PERKEBUNAN
PALANGKA RAYA – Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Sebagai tanaman tropis, kakao dinilai sangat cocok untuk dibudidayakan di tanah dan iklim Indonesia. Salah satu provinsi di Indonesia yang dinilai berpotensi besar menjadi produsen kakao adalah Kalimantan Tengah (Kalteng). Pemerintah bersama masyarakat setempat mulai mendorong optimalisasi produksi dan hilirisasi kakao. Hal itu sebagai upaya menyikapi tren permintaan yang tinggi terhadap komoditas bahan baku cokelat tersebut.
Tren pasar global untuk permintaan kakao meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun sebaliknya, produksi kakao dalam negeri justru mengalami penurunan dengan berbagai faktor penyebab yang berbeda. Sebagimana diungkapkan Asisten Perekonomian dan Pembangunan (Ekobang) Sekretariat Daerah (Setda) Kalteng, Sri Widanarni.
“Kondisi ini tentunya dapat dianggap sebagai peluang yang sangat bagus bagi pengembangan kakao di Provinsi Kalteng. Untuk itu diperlukan upaya bersama dan sinergi dari berbagai pihak,” ujar Sri saat menyampaikan sambutan dalam kegiatan Seminar Potensi Pengembangan Industri dan Budi Daya Kakao di Kalteng yang dilaksanakan di Aula Kantor Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng, Selasa (27/2).
Melihat dari besarnya potensi dan tren permintaan yang meningkat itu, Sri menyebut Kalteng masih memiliki pekerjaan rumah yang besar, baik dari segi transfer pengetahuan serta pengembangan ekonomi untuk memastikan bahwa petani lokal mampu menghasilkan kakao berkualitas.
“Hanya dengan bergandengan tangan, kita dapat menciptakan masa depan lebih cerah bagi industri kakao di Indonesia, terutama untuk memberikan manfaat ekonomi signifikan bagi kesejahteraan masyarakat Kalteng,” tambahnya.
Di tempat yang sama, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng Rizky R Badjuri mengungkapkan, ada 582 hektare (ha) perkebunan kakao dari total luas wilayah Kalteng. Luasnya belum mencapai 1.000 ha, sehingga produksinya perlu dioptimalkan.
“Melalui kegiatan-kegiatan seperti inilah kami berusaha meng-upgrade kemampuan petani kakao, mulai dari pola produksi hingga produsennya (dalam hal ini para petaninya sudah ada), kami sudah berkoordinasi dengan beberapa dinas terkait penanaman kakao ini,” ucap Rizky kepada awak media.
Sebelum melaksanakan kegiatan itu, pihaknya sudah melakukan kunjungan kerja (kunker) ke wilayah timur Kalteng, yakni Murung Raya, Barito Utara, dan Barito Selatan. Menurut Rizky, wilayah-wilayah tersebut punya potensi besar untuk pengembangan kakao.
“Tetapi memang kalau kita melihat komoditas unggulan di sektor perkebunan Kalteng ini ada empat, yakni kelapa sawit, kelapa dalam, kopi, dan kakao. Produksi kakao masih di urutan keempat,” jelasnya.
Menurut Rizky, kondisi demikian perlu disikapi secara bijak. Sebab, jika melihat tren terkini, komoditas kakao sangat dibutuhkan secara global. Jika Kalteng dapat memaksimalkan produksi kakao, diharapkan ke depan dapat menjawab tantangan kebutuhan global tersebut, sehingga mampu menjadi komoditas andalan baru di provinsi terluas di Indonesia ini.
Pengembangan kakao di Kalteng, ujar Rizky, menurut diskusi yang dilakukan pihaknya, tidak akan menimbulkan efek sosial seperti pada komoditas-komoditas lain. Apabila ditanam di kawasan hutan, tidak akan menimbulkan permasalahan.
“Lain halnya dengan komoditas sawit, kalau sawit ada satu dua yang tumbuh, mulailah ada sedikit gesekan sosial, baik di alas hak tanahnya maupun di beberapa bagian kependudukan atau lingkungan sekitar,” tuturnya.
Diharapkan ke depannya tanaman kakao tidak lagi menjadi komoditas keempat, melainkan dapat menjadi komoditas utama. Maka dari itu, dengan menggandeng banyak pihak, pihaknya terus mendorong peningkatan produksi kakao di daerah.
“Kita masih kekurangan produksi komoditas kakao, tapi tidak lama lagi, ada salah satu investor yang akan menaruh pabrik khusus cokelat di Kalteng, sehingga mampu memaksimalkan upaya hilirisasi komoditas tersebut,” tambahnya.
Berdasarkan update data, luas perkebunan kakao di Kalteng sekitar 600-an ha. Untuk data terbaru, lanjut Rizky, saat ini pihaknya masih melakukan input data dari beberapa petani dan kebun-kebun swadaya. “Mudah-mudahan nanti dengan kehadiran petani-petani unggulan yang sudah berhasil menanam kakao ini bisa meningkatkan ekonomi masyarakat,” tambahnya.
