Menyaksikan Selebrasi Krida Duta Bahasa

Selebrasi Krida Duta Bahasa menjadi wadah bagi anak-anak muda untuk menampilkan bakat-bakat terbaik mereka. Salah satunya melalui kesenian karungut. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang unjuk bakat, tetapi juga sarana melestarikan kekayaan budaya lokal yang kian tergerus perkembangan zaman.
DHEA UMILATI, Palangka Raya
KARUNGUT adalah seni sastra lisan dari suku Dayak, khususnya Dayak Ngaju, yang sarat dengan nilai-nilai budaya. Seni ini disampaikan dalam bentuk syair atau pantun berbahasa Dayak, dengan intonasi khas dan penuh makna. Bagi sebagian besar kaum muda, karungut mungkin terdengar asing. Namun di tangan anak-anak muda seperti Farent Sinta Lestari, Belicia Griselda, Frichila Jumain, dan Prichilla Ade, karungut menemukan kembali vitalitasnya.
Farent Sinta Lestari, pelajar kelas VIII SMP Negeri 2 Palangka Raya, merupakan salah satu dari sedikit anak muda yang tertarik dengan karungut. Farent mengaku, awal perkenalannya dengan seni ini adalah saat ikut perlombaan yang diinisiasi Balai Bahasa. Ketika itu ia masih duduk di bangku kelas VI SD. Seiring berjalannya waktu, ia malah makin tertarik dengan keunikan karungut.
“Saat kelas enam SD, saya ikut lomba yang diadakan Balai Bahasa, kebetulan om saya bisa bermain karungut dan berbahasa Dayak Ngaju. Dari situ saya mulai belajar. Waktu itu, latihan hanya beberapa hari. Puji Tuhan bisa juara satu,” ungkap Farent dengan antusias saat dibincangi Kalteng Pos, Senin (23/9).
Sejak itu, kecintaannya terhadap karungut kian tumbuh. Dukungan dari keluarga, terutama ibu, selalu menyemangati gadis belia ini untuk terus mengasah kemampuannya, sekaligus menjadi motivasi besar dalam perjalanan seninya. Kini, Farent berharap bisa melestarikan karungut dan meneruskan kepada teman-temannya.
Belicia Griselda, yang juga pelajar SMP Negeri 2 Palangka Raya, mengaku tertarik dengan karungut setelah melihat penampilan Farent di sekolah. Meski dirinya merupakan keturunan suku Dayak Manyan, tetapi Belicia tertantang untuk belajar bahasa Dayak Ngaju demi bisa mendalami karungut.
”Karungut itu menurut saya unik. Enggak semua orang bisa, terutama dalam intonasi. Untuk belajar butuh waktu sekitar satu bulan. Itu tantangan tersendiri buat saya yang bukan dari suku Dayak Ngaju,” ungkapnya. Meski tergolong baru mengenal karungut, gadis berambut panjang itu merasa bangga bisa mempelajari seni ini dan berharap bisa melestarikannya pada masa mendatang.
Berbeda kisah dengan Frichila Jumain, yang sudah tertarik dengan bahasa daerah sejak kecil. Lahir dan dibesarkan di keluarga yang sering menggunakan bahasa Dayak, Frichila mengaku bahwa ketertarikan karungut muncul sejak disuruh gurunya, Ibu Titik Surya selaku seniman karungut, untuk mengikuti perlombaan di sekolah. “Saya sering disuruh menggunakan bahasa daerah di sekolah, itu membuat saya makin mahir, dan akhirnya terlibat dalam kesenian karungut,” terangnya.
Bagi Frichila, belajar karungut bukan hanya untuk ikut lomba atau unjuk bakat, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral untuk melestarikan bahasa dan budaya daerah.
Perlu diketahui, di balik bakat dan perjuangan anak-anak ini, ada sosok pembina yang tak kenal lelah membimbing mereka. Dia adalah Chandra Wulandari. Menurutnya, melestarikan karungut di kalangan generasi muda bukanlah hal yang mudah. Terutama karena keterbatasan pemahaman bahasa daerah.
“Kesulitan utama yang mereka hadapi adalah bahasa. Tidak semua anak menguasai bahasa Dayak Ngaju, sehingga proses belajar karungut menjadi lebih sulit,” kata Chandra.
Meski demikian, ia tetap optimistis bahwa kesenian karungut dapat dikenalkan lebih luas, bahkan hingga ke tingkat nasional. “Harapan saya, anak-anak bisa melestarikan karungut, dimulai dari lingkungan tempat tinggal merekam,” tuturnya.
Chandra juga menekankan pentingnya mengenalkan karungut kepada generasi muda sejak dini. “Jika tidak diperkenalkan sejak sekarang, kesenian karungut bisa hilang ditelan zaman. Saya berharap generasi muda seperti Farent, Belicia, dan Frichila bisa menjadi penerus yang menjaga dan melestarikan keberadaan seni ini,” tambahnya.
Menurutnya, Selebrasi Krida Duta Bahasa menjadi salah satu contoh nyata bahwa seni dan budaya lokal masih bisa hidup dan berkembang di tangan generasi muda. Dengan dukungan dari keluarga, sekolah, dan pembina, anak-anak muda seperti Farent, Belicia, Frichila, dan Prichilla bisa terus berkreasi dan menggali potensi diri melalui kesenian karungut.
Melihat antusiasme dan semangat mereka, Chandra tentunya menaruh harapan besar bahwa karungut tidak hanya akan bertahan, tetapi juga makin dikenal dan dicintai masyarakat luas. “Semoga kelak kesenian ini bisa menjadi identitas kebanggaan bangsa, khususnya bagi masyarakat Dayak di Kalimantan,” tutupnya. (*/ce/ala/kpfm)