat yang ingin jabatannya segera berakhir.

“Saat ini kita berpikir positif, yang dilakukan sudah baik. Tentunya publik berharap bahwa dengan masa jabatan yang telah diputuskan sesuai dengan ketentuan itu, bisa digunakan secara maksimal oleh kepala daerah untuk merealisasikan program-program. Kalau memang itu keputusannya, tidak ada yang perlu disalahkan, karena keputusan MK itu final dan mengikat. Apabila itu dianggap tidak pas, masyarakat harus menerima sebagai keputusan yang harus dijalankan,” tutupnya. (ovi/bah/ce/ala/kpfm)

397 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.