Banjir di Kalteng Bencana Tahunan

Hutan Jadi Tambang dan Perkebunan Sawit; Ya Banjir lah…

kpfmpalangkaraya.com, PALANGKA RAYA – Bencana banjir di Kalimantan Tengah (Kalteng) seolah telah menjadi bencana tahunan. Kenapa ya? Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengakui salah satu faktor utamanya adalah perubahan iklim. Hal ini makin memperparah fenomena hidrometeorologi, seperti intensitas hujan yang meningkat. Dan dampaknya sangat terasa di wilayah-wilayah yang kapasitas lingkungannya sudah tidak mampu menampung curah hujan yang makin sering dan deras. Ya.., banjir lah… “Perubahan iklim menyebabkan curah hujan atau intensitas hujan makin sering. Pada wilayah yang tidak memiliki kapasitas lingkungan yang baik, bencana seperti banjir menjadi tidak terelakkan,” ucapnya kepada Kalteng Pos, Rabu (23/10). Seharusnya keberadaan daerah aliran sungai (DAS) di Kalteng yang memegang peran penting dalam daya tampung dan daya dukung lingkungan. Sayangnya, tutupan hutan yang berada di kawasan DAS, misalnya di kawasan Sungai Barito terus menurun signifikan.

TUTUPAN HUTAN MENURUN

Berdasarkan analisis Walhi dan data yang dihimpun pemerintah, Kalteng memiliki sekitar 12 juta hektare kawasan hutan dari total 15 juta hektare luas wilayah. Namun, tutupan hutan di kawasan tersebut kini tersisa kurang 50 persen. “Berdasarkan data, tutupan hutan saat ini kurang dari 6 juta hektare atau sekitar 49 persen. Ini menjadi salah satu indikator kuat bahwa fungsi lingkungan, terutama daya tampung hutan dan sungai, sudah sangat menurun,” jelas Bayu. Bayu menegaskan, kondisi ini menempatkan Kalteng dalam situasi krisis ekologis. Lingkungan sudah tidak lagi mampu mendukung dan menampung dampak perubahan iklim, sehingga banjir menjadi masalah yang makin sulit diatasi. Mengenai upaya pemulihan lingkungan, Bayu menekankan pentingnya langkah konkret untuk memulihkan fungsi lingkungan di Kalteng. Salah satu upaya utama adalah menghentikan deforestasi dan kerusakan lingkungan, serta memastikan pengelolaan hutan dan sungai dilakukan secara benar. Menurutnya, pemerintah harus mengevaluasi kembali izin-izin pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang selama ini mayoritas diberikan kepada perusahaan besar yang cenderung eksploitatif.

BATU BARA DAN SAWIT

“Saat ini pengelolaan SDA di Kalimantan Tengah mayoritas diberikan kepada korporasi yang mengeksploitasi hutan dan lahan. Mereka mengonversi hutan menjadi lahan tambang atau perkebunan, terutama sawit dan tambang batu bara. Inilah yang menyebabkan deforestasi besar-besaran, khususnya di wilayah DAS Barito,” jelas Bayu. Bayu menambahkan, restorasi lingkungan, termasuk reboisasi dan pemulihan lahan gambut, menjadi langkah penting yang harus diambil dalam jangka panjang. Sementara untuk jangka pendek, masyarakat perlu diperkuat untuk menghadapi bencana dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Dari catatan Walhi, kegiatan eksploitasi SDA di Kalteng, khususnya di wilayah DAS Barito, didominasi oleh sektor pertambangan batu bara dan perkebunan sawit. Kedua sektor itu sebagai kontributor utama pengurangan tutupan hutan, yang pada akhirnya memperparah risiko bencana alam, seperti banjir. “Mayoritas aktivitas di DAS Barito adalah konversi hutan dan lahan untuk pertambangan batu bara dan perkebunan sawit. Ini menjadi salah satu penyebab terbesar bencana alam di Kalteng,” tegas Bayu. Oleh sebab itu, pihaknya berharap pemerintah segera mengambil langkah tegas menyelamatkan lingkungan dan alam Kalteng, dengan melakukan pemulihan hutan, evaluasi izin-izin eksploitasi SDA, serta memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap ekosistem hutan. Dengan tindakan yang tepat, lanjutnya, diharapkan Kalteng bisa keluar dari krisis ekologis, sehingga mengurangi risiko bencana banjir yang selalu menghantui masyarakat tiap tahun. (ovi/ce/ala/kprol/kpfm)

236 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.