Cerita Masyarakat Kinipan saat Kunker Menteri LHK RI Siti Nurbaya (1)

Kurang lebih satu dekade terakhir, benak masyarakat Desa Kinipan senantiasa dilanda kegamangan. Mereka khawatir kehilangan sumber penghidupan dari hutan desa, yang kini mulai ditumbuhi pohon sawit milik perusahaan besar swasta. Persoalan ini menjadi perhatian pemerintah pusat dan dunia. Termasuk Menteri Lingkungan Hidup (LHK) RI Siti Nurbaya yang baru saja mengunjungi desa tua tersebut.
AKHMAD DHANI, Nanga Bulik
PEMANDANGAN hutan hijau nan berbukit memanjakan mata saya (penulis) dalam perjalanan menuju Desa Kinipan, Jumat (6/9) pagi. Desa ini berada di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, yang jaraknya kurang lebih 300 km atau 13 jam perjalanan dari Ibu Kota Provinsi Kalteng. Pada sisi kanan dan kiri jalan menuju desa, pengendara akan disuguhkan panorama berupa lahan-lahan bersih seluas 1-2 hektare (ha) yang digunakan masyarakat untuk berladang.
Kurang lebih 1 km mencapai desa, jalanan sudah tidak beraspal, tetapi berupa tanah liat yang sudah dimuluskan. Terlihat beberapa buldoser di sejumlah titik lajur kiri dan kanan jalan. Menurut kabar yang beredar, jalan itu mulus setelah rencana kedatangan Menteri LHK RI Siti Nurbaya tersiar satu pekan sebelumnya.
Kami melewati jalanan tanah merah yang berkelok-kelok dan berbukit. Di sisi kanan dan kirinya terlihat semak belukar yang menjorok curam. Kesan pertama yang saya rasakan ketika memasuki desa ini: asri. Kendati suhu udara di gawai saya menyentuh 33 derajat celcius, semilir angin dan kesejukan tetap terasa. Rasa sejuk ini tentu diberikan oleh perbukitan hijau bagai zamrud yang melingkar di sekeliling Desa Kinipan.
Saat memasuki permukiman warga yang mayoritas penduduknya merupakan Suku Dayak Tomun, kami juga disambut dengan pemandangan sejumlah rumah tua kayu bertiang tinggi, yang sebagian besarnya sudah tidak ditempati. Lubang-lubang tanda pelapukan terlihat di tiap sisinya. Sebagian lagi hanya menyisakan tongkat atau gelagar saja. Di sebelah tiap rumah, hampir selalu ada rumah kayu yang menjadi tempat tinggal penduduk.
Kami berhenti di ujung jalan yang menjorok menuju Sungai Batang Kawa, persis di depan rumah Kepala Desa Kinipan, Willem Hengki. Keluar dari mobil, setelah menyalami beberapa warga, Willem Hengki mendatangi kami dengan tergopoh-gopoh, lantas menyilakan kami untuk singgah di rumahnya. Agenda kedatangan menteri secara dadakan itu membuat sang kepala desa beserta warganya sangat sibuk mempersiapkan penyambutan.
Maklum, Desa Kinipan baru pertama kali dikunjungi orang setingkat menteri. Pejabat kabupaten sekalipun, menurut tuturan warga desa, jarang sekali bertandang ke desa yang jaraknya tiga jam perjalanan dari kota kecamatan itu. Kedatangan Menteri LHK Siti Nurbaya membuat warga Desa Kinipan kaget.
Ekspresi kaget itu bercampur rasa khawatir, sekaligus memupuk harapan. Khawatir lantaran memikirkan akan ada proyek investasi apa lagi yang menyebabkan konflik agraria. Di satu sisinya, memupuk harapan warga bahwa sang menteri membawa komitmen untuk mempercepat pengakuan wilayah adat mereka. Sesuatu yang mereka perjuangkan mati-matian sejak delapan tahun terakhir.
Sampai sekarang, warga Desa Kinipan terus memperjuangkan pengakuan wilayah adat mereka. Sejak 2022 hingga 2024, terhitung sudah empat kali mereka berharap Pemerintah Kabupaten Lamandau menerbitkan peraturan daerah hutan adat bagi Desa Kinipan. Namun, harapan itu masih jauh panggang dari api.
“Kinipan sudah bertahun-tahun memperjuangkan pengakuan wilayah adat. Kami sudah melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Namun hingga saat ini kami belum mendapat pengakuan itu dari pemerintah daerah,” ungkap Effendi Buhing, tokoh adat Kinipan, Sabtu (8/9).
Bersikerasnya warga mengurus wilayah adat sudah dilakukan sejak 2015, setelah menyadari pentingnya pengakuan wilayah adat agar ruang hidup mereka tidak diintervensi oleh kepentingan pragmatis. “Saat ini terdapat lahan konsesi yang masuk dalam wilayah dan hutan adat seluas 5 ribu hektare. Seluas 1.700 hektare di antaranya sudah digarap perusahaan,” kata Effendi.
Perjuangan masyarakat setempat mengurus wilayah adat berlanjut pada tahun 2018, usai kebun investasi PT Sawit Mandiri Lestari (SML) memasuki kawasan hutan adat yang mereka petakan. Tahun itu menjadi awal konflik agraria di Desa Kinipan. Effendi Buhing bersama warga Kinipan lainnya dibuat kaget ketika pihak PT SML mengklaim sebagian wilayah adat mereka sebagai lokasi konsesi perusahaan. Padahal, setahun sebelumnya warga sudah memetakan wilayah adat mereka yang seluas kurang lebih 16.000 hektare (ha).
Effendi mengatakan, pada ribuan hektare wilayah adat yang mereka petakan secara mandiri itu, 75 persennya merupakan hutan murni dan 25 persennya adalah lahan bekas ladang masyarakat. Hutan murni itu menyediakan sumber penghidupan bagi masyarakat Kinipan, dari pangan hingga papan. Masyarakat Kinipan memenuhi kebutuhan pangan mereka dari berladang dengan sistem ladang berpindah.
“Sejak PT SML masuk sampai sekarang, sudah tergarap menjadi sawit hampir 1.700 hektare di hutan murni, tetapi untuk saat ini mereka tidak melakukan penanaman lagi, di lokasi yang mereka manfaatkan itu kami sudah tidak bisa berburu dan meramu lagi, karena sudah berganti jadi kebun sawit,” ujar Effendi.
Wajah Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Lamandau ini berubah muram usai mengungkapkan pentingnya eksistensi hutan bagi masyarakat Kinipan. Beberapa jam sebelumnya, ketika berdialog di hadapan Menteri LHK Siti Nurbaya dan rombongan, Effendi dengan nada berapi-api menegaskan bahwa warga Kinipan tidak menolak sawit dan kemajuan pembangunan. Kepala Desa Kinipan periode 1999-2004 ini berharap hutan tempat masyarakat Kinipan mencari penghidupan tidak diusik lagi.
“Kami tidak menolak kemajuan, tetapi tolong jangan babat hutan, karena di situlah sumber penghidupan kami, dari kami lahir, hidup, dan berkembang, kami ingin menjadi tuan di rumah kami,” tuturnya. (*bersambung/ce/ala/kpfm)