Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD
kpfmpalangkaraya.com, PALANGKA RAYA – Usulan Presiden RI Prabowo Subianto terkait pemilihan kepala daerah tahun 2030 oleh anggota legislatif, tampaknya dikritisi sejumlah pihak. Salah satunya datang dari dosen Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Palangka Raya (UPR), Hiyatul Asfia.
Menurutnya, wacana tersebut bisa saja direalisasikan, dengan catatan tingkat kepuasan masyarakat terhadap legislator daerah harus tinggi. Akan tetapi, sekarang ini tingkat kepuasaan masyarakat terhadap anggota dewan cenderung redah.
“Artinya, masyarakat bisa menilai bahwa suara mereka belum sepenuhnya terwakilkan oleh anggota dewan,” ucapnya saat dibincangi Kalteng Pos, Rabu (18/12/24).
Apabila dalam hal kebijakan saja dirasa belum terwakili, bagaimana ke depannya jika kewenangan anggota legislatif ditambah dapat memilih bupati, wali kota, maupun gubernur. Meski mekanisme pemilihan seperti itu sudah dipraktikkan di negara tetangga, seperti Malaysia.
Mandat pemilihan yang diberikan kepada anggota dewan dinilai mengkhawatirkan. Sebab, bisa saja bermuatan kepentingan politik tertentu. Atau bahkan mayoritas partai pemenangnya di anggota legislatif. Kecemasan berlanjut ketika kepala daerah terpilih ke depannya justru membuat kebijakan yang menguntungkan wakil rakyat. Karena politik balas budi bisa saja terjadi dan tidak dapat dimungkiri.
Asfia tidak menampik bahwasannya wacana yang disebutkan oleh presiden itu baik. Karena menurut Presiden Prabowo Subianto, anggaran yang dikeluarkan untuk keperluan pemilihan kepala daerah langsung sangatlah besar. Sehingga Presiden berencana untuk memangkas dan menghemat anggaran.
Namun, lanjutnya, pemangkasan anggaran atas dasar peralihan sistem pemungutan suara dari langsung menjadi tidak langsung, perlu dikaji lebih mendalam. Ia meyakini besarnya anggaran yang diperlukan bukan karena sistem yang bermasalah, melainkan karena budaya politik yang kurang baik.
“Seperti mahar perahu pengusung parpol dari ratusan juta hingga miliaran rupiah di berbagai daerah. Belum lagi mengundang artis ibu kota ke berbagai acara dengan dana yang besar,” ungkapnya sembari menegaskan, yang perlu diubah adalah budaya politik, bukan sistem yang sudah semestinya berjalan.
Diketahui, negara seperti India dan Malaysia telah menerapkan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau tidak melibatkan masyarakat. Sistem seperti ini memang menghemat biaya. Namun yang perlu menjadi catatan adalah karakteristik sistem pemerintahan Indonesia berbeda dengan India dan Malaysia.
“Indonesia ini sistem pemerintahannya presidensial, sedangkan India dan Malaysia itu parlemen. Kalau ini dijadikan patokan, menurut saya tidak sepadan,” tutupnya. (ham/ce/ala/kpfm)