Tapak Tilas Sang Juru Selamat, Best of Holyland (1)

Berziarah ke Tanah Suci merupakan harapan semua umat Kristiani di dunia, karena merupakan perjalanan spiritual iman umat, khususnya penganut agama Katolik. Kebesaran kasih Tuhan menjadi kekuatan dari segalanya. Ziarah rohani kami pun berjalan lancar, kendati jadwal keberangkatan sempat tertunda pada Oktober 2023 lalu karena perang Hamas dan Israel.
EMANUEL LIU LONGA, Kairo
PADA ziarahrohani kali ini, saya (penulis) berkesempatan mengunjungi Gunung Sinai, kota kelahiran Tuhan Yesus, Laut Mati, Sungai Yordan, Danau Galilea, Gunung Nebo, dan beberapa situs yang merupakan simbol perjalanan spiritual. Dasarnya ialah seruan Yohanes Paulus II pada tahun 1998 yang menandai tibanya milenium baru, dengan mengajak semua umat Kristiani untuk berziarah ke Tanah Suci.
Hal itu sebagai kewajiban suci umat Kristiani di seluruh dunia, untuk menegaskan bahwa semangat hidup Kristiani dalam aspek-aspek yang paling mendasar masih bertumpuh pada tanah sebagai pemberian. Disebut Tanah Suci karena merupakan tanah perjanjian antara Allah dan umat Israel kala itu. Seruan tersebut berdampak pada membanjirnya umat Kristiani yang mengunjungi Tanah Suci, meski di tengah konflik yang masih terjadi dewasa ini.
Tahun ini saya mendapat kesempatan mengikuti ziarah ke Tanah Suci bersama JB Tour, dengan agenda mengunjungi Mesir, Sharm El Sheikh, Israel, Petra, dan Laut Mati. Kendati sempat tertunda jadwal keberangkatan pada Oktober 2023 karena situasi yang tidak kondusif, tetapi akhirnya saya boleh mengalami kebesaran dan cinta kasih Tuhan. Perjalanan kami lancar tanpa hambatan. Raut wajah bahagia tak dapat disembunyikan saat mengikuti misa perdana di Kota Kairo.
Dari total 27 orang peserta yang ikut dalam perjalanan rohani kali ini, hampir semuanya mengaku baru pertama kali melakukan ziarah rohani ke Tanah Suci. Hanya satu atau dua orang yang pernah sebelumnya. Peserta yang ikut pun mewakili semua pulau yang ada di Nusantara ini. Mulai dari Papua, NTT, Sulawesi, Jawa, Kalimantan, hingga Sumatera. Semuanya larut dalam suasana bahagia penuh kekeluargaan.
Perjalanan kami dipandu oleh tour guide asal Indonesia bernama Rafael Prabowo, yang merupakan anak dari pemilik JB Tour Jakarta, Joseph Budiawan. Peserta yang datang dari penjuru Tanah Air berkumpul di Bandara Internasional Soekarno Hatta pada Kamis (15/2) pukul 20.00 WIB. Semuanya tiba tepat waktu. Dilanjutkan dengan koordinasi terkait hal-hal penting sebelum keberangkatan. Kemudian kami check in sekitar pukul 21.00 WIB dan mengikuti pemeriksaan imigrasi.
Tepat pukul 00.00 WIB, rombongan terbang menuju Dubai menggunakan maskapai Emirates. Menempuh perjalanan selama 7 jam 50 menit. Setelah transit selama 2 jam 30 menit di Bandara Internasional Dubai, rombongan melanjutkan penerbangan menuju Bandara Internasional Kairo dengan menggunakan maskapai penerbangan yang sama.
Usai melewati pemeriksaan imigrasi, rombongan kami diterima dengan penuh kehangatan oleh tour guide asal Kota Kairo, Pak Amin dan Goliat. Kami diberi bunga sebagai ucapan selamat datang. Kemudian dilanjutkan dengan perkenalan.
“Selamat datang bapak/ibu semuanya di Mesir. Kami sangat bangga bisa bertemu dengan Anda. Semoga dapat menemukan kebahagiaan selama berada di sini dan membawa kabar sukacita ke Indonesia setelah kembali dari Tanah Suci,” kata Pak Amin (tour guide lokal) yang sangat fasih berbahasa Indonesia.
