Menteri LHK Bersama Perwakilan Bezos Earth Fund Temui Warga Kinipan


NANGA BULIK – Konflik agraria berkepanjangan yang terjadi antara masyarakat Desa Kinipan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir, menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya bahkan langsung turun ke wilayah yang masuk Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau pada Sabtu (7/9).
Kedatangannya diikuti oleh rombongan Direktur Jenderal (Dirjen) bidang terkait di KLHK RI. Mentri KLHK RI, juga membawa satu rombongan warga asing yang terdiri atas Andrew Steer, Presiden dan CEO of the Bezos Earth Fund, bersama Lord Zac Goldsmith Anggota Dewan Bangsawan Britania Raya, dan Christian Samper yang merupakan yang merupakan Manager Direktur Bezos Earth Fund.

Orang nomor satu di KLHK ini mengungkapkan bahwa ada atensi dari pemerintah pusat untuk menjadikan masyarakat adat Desa Kinipan sebagai contoh kesuksesan menjaga alam. Dalam lawatan Menteri LHK yang singkat itu, para tokoh desa pun menyampaikan keluh kesah yang mereka alami sejak beberapa tahun terakhir terhadap kondisi ruang hidup masyarakat yang kian terancam akibat kehadiran investasi perkebunan di sana.
Warga Kinipan menyambut meriah kedatangan Siti Nurbaya. Desa itu baru pertama kalinya dikunjungi oleh orang setingkat menteri. Di hadapan masyarakat Desa Kinipan, Siti Nurbaya mengungkapkan, dirinya mengaku sudah sejak tahun 2018 mengikuti dan menganalisis perkembangan Desa Kinipan. Semua film dokumenter yang berisi keluhan masyarakat akan bagaimana nasib desa tersebut, kata Siti, sudah ia ikuti.
“Bersama Bezos Earth Fund, kami akan mempelajari cara-cara untuk menyelesaikan dan memperoleh hak masyarakat adat, hak adat, dari penggunaan-penggunaan lain, menyelesaikannya lama dan cukup berat, semoga Kinipan bisa jadi contoh,” ujarnya.
Siti mengungkapkan, di Indonesia terdapat 265.000 hektare (ha) lahan untuk masyarakat adat. Sedang dalam penyelesaian kira-kira 1,1 juta ha. Menurutnya, dengan dukungan dan kerja sama internasional, pihaknya bisa mengembangkan lagi sampai 2,6 juta ha.
“Untuk itu, kami berterima kasih kepada seluruh aktivis pendamping, bahwa ini bisa diselesaikan dengan baik, terima kasih bapak dan ibu yang menjadi bagian dari masyarakat adat,” imbuhnya.
Namun, upaya tersebut masih terganjal persoalan belum tuntasnya tapal batas antardesa, akar masalah yang terus menghantui warga Kinipan hingga kini. Berawal dari masuknya investasi perkebunan di desa setempat sejak kurang lebih 10 tahun terakhir, masyarakat Kinipan terus dilanda kegamangan akan hilangnya eksistensi wilayah adat mereka. Tak ayal, konflik agraria pun kerap terjadi.
Mentri ingin, kedepan Kinipan sebagai kasus tersulit bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya, dalam mencari jalan keluar. Dengan dukungan kerjasama internasional tersebut diharapkan semakin luas jumlah hutan adat yang bisa diselesaikan.
Sementara itu, Effendi Buhing, tokoh adat desa setempat, mengaku kaget dengan kedatangan Menteri LHK Siti Nurbaya. Pria yang vokal menyuarakan konflik agraria di Desa Kinipan ini berharap persoalan-persoalan tenurial dan sosial yang dialami oleh masyarakat Desa Kinipan bisa segera diselesaikan secara penuh setelah kedatangan sang menteri ke desa itu.
“Baik itu pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya, hutan yang sudah dicadangkan menjadi hutan adat agar bisa segera diverifikasi, lalu bisa menyelesaikan persoalan-persoalan lainnya yang melanda masyarakat Kinipan,” ungkapnya saat diwawancarai awak media.
