LINGKUNGAN
PALANGKA RAYA – Rencana pemerintah untuk mengembangkan kembali proyek cetak sawah baru di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) mendapat sorotan dari sejumlah pegiat lingkungan. Pihaknya meminta agar pemerintah belajar dari pengalaman masa lalu, ketika mencoba mengimplementasikan proyek pertanian di wilayah Kalteng.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengatakan, pemerintah sebaiknya mengevaluasi kembali program-program pertanian yang sebelumnya pernah dijalankan di Kalteng. Salah satunya proyek lumbung pangan atau food estate.
“Kami melihat belum ada perkembangan signifikan dalam perkembangan produktivitas sektor pertanian. Ini harus menjadi catatan penting pemerintah jika ingin melanjutkan proyek serupa,” kata Bayu saat dihubungi Kalteng Pos via sambungan telepon, Kamis (26/9).
Menurutnya, pemerintah perlu mengkaji lagi dampak praktis proyek itu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Sangat penting mengevaluasi proyek-proyek yang ada, untuk melihat sejauh mana implementasi dan dampaknya, sebelum proyek-proyek serupa dijalankan kembali.
“Kalau ini tidak dilakukan, maka hanya akan menambah kerusakan ataupun kerugian yang akan dialami oleh masyarakat sendiri,” tuturnya.
Menurut Bayu, jika pemerintah membuka kembali cetak sawah baru di lokasi yang tidak sesuai karakteristik lahan dan budaya pemenuhan pangan masyarakat, hasilnya tidak akan berbeda jauh dengan proyek-proyek sebelumnya.
“Itu hanya akan mengulangi kesalahan-kesalahan terdahulu, contohnya food estate, atau yang lebih lama lagi yakni proyek pengembangan lahan gambut (PLG),” ucapnya.
Menurut Bayu, dalam konteks Kalteng, sudah terdapat beberapa daerah yang menjadi lokasi sentra produksi sektor pertanian, didukung oleh faktor lingkungan berupa kesesuaian lahan yang memadai. Dua di antaranya adalah Pulang Pisau (Pulpis) dan Kapuas. Pemerintah dapat mengintervensi wilayah sentra pertanian itu dengan menerapkan proyek yang ada, seperti pembukaan cetak sawah baru.
“Bukan justru melakukan perluasan lahan cetak sawah di wilayah-wilayah baru yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan,” tuturnya.
Selain sistem pertanian sawah, Bayu menyebut, juga ada sistem pertanian berladang. Sistem yang mengakar dalam budaya sebagian besar masyarakat Kalteng ini masih belum didukung oleh pemerintah.
“Padahal secara praktik, sistem pertanian berladang sesuai dengan budaya masyarakat, hasil produksi beras terjaga, dan cenderung bisa memastikan ketahanan pangan. Kalau mau, sebaiknya proyek pertanian bisa difokuskan ke situ,” jelasnya.
Selain sistem pertanian, dalam proyek pertanian pemerintah sebaiknya lebih mendorong penanaman bibit lokal yang sering digunakan oleh petani tradisional di Kalteng. Itu sudah terbukti berhasil menjaga ketahanan pangan masyarakat.
Jika masih menerapkan pertanian bersawah, sistem pertanian yang notabene baru bagi masyarakat, maka uji cobanya akan memakan waktu yang lama. Potensi gagal dan dampak kerugian dari uji coba tersebut juga besar. Bukan hanya berdampak bagi ekonomi masyarakat, tetapi juga kelangsungan lingkungan.
“Kenapa tidak mengadopsi sistem pertanian yang sudah ada, yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakatnya sendiri. Jika begitu, kebijakan yang diambil bisa sesuai dengan kondisi budaya masyarakat,” tuturnya.
Jika pemerintah bersikukuh menjalankan proyek optimalisasi lahan pertanian itu, Bayu meminta agar proyek tersebut dijalankan di wilayah-wilayah yang memang memiliki karakteristik lahan yang sesuai dengan sistem pertanian sawah.
Senada dengan Bayu, Direktur Save Our Borneo Muhammad Habibi menuturkan, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan dan proyek pangan yang sudah berjalan sebelumnya. Menurutnya, perlu dilihat apa saja faktor yang menjadi kendala dan yang menyebabkan proyek pangan sebelumnya tidak berjalan optimal.
“Mungkin tidak hanya faktor anggaran semata, tetapi juga partisipasi masyarakat dan kesesuaian lahannya,” tuturnya, Kamis (26/9).
Di samping itu, lanjut Habibi, kebijakan pangan juga perlu memperhatikan keberlanjutan lingkungan. “Jangan sampai proyek pangan mengorbankan lingkungan kita, yang sekarang ini daya dukung dan daya tampungnya sudah makin menurun,” tandasnya. (dan/ce/ala/kpfm)