PALANGKA RAYA – Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Kalteng tahun ini berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional, yang terakhir diperbarui bulan Maret lalu, berada di angka 145.630 orang. BPS mengukur kemiskinan menggunakan konsep garis kemiskinan (GK). Metode ini didasarkan pada pendekatan kebutuhan dasar yang mencakup: Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).
Secara umum, kemiskinan di Kalteng menunjukkan fluktuasi jumlah dan persentase sejak Maret 2017 hingga Maret 2024. Jumlah penduduk miskin meningkat dari 139.160 orang pada Maret 2017 menjadi 145.630 orang pada Maret 2024. Dampak dari kebijakan pemerintah ihwal pengentasan kemiskinan pun menjadi pertanyaan.
Pengamat pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR), Farid Zaky Yopiannor melihat, arah kebijakan yang diambil oleh pemimpin daerah di Kalteng untuk menuntaskan masalah kemiskinan saat ini lebih banyak yang berorientasi pada upaya jangka pendek.
“Kebijakan kemiskinan di Kalteng masih karikatural, bersifat jangka pendek, lebih banyak memberi ikan ketimbang memberikan pancing, secara filosofis, yang mestinya diberikan itu ‘pancing’ yang membuat orang miskin tadi mampu berusaha sendiri memenuhi kebutuhan dasarnya,” ujar Zaky kepada Kalteng Pos melalui pesan suara, Sabtu (21/9).
Kebijakan yang bersifat jangka pendek itu, kata Direktur Barometer Kebijakan Publik dan Politik Daerah (Bajakah) Institute ini, antara lain seperti pemberian sembako, bantuan langsung tunai (BLT), beras, dan lain-lain yang lebih banyak bersifat seremonial. Jika kebijakan ini terus-terusan dilakukan, masyarakat miskin tadi sulit mencapai kemandirian ekonominya, justru sebaliknya: punya mental peminta-minta.
“Ke depan program pengentasan kemiskinan harus berkesinambungan, bersifat memperbesar daya warga miskin tadi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, ini tentu tidak mudah, perlu keinginan politik yang besar, karena akan berkaitan dengan porsi anggaran belanja sosial yang lebih besar,” jelasnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UMPR ini juga menekankan keterlibatan masyarakat kelas menengah terdidik agar dapat mengkritisi janji-janji program yang nanti ditawarkan dalam program penanggulangan kemiskinan oleh para calon kelapa daerah.
“Program pengentasan kemiskinan nantinya harus komprehensif dan menyentuh akar persoalan dari kemiskinan itu, yakni melalui kebijakan pemberdayaan ekonomi tadi,” imbuhnya.
Sementara itu, ekonom dari Universitas Palangka Raya (UPR), Fitria Husnatarina berpendapat, berdasarkan riset yang pihaknya lakukan, jumlah penduduk miskin di Kalteng dapat bertambah pada waktu-waktu tertentu karena datangnya pendatang baru dari luar daerah dengan kualifikasi ekonomi yang kurang memadai. Fenomena demikian, lanjutnya, umum terjadi di tiga kota padat penduduk di Kalteng, seperti Palangka Raya, Pangkalan Bun, dan Sampit.
Ia melihat, pada dasarnya pemerintah kabupaten/kota di Kalteng sudah berupaya mengentaskan kemiskinan di masing-masing daerahnya. Upaya itu diambil dengan menyasar penduduk-penduduk miskin yang asli dari daerah itu. Bukan penduduk miskin pendatang.
Namun, bagaimanapun kondisinya, pemerintah daerah mesti mengambil sikap untuk mengatasi kemiskinan, baik yang disumbang oleh pendatang maupun warga asli daerah itu. Senada dengan Farid Zaky, Fitria menekankan pentingnya kebijakan yang lebih berorientasi jangka panjang.
“Bukan lagi bicara pemberian BLT, pemberian infrastruktur untuk pekerja pendatang, tapi lebih ke bagaimana membangun ekosistem investasi agar serapan tenaga kerja di daerah menjadi tinggi,” ujarnya, Sabtu (21/9). (dan/ala/kpfm)