WAJAH Atur P Demen merah padam. Keringat membasahi pelipis matanya yang keriput. Area leher baju dinasnya basah. Guru yang akan pensiun empat tahun lagi itu sedikit ngos-ngosan berjalan kaki, menapaki jalan setapak yang sebelah-menyebelahnya ditumbuhi pohon sawit, pohon karet, dan padang rumput. Sinar mentari pada pukul 09.00 WIB itu menerangi perjalanan kami menuju lokasi bangunan sekolah lama.
Baru saja bertolak dari tenda darurat ke lokasi bangunan sekolah lama, kami harus melewati jalan perdesaan berkontur tanah liat dan berdebu. Kalau turun hujan, jalan itu sangat licin. Setelahnya, kami harus memarkirkan mobil, karena jembatan penghubung menuju desa selanjutnya tidak memungkinkan untuk dilalui kendaraan roda empat. Hanya cukup untuk dilalui sepeda motor. Itu pun harus yang kuat dan memang didesain untuk jalur offroad. Jika tidak, siap-siap saja sepeda motor digiling “lintasan trail” itu.
Korwil Pendidikan Kecamatan Pasak Talawang Periyanto sempat berguyon di tengah perjalanan. “Nanti kami usulkan agar di sini dijadikan lintasan trail, mudah-mudahan bisa realisasi, tanjakannya curam, apalagi turunannya, ditambah lagi berlubang-lubang, kalau hujan pasti lebih menantang,” celetuknya.
Selama kurang lebih 30 menit, kami harus beringsut-ingsut di dalam mobil, karena kondisi jalan demikian. Setelah mobil dan kendaraan lain terparkir, kami pun berjalan kaki memasuki Jalan Tumbang Onah, jalan setapak menuju pinggir sungai dan bangunan sekolah lama.
Kami harus melewatinya selama kurang lebih 10 menit. Hanya ditemani semak belukar dan rindang pohon sawit yang tumbuh subur.
Bangunan gereja berkonstruksi kayu pada sisi kanan jalan menuju sungai, menarik perhatian kami. “Itu bangunan gereja lama, sudah tidak terpakai. Lihat, itu bekas tinggi air kalau banjir,” ucap Atur sembari menunjuk bekas lumpur yang hampir menyentuh seperempat bangunan itu.
“Perjalanan kita masih jauh, di sini saja banjirnya sudah setinggi itu, apalagi kalau kita ke dalam sana lagi,” timpal Kepala Dusun Tumbang Onah, Sipiansyah Alsuan.
Atur pun mempercepat langkah. Bibir sungai sudah tampak di pelupuk mata. Beriringan dengan suara mesin sedot emas yang saling bersahutan. Atur, Sipiansyah, dan Pak Arman mengajak kami ke pinggir sungai. Kemudian ketiganya menyetopkan langkah. Pinggir sungai ini dahulu merupakan jalan, yang di sisi kanan dan kirinya berdiri rumah warga, sebelum akhirnya terdampak ablasi.
Dengan nada berapi-api, Atur menjelaskan jalan lama menuju sekolah yang sudah menyatu dengan sungai, sembari menunjukkan bukti bekas jalan yang sudah hampir diselimuti air sungai. Sipiansyah dan Arman mengangguk-angguk seraya tersenyum getir. “Jadi dulu rumah warga di kiri kanannya ini,” ucap Sipiansyah sembari menunjuk bibir sungai yang sudah kosong melompong.
Atur pun membawa kami melintasi jalan alternatif menuju sekolah. Menerobos semak belukar pinggir sungai. Kami harus menerjang batang pohon dan semak-semak, menghindari cabang-cabang pohon tumbuhan rendah, sembari melihat ke arah tanah untuk memastikan sudah berpijak di atas tanah kuat atau tanah liat. Jika tidak hati-hati, tubuh bisa limbung jatuh ke permukaan pinggir sungai yang dangkal.
Sampai di pertengahan perjalanan, badan jalan tampak makin kecil dan mepet dengan sungai. Jalur itu kami lewati selama kurang lebih 10 menit, sebelum akhirnya berpijak lagi di tanah yang sudah bersemak belukar.
Sebelum memasuki area halaman sekolah lama, ada bekas jembatan yang tinggal tiangnya saja. Lalu, kami pun sampai di bangunan sekolah beton tiga pintu, yang dinding-dindingnya sudah berlubang itu.
