“Mereka (Baleg DPR RI) boleh merevisi, tetapi tetap harus menjalankan putusan itu, karena putusan MK yang paling tinggi”
Hilyatul Asfia
Pakar Hukum Tata Negara
PALANGKA RAYA – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melawan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat batas kursi dukungan serta syarat usia calon kepala daerah. Baleg tidak menyepakati keseluruhan putusan MK tersebut dan mengembalikan ambang batas minimal tetap 20 persen. Hal itu mendapat kritikan dari banyak pihak.
Menurut pakar hukum tata negara, Hilyatul Asfia, putusan MK bisa langsung diterapkan, karena tidak ada pengecualian. “Biasanya seperti ini, kalau dilaksanakan pada tahun 2029, maka akan ada pengecualian,” kata Asfia, Rabu (21/8).
Bahkan ia menyebut putusan nomor 60 sama yang terjadi dengan putusan nomor 90. Sehingga jika sama secara karakteristik, maka seharusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan keputusan itu tanpa pilih kasih.
“Walaupun ada pihak yang mempertanyakan apakah sempat KPU membuat aturannya, tatapi karena keputusan itu mengikat karakteristik, maka wajib dijalankan,” tegasnya.
Menanggapi adanya penolakan dari Badan Legislasi DPR RI, menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (UPR) tersebut, hal itu tidak ada pengaruhnya, karena putusan sudah final dan mengikat.
“Kalaupun Badan Legilasi DPR RI mau merevisi, percuma saja, mereka boleh merevisi, tetapi tetap harus menjalankan putusan itu, karena putusan MK yang paling tinggi,” tegasnya.
Menurut Hilyatul, KPU bisa membuat aturan pelaksana dari putusan MK tersebut sehingga bisa diterapkan.
Terpisah, salah satu pengamat politik, Farid Zaky melihat bahwa putusan MK itu seharusnya sudah bisa diterapkan pada pilkada 2024. Sebab, tidak dicantumkan kapan mulai berlaku keputusan tersebut.
“Cuman memang nuansanya ini kan menyebabkan gempa politik. Di satu sisi ini adalah angin segar, karena merupakan salah satu putusan MK yang progresif untuk demokrasi yang sehat,” ucap Farid kepada Kalteng pos.
Karena itu, menurutnya keputusan MK tersebut memiliki kelebihan, agar tidak ada dominasi yang terjadi di Jakarta. Selain itu, keputusan MK tersebut juga dapat mencegah peluang melawan kotak kosong.
Farid juga menilai keputusan tersebut dimaknai secara politis oleh anggota DPR RI, sehingga dikebut pembahasannya melalui Badan Legislasi.
“Seakan-akan membuat Undang-Undang Pilkada ini tergantung pada hasil rapat Badan Legilasi,” tuturnya.
Menurutnya, putusan MK seharusnya bisa langsung direspons oleh KPU, tetapi tertunda karena adanya pembahasan oleh Badan Legilasi. Dengan begitu, KPU akan merujuk pada hasil pembahasan Badan Legislasi.
Terkait adanya gabungan putusan MK nomor 60 dan aturan sebelumnya, menurut Farid, jika sampai hal itu terjadi, maka putusan itu merupakan jalan tengah.
“Kalau memang ada penggabungan antara aturan lama dan aturan baru, maka seharusnya itu merupakan jalan tengah terbaik,” katanya.
Apabila putusan MK itu disahkan, maka akan ada beberapa calon yang boleh bergembira. Salah satunya Supian Hadi, yang akan menjadi poros keempat.
“Saya kira itu akan berdampak pada peta politik di Kalteng, terutama untuk figur-figur yang sedang berjuang mencari perahu politik,” ungkapnya. (irj/ce/ala/kpfm)