Menjaga Harapan Desa Kaburan

Pendidikan adalah nomor wahid bagi warga Dusun Tumbang Onah, Desa Kaburan, Kecamatan Pasak Talawang, Kabupaten Kapuas. Saking sadar betapa pentingnya pendidikan, warga rela gugur gunung mendirikan bangunan sekolah seadanya. Di balik itu, ada warita perjuangan melawan keterbatasan sarana pendidikan.

AKHMAD DHANI, Kuala Kapuas

BENDERA Merah Putih berkibar di puncak tiang kayu nan usang. Angin yang berembus mengempas daun hingga berguling-guling di permukaan tanah. Di dekatnya, ada bangunan beratapkan terpal berwarna biru, bertiang kayu bulat, dan beralaskan tanah.

Plang bertuliskan SDN 2 Kaburan berdiri tegak di atas tanah berukuran 100x 100 meter persegi. Letaknya persis di tengah bekas persawangan di Dusun Tumbang Onah, Desa Kaburan, Kecamatan Pasak Talawang. Sekitar 250 meter dari jalan utama perdesaan.

Bangunan itu menjadi wadah bocah-bocah berseragam merah putih belajar abjad dan bilangan. Dari sekolah beralaskan tanah itulah, warga Desa Kaburan menanti munculnya tunas-tunas pemimpin yang bisa membawa kemajuan bagi desa berstatus berkembang itu.

Senin pagi (29/7), wartawan Kalteng Pos menginjakkan kaki di sana. Kaburan adalah desa keenam di Kecamatan Pasak Talawang. Total ada 10 desa di wilayah kecamatan itu. Selain Kaburan, ada Desa Balai Banjang, Batu Sambung, Dandang, Hurung Kampin, Jangkang, Sei Ringin, Tumbang Diring, Tumbang Nusa, dan Tumbang Tukun. Jangkang menjadi ibu kota dari kecamatan ini.

Untuk sampai ke kampung tengah dari kecamatan di hulu Kabupaten Kapuas ini, pengendara mesti melewati jalan cokelat kemerahan berdebu. Jika dalam kondisi basah, bakal berubah menjadi jalan tanah liat yang licin dan berbahaya.

Dari Kota Palangka Raya, kami harus menempuh waktu sekitar lima jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Sekitar 80 kilometer kami melintasi jalan beraspal dan 35 kilometer jalan berkontur tanah. 15 kilometer menuju desa itu, di kiri dan kanan jalan dipenuhi pohon sawit. Sebagian kecil pohon karet. Orang-orang menyedot dan mendulang emas di atas pasir putih. Wilayah ini belum teraliri jaringan listrik PLN. Penerangan rumah mengandalkan listrik dari panel surya.

Seiring matahari beranjak, sekelompok anak bersiap menapaki jalan tanah cokelat kemerahan dan berdebu. Anak-anak berusia delapan tahun itu berkumpul di teras rumah Sida, ibu angkat dari Adel. Berpakaian seragam merah putih. Ada yang pakai sepatu. Ada juga yang pakai sandal. Mereka menunggu Adel, yang masih bersiap-siap.

“Mudah-mudahan bisa beli sepatu, semangat saja dulu sekolahnya,” ucap Sida, wanita paruh baya itu, melepas keberangkatan Adel.

Nama lengkapnya Adelia Citra. Rambutnya yang hitam panjang dikepang ke belakang. Murah senyum. Hari itu ia mengenakan tas berwarna biru muda dan sandal oranye. Berbeda dengan Lesty, Reva, Putri, Restiyana, dan Laudra yang sudah mengenakan sepatu. Kemudian mereka berjalan kaki menempuh jarak 1,5 kilometer menuju sekolah.

Langkah-langkah kecil kaki Adel, Lesty, Reva, Putri, Restiyana, dan Laudra menuju tempat menimba ilmu terhenti setelah berpapasan dengan Sarinah, sang guru kelas. Saat dibincangi Kalteng Pos sembari menuju sekolah, Sarinah bercerita, anak-anak SDN 2 Kaburan sudah belajar di bawah tenda sejak Senin (22/7) lalu.

“Alhamdulillah, anak-anak tetap semangat belajar, kami juga belum merasakan hujan selama sepekan belajar di bawah tenda ini, cuman terasa panas saja. Walau begitu, mereka tetap semangat belajar. Tidak hanya panas, anak-anak juga sering digigit semut hitam, tetapi mereka tetap turun sekolah,” tutur guru berkaca mata itu.

Proses belajar mengajar, ujar Sarinah, tetap berjalan normal. Saat ini, karena masih dalam tahap penerimaan peserta didik baru, anak-anak terlebih dahulu diakrabkan dengan kondisi sekolah. Apalagi mereka harus belajar di bawah tenda darurat. Berbeda dengan anak-anak sekolah lain yang punya bangunan sekolah permanen. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan anak-anak SDN 2 Kaburan harus sekolah lebih singkat.

“Kami alokasikan waktu belajar dipersingkat, kalau biasanya sampai pukul 12.00 WIB, sekarang kami targetkan pukul 10.30 WIB sudah pulang, karena kondisi cuaca yang panas tidak memungkinkan murid-murid belajar terlalu lama,” ungkapnya.

Mereka juga memperpendek waktu istirahat. Hanya 10 menit. Meski proses belajar lebih singkat, tetapi cukup efektif.

“Kami juga menyesuaikan kondisi cuaca, kalau cuacanya terlalu panas, kami kasih pekerjaan rumah. Kasian mereka belajar dalam kondisi panas, karena tenda tidak bisa sepenuhnya menahan sinar matahari,” tutur wali kelas III itu.

Total murid SDN 2 Kaburan adalah 35 orang. Sebanding dengan kuantitas guru yang berjumlah tujuh orang. Empat guru berstatus PNS, dua PPPK, dan satu honorer. Anak-anak SDN 2 Kaburan dari kelas awal sampai kelas akhir duduk berjejer. Sama-sama duduk di bawah tenda yang sama.

Guru pun harus kompak membagi tugas mengajar. Jika sama-sama bersuara, akan terjadi sahut-sahutan. Murid pun bisa pecah fokus. Ada beberapa bagian dalam pelajaran yang mereka bisa lakukan bersama-sama, seperti berdoa dan ice breaking.

“Tapi kalau sudah masuk materi, kelas satu lebih dulu belajar, kalau deretan kelas satu yang belajar, kelas lain persiapan, kalau sudah selesai, kemudian kelas dua lagi, jadi bergantian, guru-guru saling melihat saja, kalau ada yang lagi belajar, yang di sebelah diam, intinya saling bergantian,” bebernya.

Pagi itu memasuki pekan kedua murid-murid SDN 2 Kaburan bersekolah di bawah tenda darurat. Dinas Pendidikan Kabupaten Kapuas sudah memberikan bantuan tenda yang lebih representatif untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. Hanya saja pendiriannya masih berproses dan perlu memperhitungkan tingkat keamanan. (ce/ram/kpfm)

203 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.