LINGKUNGAN
PALANGKA RAYA-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng merilis data terbaru transisi tutupan lahan di Kalteng dalam rentang waktu 2019-2022. Dalam data itu, ditemukan fakta bahwa tutupan lahan untuk perkebunan (sawit), pertambangan (batu bara), dan perhutanan (hutan tanaman) di Bumi Tambun Bungai mengalami kenaikan.
Data tersebut merupakan hasil kajian Walhi Kalteng berdasarkan data Shapefile (SHP) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Dalam data itu, terlihat bahwa luas tutupan lahan perkebunan kelapa sawit meningkat sejak tahun 2019 sampai 2022, yakni sebesar 123.766 hektare (ha). Pada 2019, data menunjukkan luasan perkebunan sebesar 1.923.753 ha dan menjadi 2.047.519 ha pada 2022.
Sementara, pertambangan batu bara mengalami peningkatan sebanyak 40.691 ha. Tahun 2019, luas tutupan lahan pertambangan berada di angka 128.667 ha dan meningkat jadi 169.358 ha tahun 2022. Demikian pula untuk perhutanan, khususnya hutan tanaman, yang mengalami peningkatan sebanyak 12.469 ha, dari 169.869 ha pada 2019 menjadi 182.518 ha pada 2022.
Kepada Kalteng Pos, Minggu (4/7), Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengungkapkan, berdasarkan kajian pihaknya, ditemukan ada peningkatan dalam tutupan pengelolaan lahan di tiga sektor tersebut. Perkebunan kelapa sawit yang paling besar.
Berdasarkan hasil investigasi dan monitoring yang dilakukan pihaknya, ditemukan ada perusahaan-perusahaan perkebunan yang mencaplok alias menggunakan kawasan hutan atau kawasan ekologis penting.
“Salah satu modus perusahaan sawit memperluas kebun adalah dengan memfasilitasi pembukaan hutan dan lahan untuk dibuat kebun sawit dengan skema pola kerja sama, baik itu plasma atau kemitraan, yang sayangnya banyak berada di kawasan esensial penting, seperti hutan lindung dan lahan gambut,” bebernya.
Karena itu, Bayu menekankan bahwa pemerintah perlu melakukan upaya-upaya pencegahan agar skema demikian tidak terulang lagi. Sebab, itu akan memicu makin besarnya pembukaan hutan atau lahan untuk perkebunan sawit.
Sementara di sektor lain seperti pertambangan batu bara dan hutan tanaman, dewasa ini cukup masif melakukan pembukaan hutan serta melakukan penanaman pohon kayu monokultur untuk kebutuhan industri kertas. Isu besar lainnya adalah kayu monokultur berkontribusi dalam upaya transisi energi demi membangun pembangkit listrik pengganti fosil.
“Cita-cita ingin mengganti pembangkit listrik pengganti bahan tak ramah lingkungan itu malah menghasilkan emisi dari pembukaan hutan dan ekstraksi SDA yang lainnya, kan tidak sejalan dengan prinsip mengurangi dampak perubahan iklim,” jelasnya.
Menurut Bayu, problem utama yang muncul ketika lahan dan hutan berganti menjadi lahan industri, adalah meningkatnya emisi gas karbondioksida ke alam yang akan memperparah kondisi iklim. Hal itu terjadi ketika maraknya pembukaan hutan, pengeringan gambut, dan lain-lain. Itu pula yang menjadi salah satu indikator makin menurunnya fungsi lingkungan di Kalteng.
“Kondisi demikian lagi-lagi berkontribusi besar untuk terjadinya bencana alam yang akhir-akhir ini sering kita hadapi, ketika kemarau terjadi dan fungsi gambut menurun karena ada pembukaan lahan untuk kebun, fungsi lingkungan akan makin menurun,” tuturnya.
Tak hanya berdampak secara ekologis, masifnya perubahan lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan perhutanan juga punya implikasi sosial. Ada banyak permasalahan berupa konflik sosial yang terjadi di Kalteng, imbas makin masifnya investor yang datang.
“Seperti banyaknya tuntutan-tuntutan masyarakat untuk realisasi plasma oleh perusahaan perkebunan, sengketa lahan, ini kan sudah tidak baik dari segi lingkungan, malah turut menciptakan masalah baru dari sisi sosial,” tambahnya.
Bayu menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap tata kelola perizinan usaha berbasis sumber daya alam di Kalteng. Perlu dievaluasi lagi pemberian-pemberian izin, apakah sudah sesuai dengan fungsi ruang atau wilayah yang diintervensi untuk pembangunan atau tidak.
“Karena ada banyak izin yang seharusnya tidak diberikan, ambil contoh hutan alam yang masih bagus dan menjadi wilayah lindung bagi ekosistem di bawahnya, itu kan sudah terbebani izin hari ini,” ucapnya.
Di samping itu, perusahaan juga harus secara ketat diawasi dalam upaya pemulihan ekosistem-ekosistem penting. Bayu melihat, upaya pemulihan ekosistem hutan di Kalteng dewasa ini tidak sebanding dengan deforestasi yang terjadi di wilayah-wilayah kritis.
“Tutupan hutan yang kritis di Kalteng ini harusnya dipertahankan, jangan dibuka lagi, seharusnya dilakukan upaya pemulihan agar dampak kerusakan lingkungan yang menyebabkan bencana ekologis bisa ditekan,” tegasnya. (dan/ce/ala/kpfm)