Waktu sudah hampir tengah hari. Pak Amin mengajak rombongan menuju tempat makan siang di salah satu restoran yang ada di pusat Kota Kairo. Di Torrone Restaurant dan Ceramic Caffe itu, kami disajikan menu makanan khas Mesir.
Setelah puas mencicipi makanan, kami diarahkan untuk mengunjungi Gereja Maria Ratu Damai yang terletak di pusat Kota Kairo. Di gereja itu kami mengikuti perayaan Ekaristi yang dipimpin Pater Yanuarius Lobo SVD.
Perjalanan menuju gereja tempat keluarga kudus (Yesus, Maria, dan Yusuf) pernah menetap untuk menghindari pengejaran Raja Herodes kala itu, berjalan lancar. Lalu lintas sepanjang perjalanan tampak sepi. Tidak ada kemacetan, karena memang hari itu merupakan hari libur.
“Kita patut bersyukur karena berkat perlindungan Tuhan, kita boleh melaksanakan perayaan Ekaristi kudus di kota Ini. Semoga perjalanan kita selanjutnya dilindungi dan dibimbing oleh berkat Allah Yang Mahakuasa, amin,” ucap Pater Yanuarius Lobo SVD dalam khotbah singkat saat itu.
Setelah mengikuti Ekaristi di Gereja Maria Ratu Damai, kami beranjak menuju Gereja Santo (St) Simon atau yang sering disebut Gereja Sampah. Letaknya tak jauh dari permukiman kumuh. Meski demikian, bangunan gereja itu terlihat indah dan unik.
Simon The Tanner Church merupakan nama lain dari Gereja Sampah. Simon The Tanner adalah seorang santo yang hidup pada zaman itu, yang juga merupakan seorang penyamak kulit. Pemberian nama Simon The Tanner Church itu didedikasikan kepada Santo Simon si penyamak kulit.
Gereja Sampah atau yang biasa disebut Gereja Mukjizat di bukit Mukattam itu merupakan Gereja Koptik tua atau Koptik Ortodoks yang memiliki sejarah yang sangat menarik. Belasan ribu pemulung hidup di wilayah tersebut. Tiap hari mereka mengais sampah dan hidup dari sampah. Namun bagi penduduk sekitar, Gereja Sampah ini memancarkan “keharuman”.
Keharuman Kristus terpancar lewat kehadiran dan kesaksian-Nya. Pelayanan jemaat telah membawa banyak pemulung mengenal Kristus dan mendapatkan pegangan hidup. Tiap minggu mereka beribadah di gereja tersebut. Memuliakan Tuhan di tengah himpitan kemiskinan dan teladan kasih yang ditunjukkan lewat berbagai bantuan yang didapatkan, baik moral maupun materiel.
Untuk mencapai gereja yang besar dan luas itu, kita harus melewati permukiman kumuh tempat tinggal para pemulung sampah. Namun, begitu sampai di area gereja tersebut, ada rasa kagum yang luar biasa, karena gereja itu terbuat dari gunung batu yang dipahat, yaitu gunung Mukhatam/Moqattam.
Ada sekitar 50.000 orang jumlah penduduk di tempat itu. Hampir seluruhnya merupakan pemeluk agama Kristen, dan benar-benar hidup dalam kesedihan. Di sekitar lokasi itu, bau busuk yang luar biasa tak bisa terhindarkan. Tak heran, karena merupakan lokasi berkumpulnya berbagai sampah dari penjuru kota. Namun orang-orang yang bermukim di situ justru menyelesaikan pekerjaan dengan senyuman.
Gua Gereja Sampah itu terdiri dari 3 set gua berbentuk tribun stadion, dengan atap yang terbuat dari batu gunung. Yang terbesar dikatakan dapat menampung 10.000 orang. Yang di tengah berkapasitas sekitar 2.000 orang. Sedangkan yang terkecil bisa menampun sekitar 200 orang. Gereja yang terletak di sebelah tenggara Kota Kairo itu merupakan bukti mukjizat yang pernah terjadi di zaman lampau. Usai mendengarkan penjelasan Pak Amin, kemudian kami mengadakan doa bersama. Setelah itu kami mendapat kesempatan untuk berfoto, mengabadikan momen di tempat bersejarah dalam agama Kristen itu. Menjelang malam, rombongan diarahkan menuju restoran untuk makan malam. Setelah memulihkan kekuatan jasmani, kami bergerak menuju Hotel Tolip tempat kami menginap. (bersambung/ce/ala/kpfm)