Ketika Seniman Karungut Menghibur Pengunjung CFD di Palangka Raya

Dalam suasana cerah pada Minggu pagi (15/9), di tengah hiruk-pikuk car free day (CFD) di Jalan Yos Sudarso, Palangka Raya, suara lembut kecapi mengalun di antara gemuruh langkah kaki dan canda tawa warga. Suara itu datang dari sekelompok seniman yang sedang menampilkan seni karungut, warisan budaya khas Dayak Kalteng.
DHEA UMILATI, Palangka Raya
PARA seniman itu bukan hanya menghibur, tetapi juga melestarikan karungut agar tidak punah atau hilang ditelan perkembangan zaman.
“Kami ini tim kesenian bandara, seringnya tampil di sana menyambut kedatangan penumpang. Tapi di CFD ini, sudah dua minggu terakhir kami dipercaya untuk menghibur masyarakat,” kata Mampung Lasri, pemain kecapi berusia 56 tahun. Baginya, kesempatan tampil di CFD adalah bagian dari upaya mengenalkan seni dan budaya Dayak kepada lebih banyak orang.
Mampung bukanlah satu-satunya orang yang mendedikasikan hidupnya untuk karungut. Ia bergabung bersama tiga seniman lain. Ada Titik Surya (55), Dinal (53), dan Hermanto Balui (70). Semuanya memiliki darah Dayak asli. Mereka bukan hanya pemain musik biasa, tetapi seniman yang menjaga tradisi turun-temurun melalui seni karungut.
“Kami ini hanya perkumpulan seniman, sering tampil di bandara tiap hari untuk menyambut masyarakat yang datang ke Palangka Raya. Dengan begitu, kami berharap budaya Dayak, khususnya karungut, dapat dikenal orang banyak,” tambahnya.
Keempat seniman ini berasal dari sanggar seni berbeda, yakni Sanggar Guru-Guru Kalteng Harati Berkah dan Panatau Kameloh Bulan. Namun memiliki visi yang sama, melestarikan karungut.
Karungut adalah seni pantun yang dilantunkan. Suatu tradisi lisan yang melibatkan nyanyian dalam bahasa Dayak atau bahasa Indonesia. Menurut Titik, karungut dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Seperti menyambut tamu di bandara, atau untuk hiburan pada acara-acara publik. Meskipun seni karungut tampak sederhana, tetapi memiliki peran penting dalam menjaga identitas budaya Dayak.
“Di sini kami hanya ingin menghibur masyarakat, terutama pada hari Minggu. Ini adalah bentuk tanggung jawab kami sebagai seniman untuk melestarikan seni budaya, khususnya karungut,” ujar Titik Surya yang juga merupakan guru SDN 6 Penarung.
“Harapan kami adalah agar anak-anak muda tertarik untuk mempelajari dan melestarikan seni ini. Kami ingin memberi contoh bahwa karungut adalah bagian dari warisan nenek moyang yang tidak boleh punah,” tambahnya.
Ia menambahkan, pihaknya diundang oleh penyelenggara CFD untuk tampil, memberikan hiburan, sekaligus menyebarkan nilai-nilai budaya lokal. Menurut Titik, respons masyarakat sangat positif. “Masyarakat sangat antusias, senang melihat penampilan kami, bahkan memberikan dukungan kepada kami,” tambahnya. Dukungan ini adalah bentuk pengakuan bahwa seni tradisional masih memiliki tempat di hati masyarakat modern.
Bagi Titik, karungut bukan sekadar seni, melainkan panggilan jiwa. Ia mulai mempelajari karungut sejak tahun 2015. “Saya mulai dari nol, hanya karena suka mendengar karungut. Kemudian saya belajar sedikit demi sedikit, hingga akhirnya bisa melantunkan,” kenangnya. Kini ia sedang belajar memainkan kecapi, salah satu alat musik tradisional yang digunakan dalam pertunjukan karungut. “Tujuan kami sederhana, melestarikan seni tradisional agar tidak tenggelam oleh perubahan zaman,” ujarnya penuh semangat.
Karungut biasanya dimainkan dengan iringan alat musik tradisional seperti gong, gendang, suling, dan rebat. Karena keterbatasan jumlah pemain, hari itu mereka hanya menggunakan kecapi. Meski demikian, kesederhanaan itu tidak mengurangi keindahan dan kekuatan penampilan mereka.
Di tengah arus modernisasi, seni tradisional seperti karungut menghadapi berbagai tantangan. Bukan hanya minimnya minat generasi muda, tetapi juga keterbatasan dukungan dalam hal pengembangan dan promosi. Namun, bagi Titik dan rekan-rekannya, tantangan tersebut justru menjadi pendorong untuk terus berkarya.
“Harapan kami agar makin banyak anak muda yang tertarik pada karungut. Kami berusaha memberi contoh, supaya mereka juga bisa menjaga dan melestarikan seni budaya daerah ini,” ujarnya. Menurutnya, dengan makin sering ditampilkan di ruang publik seperti CFD atau bandara, masyarakat akan makin mengenal dan menghargai karungut.
Tak hanya tampil di acara-acara besar, kelompok seniman ini juga berusaha mengenalkan karungut dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui sanggar seni maupun penampilan di ruang-ruang publik. Dengan cara ini, mereka berharap karungut tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga bagian dari kehidupan modern yang tetap relevan.
Selain CFD, para seniman ini juga rutin tampil di bandara, tepatnya di ruang kedatangan. Penampilan mereka di bandara bukan sekadar untuk hiburan, melainkan juga sebagai cara untuk menyambut tamu yang datang ke Kalimantan Tengah dengan nuansa budaya lokal.
“Tiap hari kami tampil di bandara. Ini adalah bentuk penyambutan yang khas. Memperkenalkan budaya kita kepada mereka yang datang dari luar daerah,” pungkasnya. (*/ce/ala/kpfm)