Effendi mengungkapkan, proses pengakuan masyarakat adat Desa Kinipan sudah berproses sejak lama. Masyarakat adat setempat, ujarnya, sudah empat kali memproses pengajuan pengakuan masyarakat adat Laman Kinipan ke pemerintah daerah Kabupaten Lamandau, berproses sejak tahun 2022-2024. Namun, upaya itu belum berbuah hasil.
“Berkali-kali mengajukan, tapi selalu dipingpong karena kata pihak administrasi kekurangan berkas ini dan itu, lalu Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK menyarankan agar yang kurang itu bisa diselesaikan melalui duduk bersama,” jelasnya.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lamandau ini menyebut, batu sandungan utama belum terwujudnya pengakuan wilayah adat Kinipan adalah tapal batas antardesa yang masih belum tuntas.
“Sebenarnya sebelumnya hanya satu desa yang masih belum selesai tapal batas desanya, yakni dengan Karangtabah, tapi di tahun 2020 awal diputuskan oleh Bupati Lamandau Hendra Lesmana waktu itu untuk ditarik garis lurus yang menganulir pemetaan wilayah sebelumnya, sehingga sampai saat ini bermasalah,” katanya.
Ia berharap penuh, janji yang sudah disampaikan oleh Menteri LHK RI, yakni komitmen menyelesaikan batas desa dan segera memberikan pengakuan untuk wilayah adat Desa Kinipan, bisa terwujud. Ia juga berharap agar masyarakat Kinipan senantiasa dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan oleh pemerintah. Apalagi pemerintah telah menggandeng investor dari luar negeri: Bezos Earth Fund, perusahaan internasional milik Jeff Bezos (orang terkaya di dunia), yang bergerak di bidang lingkungan dan pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan alam.
“Tapi kami jangan sampai hanya jadi penonton, apapun program pemerintah, baik menggandeng pihak luar maupun dalam negeri, kami harus dilibatkan, siapapun yang mau bekerja sama untuk melindungi hutan, ayo libatkan kami,” tegasnya.
Kilas balik, konflik agraria di Desa Kinipan sendiri dimulai usai mereka melakukan pemetaan partisipatif wilayah adatnya pada tahun 2015 lalu. Diceritakan Effendi, saat itu pihaknya sudah menyadari pentingnya pemetaan wilayah adat sebagai upaya agar tidak terancam oleh kepentingan-kepentingan luar yang meminggirkan masyarakat adat.
“Di tahun 2017 hasil pemetaan kami itu kami deklarasikan, di tahun yang sama pula kami mendapatkan sertifikat dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), artinya kami sudah mendapatkan sertifikat itu,” kata Effendi.
Namun, bagai disambar petir di siang bolong, warga Kinipan terkejut ketika di awal tahun 2018 investasi dari PT Sawit Mandiri Lestari (SML) memasuki wilayah adat hasil pemetaan pihaknya. PT SML mengaku sudah mendapatkan izin dari pemerintah.
“Saat itu mereka masuk ke wilayah yang kami petakan, lalu kami larang karena merasa wilayah kami, hari ini kami larang misalnya, mereka pulang, besok mereka kerja lagi, terus berulang begitu, sampai terjadi keributan di lapangan.”
Puncak keributan itu, lanjut Effendi, terjadi di tahun 2020. Penangkapan demi penangkapan warga desa setempat yang berani menentang PT SML pun terjadi. Ada enam orang yang ditangkap termasuk dirinya sebagai buah dari perlawanan itu.
“Terakhir kepala desa kami (Willem Hengki) pada tahun 2021, yang dikriminalisasi dengan tuduhan korupsi setelah vokal mempertahankan wilayah adat kami ini,” ujarnya.
