Kebutuhan Beras di Kalteng Tak Tergantung Daerah Luar
PALANGKA RAYA – Proyek lumbung pangan alias food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng) masih terkendala irigasi. Padahal, pertanian tanaman pangan seperti padi membutuhkan sistem pengairan atau irigasi yang baik. Kondisi demikian tak ayal menghambat proses produksi padi di Bumi Tambun Bungai.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (DTPHP) Provinsi Kalteng, Hj Sunarti mengatakan, hingga kini persoalan irigasi masih menjadi kendala utama dalam upaya pengembangan proyek food estate di Kalteng.
“Irigasi masih jadi persoalan, kami kan hanya punya kewenangan di saluran irigasi kuarter, sementara yang bukan kuarter seperti saluran irigasi primer dan sekunder menjadi kewenangan Kementerian PUPR,” ungkapnya kepada media, Selasa (2/4).
Sunarti mengatakan, belum optimalnya keberadaan saluran irigasi primer dan sekunder itu cukup mengganggu produksi padi di lahan food estate. Maka dari itu, pihaknya mencanangkan program optimalisasi lahan rawa dengan bantuan perpompaan untuk mengantisipasi lahan-lahan yang irigasinya terganggu.
“Ada 10 kabupaten yang mendapat program optimalisasi lahan rawa, kecuali Kota Palangka Raya, Lamandau, Murung Raya, dan Sukamara, ada kurang lebih sekitar 81.088 hektare,” bebernya.
Pengembangan pertanian padi sudah tentu membutuhkan sistem pengairan yang baik. Kondisi demikian perlu menjadi perhatian serius di dua daerah sentra produksi padi, yakni Kapuas dan Pulang Pisau. Menurut Sunarti, dua daerah tersebut memiliki karakteristik lahan rawa pasang surut.
“Jadi perlu saluran irigasi yang baik termasuk pengaturannya, kalau ada pasang rob pasti kena banjir, kalau ditotal luas lahan pertanian di Kapuas dan Pulang Pisau adalah 72 ribu hektare, itulah besaran lahan yang masih membutuhkan saluran irigasi yang baik,” jelasnya.
Selain fenomena alam El Nino dan kuota pupuk yang kurang, persoalan irigasi ini turut menjadi penyumbang terhambatnya produksi padi di Kalteng. Sunarti menyebut, persoalan irigasi primer dan sekunder merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Namun pihaknya masih terus berkoordinasi untuk bisa menyelesaikan persoalan tersebut.
“Komunikasi kami dengan Balai Wilayah Sungai tidak putus, tiap kali ada rapat kami undang untuk berdiskusi terkait solusi permasalahan dan lain-lain,” ucapnya.
Lebih lanjut Sunarti menjelaskan, tidak benar jika mengatakan pemenuhan beras masyarakat Kalteng masih bergantung pada daerah luar. Memang patut diakui bahwa sebagian besar produksi beras dilakukan di Kalimantan Selatan (Kalsel). Namun padi-padi tersebut diambil dari Kalteng. Kalsel mengambil gabah dari Kalteng. Permasalahannya, sejauh ini Kalteng belum punya peralatan memproduksi beras.
“Makanya Pak Gubernur membangun rice to rice dan RMP, itu salah satu upaya untuk mengamankan hasil panen petani Kalteng,” tuturnya.
Sesuai rencana, rice to rice itu akan dibangun di Desa Pantik, Pulang Pisau, sementara RMP dibangun di Desa Lampuyang, Kotim. RMP di Kotim berfungsi untuk menampung produksi padi dari Seruyan dan daerah-daerah sekitar.
“Gabah yang keluar dari Kalteng jumlahnya masih 90 persen lebih, makanya perlu ada program seperti itu untuk mengoptimalkan pengelolaan gabah yang dipanen para petani Kalteng,” ucapnya. (dan/ce/ala/kpfm)