Gencarkan Pemeriksaan HIV, Perkecil Risiko Penularan

PALANGKA RAYA – Pada semester satu tahun 2024, pemerintah mencatat ada ratusan temuan kasus penyakit HIV di Kalimantan Tengah (Kalteng). Namun angka tersebut belum merepresentasikan kondisi riil, mengingat masih ada penderita HIV/AIDS yang tidak atau belum terjangkau petugas kesehatan. Apalagi kesadaran penderita atau pengidap gejala penyakit tersebut untuk memeriksakan diri ke pusat kesehatan masih sangat rendah.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kalteng Suyuti Syamsul mengungkapkan, berdasarkan data yang dihimpun dari 14 kabupaten/kota, total ada 244 kasus HIV. Kota Palangka Raya menjadi penyumbang kasus tertinggi dengan jumlah 104 kasus, disusul Kotawaringin Barat 37 kasus, lalu Kotawaringin Timur 36 kasus.

“Kenapa Palangka Raya tinggi, kemungkinan karena fasilitas kesehatan untuk memeriksakan diri itu lebih banyak, plus orang terdidik juga lebih banyak sehingga mau untuk memeriksakan diri,” kata Suyuti saat memberikan paparan dalam kegiatan pertemuan peer educator komunitas dan penguatan penjangkau pendamping HIV/AIDS se-Kalteng di Hotel Aurila, Palangka Raya, Minggu (25/8).

Suyuti menyangsikan kabupaten yang mencatatkan sedikit kasus benar-benar merepresentasikan kondisi kasus HIV di daerah bersangkutan. Menurut pria bergelar dokter itu, daerah yang memiliki sedikit data bukan berarti sedikit kasus HIV-nya. Bisa saja karena penemuan kasusnya sulit.

“Kalau di Palangka Raya ini banyak tempat periksa. Di Pulang Pisau kasusnya nol, tapi apakah Pulang Pisau benar-benar tidak ada kasus, saya tidak yakin, bisa saja karena tidak ketemu,” ungkapnya.

Suyuti menegaskan, jumlah kasus yang pihaknya himpun itu adalah data yang tercatat. Sebab, kasus HIV bisa dianalogikan layaknya fenomena gunung es. Terlihat sedikit di permukaan, tetapi bisa saja yang tidak terlihat justru lebih banyak.

“Itu jumlah yang tercatat, sementara ada kasus yang tidak terdata, bisa jadi lebih banyak jumlahnya, karena itu kami mendorong masyarakat agar mau terbuka untuk memeriksakan diri, supaya bisa kami obati,” tuturnya.

Oleh sebab itu, pihaknya mendorong agar penemuan kasus HIV di Kalteng lebih digencarkan. Dengan makin banyaknya orang dengan HIV (ODHIV) yang ditemukan, maka bisa segera diberi pengobatan agar risiko penularan mengecil.

“Ini perlu jadi perhatian bersama, dari yang kami temukan itu, tidak semua kami obati, karena ada yang tidak mau diobati, putus obat, dan sebagainya. Persoalan keengganan penderita HIV untuk berobat juga menjadi masalah tersendiri. Penyakit ini dapat menular melalui kontak dengan cairan tubuh penderita,” jelasnya.

Sementara itu, Sekretaris Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Provinsi Kalteng Saidah Suriani menuturkan, berdasarkan informasi yang pihaknya peroleh dari pendamping ODHIV, dari seluruh ODHIV yang sadar akan statusnya, masih kurang dari 50 persen yang bersedia untuk diobati. Rasa takut dan malu penderita merupakan dua alasan yang paling sering dikemukakan para pendamping.

“Dukungan dari sebaya menjadi penting, menjadi tempat untuk saling berbagi pengalaman, dukungan sosial bagi ODHIV sangat penting, agar mereka tidak merasa sendiri dan lebih berpeluang merasakan layanan kesehatan. Maka dari itu, kami menggagas adanya kelompok dukungan sebaya atau KDS,” tutur Saidah dalam forum yang sama.

Menurutnya, menjadi orang yang hidup sebagai penderita HIV dan mesti berdamai dengan virus seumur hidup tentu tidaklah mudah. Karena itu, ODHIV memerlukan keterbukaan dan rasa nyaman. Sebaiknya masyarakat menghapus stigma negatif terhadap ODHIV.

“Stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV berkaitan dengan ketidaktahuan seseorang berkenaan dengan penularan virus HIV/AIDS,” tuturnya. (dan/ce/ala/kpfm)

267 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.