Hampir Semua DAS Kritis

Pendangkalan Sungai dan Alih Fungsi Lahan yang Masif Penyebab Banjir

SUNGAI KAHAYAN: Alih fungsi lahan dan kerusakan hutan berdampak pada pendangkalan sungai sehingga menyebabkan banjir sering terjadi saat turun hujan. Foto: ARIEF PRATAHAMA/KALTENG POS

PALANGKA RAYA – Banjir yang terjadi di Kalimantan Tengah (Kalteng) disinyalir merupakan imbas kerusakan lingkungan yang masif. Alih fungsi lahan skala besar atas tutupan hutan membuat daerah resapan air makin berkurang. Pendangkalan sungai pun terjadi. Kedua masalah lingkungan inilah yang pada akhirnya membuat bencana banjir makin sering terjadi. Pengambil kebijakan dinilai perlu mengoptimalkan upaya jangka panjang dengan memperbaiki kondisi lingkungan di daerah resapan air.

Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan II, Ferry Syahrizal mengungkapkan, salah satu penyebab banjir di Kalteng adalah karena pendangkalan sungai. Terjadinya pendangkalan sungai karena rusaknya hutan sehingga terjadi runoff yang membawa sedimen ke dalam sungai. Material-material dari runoff ini akan masuk ke sungai dan menjadi sedimen.

“Itulah yang dinamakan dengan sedimen, dan sedimen itulah yang membuat terjadinya pendangkalan. Pertanyaannya bukan normalisasi sungai, tetapi lebih jauh dari itu, yakni bagaimana mengubah pola pikir masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama menjalankan upaya jangka panjang perbaikan lingkungan,” ujar Ferry kepada awak media usai menghadiri kegiatan seminar dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia ke-32 bertajuk “Water For Peace” di M-Bahalap Hotel, Jumat (22/3).

Ferry mengatakan, hampir semua daerah aliran sungai (DAS) di Kalteng mengalami kritis. Kekritisan itu terjadi akibat maraknya alih fungsi lahan skala besar untuk kegiatan industri seperti pertambangan, perkebunan, dan sebagainya.

“Jadi ada batu bara, tambang emas, dan sebagainya. Ini perlu diperhatikan dari aspek ekosistemnya. Jangan sampai hutan yang bagus akan rusak karena kebijakan yang belum mendukung,” ujarnya.

Apapun kegiatan industri yang dilakukan, hendaknya memerhatikan aspek lingkungan. Menurutnya, masalah ini terjadi banyak bersinggungan dengan perubahan tata guna lahan, karena erat kaitannya dengan tata ruang. “Bagaimana kondisi tata ruang ini, perlu kita pertahankan kualitasnya,” sebutnya.

Terkait dengan normalisasi sungai, menurut Ferry, cukup sukar dilakukan karena kondisi topografi sungai di Pulau Kalimantan yang luas. Sungai di Kalimantan, ujarnya, sangat panjang. Panjangnya ini lebih dari 600 kilometer dengan lebar mulai dari rentang 250 hingga 800 meter. Jika memang ingin melakukan normalisasi sungai, maka perlu dilihat dahulu daerah mana saja yang perlu dilakukan normalisasi. Meski demikian, perbaikan lingkungan secara komprehensif dengan berbagai stakeholders lebih disarankan.

“Yang lebih disarankan adalah bagaimana kita berupaya dengan seluruh elemen agar mengubah kebiasaan-kebiasaan yang berdampak pada kerusakan lingkungan, kita bukan mencari solusi sesaat, tetapi jangka panjang,” tandasnya.

Di tempat yang sama, akademisi teknik lingkungan dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya, Novrianti dalam paparannya menerangkan, masalah air di Kalteng adalah infiltrasi atau air yang berjalan di atas permukaan tanah.

Menurutnya, pekerjaan rumabh bagi Kalteng adalah normalisasi sungai, meskipun ada aturan bagaimana cara menormalisasi sungai. Salah satu problem ketersediaan air di Kalteng, ujarnya, adalah bencana banjir. Pemerintah punya pekerjaan rumah untuk menyelesaikan masalah ini agar tidak berulang. Air melimpah ruah, tetapi hilang begitu saja.

