Menyongsong Debat Kedua Pilgub Kalteng
kpfmpalangkaraya.com, PALANGKA RAYA – Debat kedua calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) tinggal menghitung hari, dengan tema Inovasi Pelayanan Publik sebagai fokus utama pembahasan. Para pasangan calon (paslon) dituntut untuk menciptakan pelayanan yang efektif dan efisien, termasuk bagi penyandang disabilitas.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kalteng, Biroum Bernardianto, menjelaskan bahwa pelayanan publik adalah pemenuhan kebutuhan sesuai peraturan perundang-undangan bagi tiap warga negara dan penduduk (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009). Hal ini menegaskan bahwa hakikat pelayanan publik harus bersifat inklusif dan merata bagi seluruh warga negara.
Calon kepala daerah sering kali berbicara tentang pelayanan publik dalam konteks luas dan normatif. Mereka umumnya menjanjikan pelayanan prima yang inklusif, tetapi belum secara spesifik menargetkan pelayanan bagi masyarakat berkebutuhan khusus.
“Calon kepala daerah sepatutnya memiliki pemahaman yang baik mengenai standar pelayanan untuk kaum berkebutuhan khusus, khususnya kaum difabel,” ungkap Biroum, Rabu (30/10/24).
Menurutnya, pelayanan khusus bagi penyandang disabilitas bukan hanya soal penyediaan sarana dan prasarana. Lebih dari itu, PP Nomor 20 Tahun 2020 telah mengatur layanan pendukung lain, seperti pendampingan, penerjemahan, asistensi, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat pelayanan publik tanpa biaya tambahan. Termasuk di dalamnya sistem informasi yang mudah diakses, baik secara elektronik maupun nonelektronik.
Biroum mendorong calon kepala daerah agar lebih konkret dalam memaparkan rencana pelayanan publik inklusif, melampaui sekadar penyediaan sarana prasarana ramah difabel. “Ada ketentuan tambahan daya dukung yang tercantum dalam PP Nomor 42 Tahun 2020 yang harus dipenuhi.”
Lebih lanjut ia menjelaskan, survei kepatuhan terhadap standar pelayanan publik yang dilakukan Ombudsman RI menunjukkan sebagian besar unit pelayanan publik di Kalteng sudah berusaha menyediakan fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas. Namun, masih banyak yang belum optimal, terutama untuk standar pelayanan khusus yang dibutuhkan penyandang disabilitas. Alasan klasik yang kerap muncul adalah rendahnya jumlah pengunjung disabilitas.
Pelayanan publik bagi penyandang disabilitas meliputi dua hal penting, yakni hak memperoleh akomodasi yang layak secara optimal dan bermartabat tanpa diskriminasi, serta hak untuk mendapatkan pendampingan, penerjemahan, dan fasilitas akses tanpa biaya tambahan di tempat pelayanan publik.
“Masih ada pekerjaan rumah bagi pemerintah, misalnya akses menuju tempat pelayanan publik yang sulit bagi penyandang disabilitas. Beberapa trotoar tidak layak digunakan. Misalnya, trotoar yang belum dipasang guiding block untuk tunanetra, atau trotoar dengan struktur curam yang menyulitkan pengguna kursi roda,” jelas Biroum.
Dosen Universitas Muhammadiyah Palangka Raya itu menyarankan beberapa langkah untuk memudahkan akses bagi penyandang disabilitas. Antara lain, penyediaan loket khusus, petugas terlatih, dan petugas pendamping.
“Dasar hukum sudah jelas, tinggal bagaimana komitmen penyelenggara layanan dan ide inovatif yang diusulkan untuk mewujudkan kemudahan akses bagi semua,” tuturnya.
“Seingat saya, belum pernah ada aduan terkait hal ini di Ombudsman RI Kalteng. Mungkin karena kurangnya pemahaman penyandang disabilitas akan hak-hak mereka,” tambahnya.
Biroum mengingatkan calon kepala daerah untuk memiliki komitmen menyelenggarakan pelayanan publik yang prima dan antimaladministrasi, serta menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Sementara itu, Ketua DPD Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Provinsi Kalteng, Junia Rendi, berharap agar pasangan calon kepala daerah lebih memperhatikan program strategis untuk mewujudkan Kalteng yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Menurutnya, hingga saat ini pelayanan publik di Kalteng belum sepenuhnya ramah terhadap penyandang disabilitas.
“Penyandang disabilitas ada empat kategori: fisik, sensorik, mental, dan intelektual. Pelayanan publik harus menyediakan aksesibilitas untuk semua kategori disabilitas itu,” ucap Rendi.
Menurutnya, sudah seharusnya tiap instansi menyediakan layanan bagi penyandang disabilitas, seperti pendampingan untuk tunanetra dari pintu depan hingga ke kantor. Juga bagi tunarungu, sebaiknya ada SDM yang bisa berbahasa isyarat.
“Bagi pengguna kursi roda, seharusnya tersedia selasar khusus untuk akses. Banyak instansi yang masih menggunakan akses tangga dengan kemiringan yang menyulitkan mereka,” tambah Rendi.
Selain inovasi pelayanan publik, Rendi juga berharap adanya program yang mewadahi penyandang disabilitas. “Daerah lain sudah memiliki program inklusif yang menjadi rumah bagi kami,” ujarnya.
Rendi menekankan bahwa program tersebut seharusnya mencakup pendidikan inklusif, lapangan kerja, perumahan, kesehatan, dan infrastruktur yang mudah diakses. (irj/ce/ala/kpfm)