“Kalau Hutan Diganti Sawit, Habislah Sumber Kehidupan Kami”

Cerita Masyarakat Kinipan saat Kunker Menteri LHK RI Siti Nurbaya (2)

Kepala Desa Kinipan Willem Hengki menyebut mata pencaharian utama masyarakat Kinipan adalah petani ladang dan pekebun sawit, karet, jengkol, dan durian di sekitar hutan. Mayoritas masyarakatnya merupakan petani ladang. Karena aktivitas berladang ini, Hengki menyebut, masyarakat Kinipan bisa swasembada pangan.

AKHMAD DHANI, Nanga Bulik

KAMI swasembada pangan tahun lalu, saya dapat satu ton lebih dari situ, sampai sekarang tidak pernah beli beras,” tutur Willem Hengki di depan Menteri LHK RI Siti Nurbaya yang melakukan kunjungan kerja ke Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupateng Lamandau, Sabtu (8/9).  

Adanya aktivitas perusahaan sangat berdampak bagi penghidupan masyarakat Kinipan. Hengki mengatakan, terdapat dua perusahaan yang masuk wilayah Kinipan, yakni PT SML yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan PT Amprah yang bergerak di bidang perhutanan.

“Kalau sudah sawit masuk dan mengelilingi ladang, itu bisa menjadi hama. Padinya berbuah, tetapi hampa (kering). Entah karena dampak pestisida sawit atau lainnya, mungkin saja itu berpengaruh,” tuturnya.

Selain berdampak bagi kondisi ladang sekitar hutan, kualitas air juga terganggu. Di Sungai Inuhan, sungai yang terhubung langsung dengan Sungai Batang Kawa di Kinipan, sebelum ada kebun sawit (sebelum tahun 2019), air sungainya masih bisa diminum. “Kemudian ikan-ikannya mati, karena itu kami tidak berani lagi minum air sungai, airnya juga terlihat keruh, padahal sebelum ada sawit sangat jernih,” ucapnya.

Willem Hengki menyayangkan kehadiran perusahaan yang awalnya membawa iming-iming menyejahterakan masyarakat sekitar. Namun setelah perusahaan eksis di Kinipan, yang terjadi malah sebaliknya. Perampasan hak hidup masyarakat dan dijadikan kuli di tanah sendiri.

Menurut Hengki, masih banyak hasil hutan yang bisa mereka manfaatkan dari hutan murni di desa dengan luas kurang lebih 16.000 ha ini. Dari memenuhi kebutuhan sandang, pangan, hingga papan. Namun, warga desa merasa terancam dengan hadirnya konsesi perusahaan, sehingga terus bergerak untuk melakukan perlawanan.

“Kami tergerak melakukan perlawanan, dari 1.700 hektare (ha) lahan yang digarap perusahaan, kami sudah merasakan banyak dampak, seperti air yang tercemar, dan hak-hak kami diambil. Yang menjadi ketakutan kami adalah hutan dan wilayah adat terenggut, dan pada akhirnya mengikis kebudayaan nenek moyang kami,” tuturnya.

Ketakutan itu mewujud dalam berbagai gerakan-gerakan yang dilakukan masyarakat. Sejak tahun 2016, mereka mulai menjaga batas-batas hutan adat yang mereka petakan, membuat perlawanan fisik, hingga perlawanan regulasi dengan menghimpun kekuatan dari luar desa.

“Itulah upaya kami agar hutan tetap lestari. Ada banyak di hutan itu yang kami butuhkan, seperti hewan buruan, ikan, dan obat-obatan dari tanaman. Kalau hutannya punah dan menjadi kebun sawit, habislah sumber kehidupan kami,” ujar ayah tiga anak itu.

Nuah, warga Desa Kinipan, menyebut hutan sebagai surga bagi warga Desa Kinipan. Pria berusia 55 tahun ini membandingkan kondisi udara Kota Jakarta yang panas ketika pagi dan malam hari dan Desa Kinipan di Kalimantan yang asri dan sejuk kapan pun waktunya.

“Selain membuat sejuk, hutan-hutan di Kinipan ini merupakan tempat kami berusaha mencari penghidupan seperti makanan hingga obat-obatan, hutan itu apotek hidup kami, karena di sana tersedia tanaman yang bisa dijadikan obat-obatan,” tutur Sekretaris Desa Kinipan itu. (*bersambung/ce/ala/kpfm)

259 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.