PT WUL Dikabarkan Membuka Perkebunan Sawit
kpfmpalangkaraya.com, PALANGKA RAYA – Program Food Estate atau lumbung pangan yang digagas Joko Widodo saat masih menjabat sebagai presiden, bertujuan meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan mengoptimalkan lahan gambut. Namun, di wilayah Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, lahan Food Estate terancam beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Salah satu perusahaan yang diketahui telah membuka perkebunan sawit di lahan tersebut adalah PT Wira Usahatama Lestari (WUL), yang berada di sebelah lahan sawah milik Kelompok Tani Aneka Tarea, yang sebelumnya terlibat dalam program Food Estate ini.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, Bayu Herinata, menyatakan bahwa fenomena alih fungsi lahan Food Estate menjadi perkebunan sawit ini bukan hal baru.
Dikatakannya, pola serupa sudah terjadi pada masa Presiden Soeharto melalui program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) tahun 1995 lalu. Pada masa itu, lahan gambut seluas lebih dari satu juta hektare di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau dibuka dengan dilengkapi infrastruktur untuk lumbung pangan. Namun, proyek tersebut dianggap gagal. Kemudian, alih fungsi lahan pun terjadi. Sebagian besar dijadikan kebun sawit.
Menurut Bayu, kondisi serupa mungkin saja terjadi di area Food Estate saat ini, di mana lahan gambut yang seharusnya digunakan untuk pertanian, justru dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Ia menambahkan, pada kasus eks-PLG, pemerintah menetapkan batas maksimum luas lahan sawit hanya 10.000 hektare.
“Kenyataan di lapangan saat itu, luas lahan sawit malah melebihi ketentuan,” ujarnya, Kamis (7/11).
Terjadinya pola serupa itu, lanjut Bayu, menunjukkan kelemahan dalam perencanaan dan pelaksanaan program Food Estate, yang tidak mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan maupun keberlanjutan ekonomi masyarakat setempat.
Bayu mengungkapkan, tumpang tindih antara area Food Estate dan perkebunan sawit di Kapuas Murung menunjukkan adanya potensi pelanggaran aturan. Area Food Estate seharusnya berdasarkan lahan pertanian berkelanjutan yang tidak boleh dialihfungsikan, kecuali untuk kegiatan pertanian. “Ini menjadi indikasi pertama pelanggaran,” tegas Bayu.
Ia menegaskan pentingnya memastikan kecocokan lahan dan melibatkan masyarakat setempat sebelum memulai proyek berskala besar, agar tidak berdampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Alih fungsi lahan ini berdampak buruk pada lingkungan dan masyarakat. Selain mempercepat degradasi lahan gambut, konversi ini juga berisiko meningkatkan frekuensi banjir dan kebakaran hutan.
“Ekosistem gambut di sini makin rusak, menyebabkan banjir saat musim hujan dan kebakaran saat musim kemarau seperti yang terjadi pada 2023 lalu,” tambah Bayu.
Menurutnya, pemerintah harus segera melakukan upaya pemulihan lahan Food Estate untuk mengurangi dampak lingkungan dan kerugian masyarakat sekitar.
Selain itu, masyarakat setempat juga dirugikan oleh perubahan fungsi lahan ini. Sebelum dialihfungsikan menjadi sawah, lahan tersebut merupakan sumber pangan dan ekonomi masyarakat. Mereka mengelola kebun di lahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, dengan konversi lahan yang tidak berhasil, harapan masyarakat akan manfaat program Food Estate tidak terwujud dan justru menambah beban ekonomi mereka.
Dikatakan Bayu, Menteri Pertanian saat ini menyatakan bahwa program Food Estate digantikan dengan program Cetak Sawah. Program baru ini difokuskan pada cetak sawah dan tidak terhubung dengan upaya Food Estate yang telah berjalan. Namun, ia menegaskan perlunya evaluasi kondisi lapangan sebelum melanjutkan program Cetak Sawah di area yang sudah dibuka, agar tidak menambah beban lingkungan dan masyarakat setempat.
Sementara itu, anggota DPRD Kalimantan Tengah dari dapil V, Ir Muhajirin, turut menanggapi isu alih fungsi lahan ini. Ia mengatakan belum menerima laporan lengkap mengenai dugaan alih fungsi oleh PT WUL, termasuk status kepemilikan dan luas lahan perusahaan tersebut. Ia juga menilai bahwa tudingan mengenai kegagalan Food Estate terlalu tendensius, karena program tersebut masih dalam proses dan terus dievaluasi. Muhajirin menjelaskan, evaluasi program akan terus dilakukan di bawah pemerintahan baru, untuk memastikan tujuan ketahanan pangan nasional tetap tercapai tanpa ketergantungan impor.
Menurutnya, pemerintah akan mempertimbangkan berbagai faktor, mulai dari kesiapan petani, kesesuaian lahan, hingga tata air yang memadai.
“Sebelum cetak sawah, survei investigasi dan desain (SID) harus dilakukan untuk mengetahui kelayakan lahan, kondisi air, dan sistem irigasinya,” jelas Muhajirin, Kamis (7/11/24).
Ia menegaskan bahwa program Cetak Sawah yang sedang berjalan akan terus dipantau, agar tidak mengulang kesalahan yang sama seperti yang terjadi pada program Food Estate sebelumnya.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Kalimantan Tengah, Sunarti, saat dikonfirmasi Kalteng Pos terkait alih fungsi lahan Food Estate, mengatakan bahwa pihaknya tidak mengetahui adanya pemberian izin untuk perkebunan sawit dimaksud.
“Yang memberikan izin siapa? Berarti pejabat pemberi izin yang menyalahi aturan,” ucapnya, Kamis (7/11/24).
Saat ditanya lebih lanjut, ia menyebut belum ada informasi resmi yang diterima pihaknya mengenai hal itu.
Dalam keterangan, Sunarti juga menekankan perlunya peraturan daerah yang lebih kuat untuk melindungi lahan pertanian dari perubahan fungsi. “Kabupaten/kota harus membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) untuk melindungi lahan dari perubahan fungsi, dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok untuk kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan,” tambahnya.
Transformasi lahan Food Estate menjadi perkebunan sawit mencerminkan tantangan dalam menjaga ketahanan pangan dan mempertahankan keberlanjutan lahan pangan. Proyek yang awalnya ditujukan untuk memperkuat sektor pangan nasional, kini menghadapi situasi yang mengkhawatirkan, mengingat perubahan fungsi lahan dapat berdampak jangka panjang pada ketahanan pangan di daerah pelaksanaan program.
Perubahan fungsi lahan yang terjadi di Kalteng menggarisbawahi pentingnya pengawasan terhadap implementasi program serta sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Perda LP2B yang diusulkan Sunarti, menjadi salah satu solusi yang dianggap mampu menjaga konsistensi pemanfaatan lahan untuk ketahanan pangan.
Sementara itu, Kalteng Pos berusaha menghubungi PT WUL untuk mengonfirmasi mengenai dugaan alih lahan ini, tetapi belum mendapat tanggapan. (ovi/zia/ce/ala/kpfm)