“Selama ini penanganan banjir masih dilakukan per sektor, pemerintah melalui instansi terkait sudah berupaya, tetapi kita harus lebih serempak lagi untuk bersama-sama menangani itu,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kalteng, Agustan Saining mengakui adanya kerusakan daerah resapan air di wilayah daerah aliran sungai (DAS). Rusaknya DAS disinyalir terjadi akibat maraknya alih fungsi hutan.

Ia menyebut, tidak bisa dimungkiri terjadi pengurangan tutupan hutan di wilayah DAS selaku daerah resapan air. Sebab, beberapa lahan telah dialihfungsikan untuk perkebunan sawit, pertanian masyarakat, dan lain-lain.

“Tetapi itu kan risiko dari pembangunan, mau tidak mau kita juga tidak mungkin mengamankan hutan 100 persen untuk tidak diapa-apakan, tetapi untuk kepentingan lain yang lebih besar, misal untuk kegiatan usaha yang memerlukan ruang-ruang, kita tetap perlu mendukung, tetapi harus sesuai kaidah teknis,” ujar Agustan, Senin (18/3).

Kaidah-kaidah teknis itu, ujar Agustan, dipertimbangkan melalui identifikasi wilayah-wilayah, yang jika dialihfungsikan tidak berdampak besar bagi kelangsungan ekosistem.

“Ada beberapa kawasan yang tidak bisa dilepaskan atau dialihfungsikan, seperti kawasan lindung atau kawasan konservasi, tidak ada aturan yang membolehkan lahan itu untuk dilepaskan untuk dialihfungsikan,” tegasnya.

Akan tetapi, ujar Agustan, wilayah hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK) atau hutan produksi bisa saja dilakukan pelepasan kawasan hutan.

Menurut pemetaan Dishut Kalteng, lanjut Agustan, wilayah DAS di Kalteng merata mengalami titik-titik yang dialihfungsikan. Karena di daerah-daerah hulu, kebutuhan lahan hampir merata.

“Tetapi akhir-akhir ini lebih banyak di DAS Barito, karena di sana mungkin jumlah perusahannya lebih banyak, jadi penggunaan lahannya juga lebih besar, otomatis lahan yang perlu dilakukan pembukaan lebih luas,” tambahnya.

Terkait dengan hubungan antara banjir dengan deforestasi, Agustan menyebut, dari sisi kehutanan pihak perusahaan melakukan kegiatan penebangan melalui prinsip tebang pilih, bukan tebang habis.

“Dari sisi teknis kehutanan, deforestasi itu minim. Nanti pada saat rotasi waktu berikutnya, tanaman yang tadi ditebang dengan prinsip tebang pilih itu akan tumbuh lagi. Misal, dalam suatu blok penebangan, yang ditebang hanya berdiameter 40 cm ke atas, kalau yang 40 cm ke bawah tidak ditebang, melainkan dijadikan sebagai pohon inti,” sebutnya.

10 tahun kemudian, ketika pohon-pohon itu sudah bertambah diameternya di atas 40 cm, maka itulah yang dipilih untuk ditebang.

Meski demikian, upaya mengurangi dampak dari alih fungsi lahan tetap perlu dilakukan. Agustan menyebut, kegiatan seperti rehabilitasi atau reboisasi diwajibkan untuk dilakukan oleh perusahaan pemegang izin penggunaan lahan. Para pemilik izin kawasan pertambangan, ujar Agustan, memiliki kewajiban untuk melakukan rehabilitasi DAS di sekitar wilayah yang dilakukan pembukaan lahan.

“Kemudian, ada kewajiban reklamasi, termasuk kebun-kebun, meskipun sudah dilakukan pelepasan kawasan, mereka punya wajiban untuk menjaga wilayah-wilayah yang mempunyai nilai konservasi tinggi,” tambahnya.

Terkait dengan kepatuhan perusahaan untuk ikut meminimalkan dampak alih fungsi lahan, Agustan menyebut, seluruh perusahaan memang sudah melakukan kegiatan itu. Namun pihak yang berwenang untuk melakukan evaluasi lebih jauh adalah balai yang berada di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Ada balai tersendiri yang berkewenangan untuk mengevaluasi, itu ada di bawah KLHK, baik itu BKSDA maupun UPT-UPT lain yang berkompeten untuk kegiatan evaluasi wilayah-wilayah konservasi itu,” sebutnya. (dan/ce/uni/kpfm)

245 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.