Sudah tiga tahun lebih bangunan tersebut ditinggalkan. Sisi-sisi bangunan sudah ditumbuhi lumut. Lingkungan sekitar sekolah sudah dipenuhi pepohonan dan semak belukar setinggi orang dewasa.
“Padahal dulu di pinggir-pinggir sini perumahan warga, di lokasi pohon besar itu dulunya ada rumah,” ucap Sipiansyah Alsuan sambil menunjuk ke area semak belukar.
Kemudian, Kepala SDN 2 Kaburan Nani mengajak kami berkeliling bangunan sekolah lama. Ia mengatakan bahwa bangunan itu didirikan tahun 2010. Sedangkan aktivitas belajar mengajar sudah dimulai sejak tahun 1991. Terdapat tiga ruangan di bangunan itu.
“Yang paling ujung sebelah kiri itu ruang UKS, sementara ruang tengah dan ruang kanannya itu kelas, jadi siswa kelas I sampai VI belajar di dua kelas itu, dibagi dua, kelas I-III belajar di ruang kelas tengah, kelas IV-VI di sebelahnya, pembelajaran dilakukan bergantian,” kata Nani menjelaskan.
Sayangnya, bangunan itu mesti ditinggalkan, karena permukiman baru warga yang makin jauh letaknya. Warga berangsur-angsur meninggalkan permukiman Dusun Tumbang Onah itu sejak 2018. Perpindahan memuncak pada tahun 2020. Namun masih ada satu dua rumah milik warga yang memilih bertahan.
Meski dibangun dalam bentuk beton tinggi, setinggi pinggang orang dewasa, jika datang banjir, genangang sampai menutupi lantai bangunan sekolah tiga pintu itu. Kalau sudah begitu, jembatan menuju sekolah sepenuhnya tertutup air. Dengan begitu, meski bangunan sekolah tidak sampai tenggelam, tetapi akses menuju sekolah sudah tidak aman bagi anak-anak.
“Karena banjir yang sering terjadi, ditambah lagi ancaman orang gila yang bisa mengejar-ngejar dan melukai orang, kami pun sepakat untuk memindahkan lokasi belajar anak-anak ke wilayah pemukiman warga yang baru,” sebutnya.
Terjangan air bah juga menjadi persoalan jamak dunia pendidikan di desa hulu Kapuas itu. Dengan posisi bangunan yang persis berada di pinggir bengawan Kapuas, SDN 1 Kaburan juga punya cerita yang hampir mirip dengan SDN 2 Kaburan.
SDN 1 Kaburan memang berada di pusat desa. Sama-sama sering tergenang banjir apabila memasuki musim hujan. Pihak sekolah dan warga mengeluhkan masalah seiras dan menginginkan agar lokasi sekolah juga direlokasi.
Kepala SDN 1 Kaburan, Sundri mengungkapkan, pihaknya sudah berupaya agar lokasi sekolah bisa dipindahkan, karena bencana banjir bisa terjadi hingga lebih dari tiga kali dalam setahun. Selama tahun berjalan ini, sudah tiga kali banjir menerjang sekolah itu.
Tiap kali banjir, aktivitas belajar mengajar terpaksa dihentikan. Kendati bangunan sekolah itu berbentuk panggung, tetapi tiap kali banjir, air menggenangi jembatan dan jalan utama menuju sekolah.
“Target pindahnya 2025 kalau ditanggapi secara serius oleh Pemkab Kapuas, kemarin Pak Kabid Disdik Kapuas dan Kepala Desa Kaburan sudah meninjau lokasi sekolah kami ini, mudah-mudahan bisa segera realisasi,” ungkapnya kepada Kalteng Pos di lokasi sekolah yang ia pimpin itu.
Akibat sering diterjang banjir, sebagian besar kayu bangunan sekolah itu lapuk. Sekitar 60-70 persennya. Terutama bagian lantainya. Dilihat dari luarnya, sebagian bangunan itu memang menggunakan kayu ulin. Namun di bagian dalamnya, justru banyak menggunakan kayu biasa.
“Kalau banjir, terpaksa anak-anak kami liburkan, kan rawan kalau anak-anak bersekolah,” tuturnya.
Kondisi jembatan memasuki areal sekolah juga tidak memadai. Kendati terbuat dari kayu ulin, bangunan jembatan itu dibangun pada tahun 2000 lalu. Kepala Desa Kaburan, Metro menceritakan, pihaknya sudah sempat bergotong-royong untuk memperbaiki jembatan itu. Mengganti bagian-bagian jembatan yang rusak. Namun upaya itu bukan merupakan solusi terbaik. (ce/ram/kpfm)