LALAT mengerubungi kaki petatar-petatar SDN 2 Kaburan, ketika lagu Indonesia Raya disenandungkan secara lirih oleh seluruh peserta upacara. Apalagi Adel dan tiga temannya yang sama-sama tidak mengenakan sepatu. Pakai sandal jepit saja. Seorang anak lelaki berpakaian putih kumal, celana merah tanpa ikat pinggang, dan agak kurus, terlihat memaksakan diri menegapkan badan. Lalat dan semut menjalari kakinya yang hanya dibungkus sandal jepit oranye.
Hari itu, anak-anak masih belajar di bawah tenda itu. Beratapkan terpal, bertiang kayu bulat, dan beralaskan tanah. Upacara bendera dilaksanakan ala kadarnya. Murid-murid yang jadi petugas upacara kagok, antara menyesuaikan diri dengan lapangan yang permukaan tanahnya tidak rata dan kurangnya persiapan teknis pelaksanaan upacara. Saat belajar pun, mereka harus selalu memastikan meja tidak bergoyang, karena memang diletakkan di atas permukan tanah yang tak rata.
SDN 2 Kaburan menyimpan sejarah panjang. Perpindahan bangunan sekolah ini tidak sekali dua kali, tetapi sudah berkali-kali. Murid-murid pun sudah makan asam garam pindah tempat bersekolah.
Kepala SDN 2 Kaburan, Nani, saat diwawancarai Kalteng Pos usai memimpin upacara bercerita, murid-murid sudah sering berpindah-pindah tempat belajar sejak kurang lebih empat tahun terakhir. Semula, proses belajar mengajar dilaksanakan di bangunan sekolah yang letaknya berada di pinggir Sungai Kapuas. Beberapa kilometer dari jalan utama perdesaan dan berjarak 10 kilometer dari lokasi sekolah sekarang.
Namun, bangunan sekolah yang sudah eksis sejak 2010 itu terpaksa ditinggalkan karena sering dilanda banjir. Tak hanya itu, lokasi sekitar sekolah juga sudah ditinggalkan penduduk yang jumlahnya lebih dari 110 kepala keluarga. Penduduk setempat berangsur-angsur meninggalkan permukiman itu sejak 2018, dan hampir sudah tidak ada penduduk lagi sejak 2020.
“Di sana (bangunan sekolah lama beserta perumahan penduduk sekitar, red) sering banjir, setahun bisa sampai lima kali,” ucap wanita kelahiran 1971 itu.
Akibat bencana banjir yang sering terjadi, Kepala Desa Kaburan yang menjabat saat itu mengusulkan ke Dinas Sosial Kabupaten Kapuas agar warga desa setempat direlokasi. Pembangunan rumah relokasi pun dimulai tahun 2017.
“Jadi setelah terbangun perumahan relokasi itu, masyarakat Dusun Tumbang Onah yang bermukim di pinggir sungai, termasuk kami dan keluarga, pindah menempati rumah dinas sosial mulai tahun 2018, berangsur-angsur 2019, sampai hampir pindah semua tahun 2020,” bebernya.
Karena banyak penduduk yang telah pindah tempat tinggal, plus memikirkan pelbagai risiko yang bisa dihadapi para murid bersekolah di bangunan pinggir sungai itu, para wali murid pun mengabah ke pihak sekolah supaya pembelajaran tidak lagi dilakukan di bangunan sekolah lama itu. Pertimbangan mereka, jarak tempuh dari kampung relokasi dan kampung lama cukup jauh. Kurang lebih 10 kilometer. Anak-anak harus melewati hutan belantara, pohon getah, dan hutan bambu untuk bisa sampai ke sekolah.
“Di sana semua sudah pindah (warganya, red), habis sudah, apalagi ada dua orang gila (ayah dan anaknya) yang tinggal di dekat bangunan sekolah, jadi pihak sekolah bersama perangkat dusun dan desa mencari solusi supaya anak-anak tidak lagi menggunakan bangunan lama itu, tetapi tetap bisa bersekolah,” ujarnya.
Setelah dipertimbangkan secara matang, Nani dan sang suami yang juga guru di sekolah yang sama, Atur P Demen, sepakat menggunakan rumah pribadi mereka di kampung relokasi untuk dijadikan tempat belajar bagi murid-murid SDN 2 Kaburan. Pembelajaran di rumah pribadi kepala sekolah pun dimulai sejak 2020 hingga 2023. Para murid harus belajar di lantai selama tiga tahun, tanpa meja dan kursi. Saat itu, guru yang mendidik hanya tiga orang, yakni Nani, sang suami, dan Sarinah. Ketiganya berstatus PNS.
“Kemudian Pak Sipiansyah (kepala dusun) dan Pak Arman (kepala BPD) menyuruh kami untuk belajar di bangunan puskesmas pembantu (pustu), karena di sana belum ada petugas kesehatan, kami menggunakan tempat itu dari Januari sampai Juli 2024,” ungkapnya.
Karena bangunan pustu cukup representatif menjadi ruang kelas, pihak sekolah bersama orang tua siswa pun bergotong-royong mengangkut meja dan kursi dari sekolah lama ke bangunan pustu yang jaraknya jauh dan akses jalan tak memadai.
Setelah enam bulan belajar di bangunan pustu, pihak pustu melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak sekolah supaya segera mengosongkan gedung tersebut karena pembangunan pustu akan dilanjutkan. Pihak sekolah pun memikirkan nasib para murid, jika tidak segera menemukan lokasi pengganti.
“Syukurnya Kepala Desa Kaburan, Pak Metro, memberikan kepada pihak sekolah sepetak tanah untuk digunakan sebagai lokasi sekolah, bersama kepala dusun, kepala BPD, dan jajaran, kami pun mengajak para orang tua murid untuk bergotong-royong membersihkan lahan kosong tersebut,” jelas ibu empat anak ini.
Lahan yang diberikan kepala desa berukuran 100×100 meter. Pihak sekolah, perangkat desa, perangkat dusun, bersama warga pun gugur gunung mendirikan tenda darurat beralaskan tanah, bertiang tongkat kayu karet, dan beratapkan terpal sebagai tempat belajar anak-anak.
Senin (22/7), murid-murid SDN 2 Kaburan mulai belajar di bawah terpal. Ihwal sampai kapan mereka menggunakan tenda itu, pihak sekolah sudah berkomunikasi dengan Dinas Pendidikan Kapuas.
“Secepatnya kata Pak Jefri, Kabid SD Dinas Pendidikan Kapuas, hari Sabtu (27/7) mereka mengirimkan tenda bantuan sekolah, mereka bilang sesegera mungkin membangun gedung sekolah SDN 2 Kaburan,” tutupnya. (ce/ram/kpfm)