PERTANIAN
PALANGKA RAYA – Hilirisasi produksi beras di Kalimantan Tengah (Kalteng) hingga kini masih mengalami sejumlah kendala. Gabah yang diproduksi, hampir semuanya dibeli oleh provinsi tetangga untuk kemudian diolah menjadi beras. Beras jadi dari daerah luar yang gabahnya berasal dari Kalteng itu, dijual kembali ke Kalteng dengan harga lebih tinggi.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (DTPHP) Kalteng, Hj Sunarti mengatakan, gabah produksi petani Kalteng hampir semuanya dijual ke luar daerah. Jika melihat lokasi sentra produksi padi Kalteng, katanya, baik itu Desa Belanti Siam, Bataguh, maupun lokasi lainnya, orang dari luar daerah akan langsung membeli gabah itu dalam jumlah banyak.
“Makanya Pak Gubernur bertekad membangun alat penggilingan padi rice to rice untuk mengantisipasi agar gabah-gabah kita tidak lari ke luar,” kata Sunarti kepada awak media, Jumat (26/4).
Adapun harga gabah di Kalteng saat ini perlahan mulai merangkak naik. Di tingkat petani saja, harga gabah sudah lebih tinggi. Pada puncak panen terbaru, harga gabah Kalteng mencapai Rp7.300. “Kemarin sempat anjlok, tapi anjloknya dari Rp10.000 menjadi Rp7.000, masih di atas harga pemerintah yang sebesar Rp6.000,” bebernya kepada wartawan.
Adapun penyebab anjloknya harga gabah itu, ujar Sunarti, merupakan konsekuensi dari hukum alam. Apabila terjadi panen raya, hampir pasti harga gabah akan turun. Namun jika di luar panen raya, harganya pasti akan tinggi.
Menurut Sunarti, apabila gabah ini mampu diolah di Kalteng, maka akan berdampak positif bagi produksi beras daerah. Selama ini, gabah yang dihasilkan petani lokal diproduksi di luar daerah, kemudian dibeli kembali oleh masyarakat Kalteng dengan harga yang lebih tinggi.
“Kan kita terlihat tidak ada martabatnya (kemandirian, red), maka dengan adanya rice to rice itu diharapkan nanti bisa memandirikan produksi padi kita dan gabahnya tidak lari ke luar lagi,” tuturnya.
Selain itu, nilai jual bisa menjadi lebih tinggi, karena gabah yang dihasilkan langsung bisa diproduksi menjadi beras. Rice to rice rencananya akan dibangun di Pulang Pisau.
“Jadi penggilingan-penggilingan kecil itu kami beli, terus kami proses menjadi beras premium. Kita harus berupaya agar harga yang kita jual itu lebih baik daripada yang ditawarkan orang luar,” ujarnya.
Sebelumnya, Sunarti menyebut, terkait dengan gabah yang masih banyak dijual ke luar daerah, DTPHP berharap ada campur tangan pihak lain, mengingat tugas mereka hanya terbatas pada upaya produksi pangan. Diharapkan ada koordinasi dari instansi di bidang perdagangan, perusahaan daerah, maupun pihak lain yang bersedia mengambil hasil panen petani lokal.
“Jadi sistem itu membuat harga gabah petani bisa bersaing, sehingga petani bisa menjual gabah dengan harga bebas. Saat ini, Bulog hanya membeli dengan harga pokok pemerintah, sementara di luar itu harganya sudah tinggi, pasti petani berpikir untuk menjual gabahnya ke luar daerah, namanya juga perdagangan bebas,” sebutnya.
Maka dari itu, ujar Sunarti, baik Dinas TPHP, dinas perdagangan, maupun pihak terkait perlu duduk bersama untuk membahas strategi agar gabah hasil produksi Kalteng tidak sampai dijual ke daerah lain. Salah satu solusi yang diambil Gubernur H Sugianto Sabran adalah dengan membangun pabrik perberasan di Kalteng.
Di samping itu, pihaknya juga mengundang perusahaan daerah yang mau berperan untuk membeli gabah-gabah petani lokal, sehingga petani Kalteng juga bisa mendapatkan hasil yang sesuai harapan. (dan/ce/ala/kpfm)