Menurut Rizky, saat ini jumlah petani kakao adalah 2.000-an petani. Jumlah tersebut di bawah jumlah petani kopi. Adapun petani kakao paling banyak di Kalteng terdapat di wilayah timur, seperti Barito Selatan, Murung Raya, dan daerah-daerah lainnya.
“Mengapa daerah-daerah timur Kalteng? Karena di sana lahannya masih ada, tidak seperti wilayah barat. Tetapi untuk wilayah barat nanti kami akan berkoordinasi dengan Gapki Kalteng, misalnya untuk pemberiaan plasma atau kebun kemitraan, bisa juga ditanami komoditas kakao,” jelasnya.
Rizky menambahkan, tidak tertutup kemungkinan akan hadir investor di Kalteng yang akan membangun pabrik pengolahan cokelat. Kakao hasil produksi petani Kalteng akan diolah pada pabrik tersebut menjadi cokelat. Hal ini tentu akan memperkuat hilirisasi produk kakao.
“Hal itu tidak menutup kemungkinan kalau sudah ada hulunya, tidak mungkin pabrik hadir kalau tidak ada hulunya, saat ini kan sudah ada hulu, berarti kami tinggal mendorong hilirisasinya,” tambahnya.
Jika hulu ke hilir itu berhasil dikembangkan, maka Provinsi Kalteng diharapkan dapat menjadi produsen utama kakao di Indonesia. Saat ini, pihaknya tidak hanya mendorong pengembangan wilayah hulu kakao, seperti perluasan kebun dan peningkatan SDM petani kakao, tetapi juga wilayah hilirnya.
“Mudah-mudahan paralel bisa jadi satu, bisa saja hilirisasi duluan masuk, dengan begitu bisa mendorong para petani lebih semangat bekerja,” tandasnya.
Pendiri Yayasan Good Forest Indonesia, Monalisa mengungkapkan, kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang potensial dikembangkan di Kalteng. Hal itu dapat dilihat dari tren pasar yang tinggi terhadap permintaan kakao. Akan tetapi, produksi kakao di Indonesia justru mengalami penurunan. Penurunan tersebut, ujar Monalisa, terjadi karena produksi kakao di Sulawesi sudah mulai tidak ada peremajaan.
“Penurunan produksi di Indonesia itu justru membuka peluang besar bagi Provinsi Kalteng untuk menjadi daerah andalan baru untuk produksi kakao,” ujar Monalisa kepada awak media saat menghadiri Seminar Potensi Pengembangan Industri dan Budi Daya Kakao di Kalteng yang dilaksanakan di Aula Kantor Disbun Kalteng, Selasa (27/2).
Menyikapi kondisi itulah pihaknya melakukan pengembangan produksi kakao di Kalteng melalui pemberdayaan petani di sejumlah wilayah yang dinilai memiliki potensi besar sebagai sentra produksi komoditas kakao.
“Kami mulai dengan pilot program, di dalamnya ada penanaman, ada juga pembinaan bagi petani yang sudah memiliki kebun kakao. Di Barito ada petani-petani yang sudah melakukan fermentasi, kami latih, dan melakukan penjualan langsung ke pembeli premium di Bali,” ungkapnya.
Ekosistem pasar atas produksi kakao itulah yang kini coba bangun pihaknya, dengan terlebih dahulu mengidentifikasi potensi pengembangan kakao di Kalteng. Apakah petani antusias, apakah lahan yang ada sudah tersedia, apakah tanahnya cocok, dan apakah ada dukungan dari pemerintah daerah (pemda) atau tidak. “Jika semua aspek itu ada, kami optimistis komoditas kakao bisa dikembangkan,” tambahnya.
Petani kakao dari Desa Tampa, Kecamatan Paku, Barito Timur, Marsono mengaku memiliki lebih 1 ha lahan yang sudah ditanami kakao. Ia sudah menanam kakao sejak 2017 lalu. Menurut pria berusia 44 tahun itu, saat ini harga kakao per kilogramnya berkisar Rp40 ribuan.
“Dulu harganya masih Rp18 ribu per kilo, itu harga sekitar 2019 lalu, tapi harganya mulai naik tahun 2020 ke atas,” ucapnya.
Tiap bulan Marsono panen sekitar 100 kilogram per hektare. Jika saat ini harga per kilogramnya Rp40 ribu, maka ia bisa meraup untung Rp4 juta per bulan. Menurut Marsono, kakao memiliki potensi yang lebih bagus dibandingkan sawit dan karet. “Pertama, masalah tanah lebih terjaga, tidak merusak tanah, karena tidak butuh bahan kimia tertentu, kami dianjurkan menggunakan pupuk organik,” ucapnya.
Kendati demikian, Marsono menyebut masih sedikit petani kakao di wilayahnya. Saat ini ada puluhan orang yang sudah menanam kakao, kurang lebih 20-an orang. Adapun pembelinya datang dari Kalimantan Selatan.
“Dari Kalsel ada yang beli kakao kami, tetapi kemarin pihak OPD juga membantu kami untuk menjualkan hasil kebun kami ke Bali, mereka yang mengirimkan barang kami,” tandasnya. (dan/ce/ala/kpfm)