Pihaknya pun berupaya mengajukan pengakuan wilayah adat sejak tahun 2018. Tetapi, karena keterbatasan pemahaman terkait regulasi pengakuan masyarakat dan wilayah adat itu, upaya masyarakat Kinipan mendapat pengakuan wilayah adatnya pun terganjal.
“Salahnya kami, di Kabupaten Lamandau waktu itu belum punya Peraturan Daerah (Perda) masyarakat adat dan Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA),” ucapnya.
Pada tahun 2021, Panitia MHA di kabupaten setempat pun terbentuk dan dua tahun setelahnya, tahun 2023, sudah ada Perda tentang masyarakat adat di wilayah setempat. “Sejak itulah kami mengajukan kembali untuk pengesahan MHA, mohon pengakuan, tapi sampai saat ini masih belum terealisasi,” ujarnya.
Hasil pemetaan itu sendiri didapat bahwa pihaknya memiliki wilayah adat seluas 16.000 ha lebih. Hampir 75 persennya adalah hutan murni dan 25 persennya adalah lahan eks-ladang masyarakat. Hutan murni itu, ujar Effendi, adalah tempat bagi mereka berburu dan meramu, menyediakan seluruh kebutuhan sandang, pangan, dan papan masyarakat Desa Kinipan.
“PT SML masuk, sampai saat ini sudah tergarap menjadi sawit hampir 1.700 ha di hutan yang murni, tapi untuk saat ini mereka tidak melakukan landclearing lagi, di lokasi yang mereka manfaatkan itu kami sudah tidak bisa menemukan sumber penghidupan lagi,” ujarnya.
Saat berdialog di hadapan Menteri LHK RI Siti Nurbaya dalam sesi penyambutan kedatangan tersebut, mewakili masyarakat adat Desa Kinipan, Effendi mendesak beberapa hal penting yang mesti menjadi perhatian oleh pemerintah pusat maupun daerah tentang kondisi masyarakat adat di sana.
Pertama adalah proses pengakuan wilayah adat yang terkatung-katung. Pihaknya sudah empat kali mengajukan dokumen persyaratan pengakuan hutan adat, tetapi tak kunjung direspons oleh Pemerintah Kabupaten Lamandau.
“Kemudian pencadangan hutan adat, bagaimana mau dibuat jadi wilayah pencadangan sementara wilayah adat kami belum diakui?” ujarnya.
Ia mengaku bersyukur telah diberikan pencadangan wilayah adat yang seluas 10 ribu ha. Tetapi, yang di-SK-kan hanya 6.800 sekian ha. Ia mendesak agar pencadangan hutan adat itu segera diverifikasi lapangan.
“Harapan kami segera diverifikasi, dari 10 ribu ha yang kami usulkan itu, hanya 6.800 ha yang di-SK-kan, kami paham ada beban konsesi yang diberikan kepada pihak ketiga, kami mohon dengan sangat rendah hati, antara masyarakat, pihak ketiga, dan Pemkab Lamandau dipertemukan, agar pihak ketiga rela menyerahkan kembali konsesinya kepada masyarakat Kinipan,” ungkapnya.
Saat dikonfirmasi awak media ihwal penyelesaian masalah tapal batas antardesa yang menghambat pengakuan wilayah adat Kinipan itu, Penjabat (Pj) Bupati Lamandau, Said Salim mengatakan, saat ini tapal batas Desa Kinipan sedang dibahas oleh pemerintah pusat.
“Kami memang akan menjaga hal tersebut agar terus berjalan dan berbuah hasil, demi masyarakat Kinipan, masyarakat Lamandau, dan Kalteng secara luas,” ujarnya usai menyambut kedatangan Menteri LHK.
Pihaknya sudah berkomunikasi terkait pembahasan tapal batas desa tersebut. Dikatakannya, jika memang batas antardesa itu sudah selesai, maka penetapan hutan adatnya juga bakal dilakukan.
“Nanti kami panggil para pihak, kami akan duduk bersama, kalau perlu dengan pemerintah provinsi,” ujarnya. (dan/lan/ala/kpfm)