Wakil Rakyat

kpfmpalangkaraya.com, PALANGKA RAYA – Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen telah berlaku ditahun 2025. Dengan kenaikan PPN 12 persen tahun 2025 pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan memperhatikan dan memperkuat daya beli masyarakat. Hal itu disampaikan oleh Anggota DPR RI Dapil Kalimantan Tengah (Kalteng) Mukhtarudin.
Mengingat, kata Mukhtarudin, penurunan daya beli masyarakat yang terjadi belakangan ini dinilai bakal berdampak pada pertumbuhan ekonomi di tahun 2025 nantinya. “Daya beli masyarakat ini penting ya, karena mencerminkan kondisi perekonomian suatu negara,” ujar Mukhtarudin.
Ia menjelaskan badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa konsumsi rumah tangga per kuartal III-2024 tumbuh 4,91 persen. Angka ini mencerminkan penurunan konsumsi rumah tangga, jika dibandingkan dengan kuartal III-2023 yang tumbuh 5,06 persen, maupun kuartal II-2024 yang tumbuh 4,93 persen.
Untuk mengatasi hal tersebut, politisi Dapil Kalimantan Tengah ini mendorong pemerintahan perlu melakukan upaya perbaikan daya beli masyarakat dalam jangka pendek.
“Sebagai solusi jangka pendek, caranya, tahun 2025 ini lebih banyak menciptakan lapangan kerja agar kelompok bawah memiliki pendapatan tetap,” beber Mukhtarudin.
Mukhtarudin mengatakan tahun depan struktur ekonomi diharapkan lebih banyak ditopang oleh konsumsi. Artinya, mesin-mesin penggerak roda perekonomian harus didukung oleh konsumsi secara dominan.
“Indonesia merupakan negara yang perekonomiannya ditopang oleh konsumsi. Maka ketika konsumsi masyarakat cenderung menurun, pendapatan agregatnya secara bruto akan menurun juga” imbuh Mukhtarudin.
Anggota Komisi XII DPR RI ini menjelaskan bahwa rendahnya tingkat inflasi bukan saja hanya karena keberhasilan mengendalikan harga, tetapi juga berpotensi terkait dengan kemampuan daya beli masyarakat saat ini.
Mukhtarudin menilai inflasi dapat dimaknai seperti dua sisi berbeda dari mata uang yang sama.
Pertama, lanjut Mukhtarudin, inflasi rendah bisa dimaknai sebagai keberhasilan pemerintah dan BI dalam menjaga stabilitas harga.
“Namun, yang kedua, inflasi rendah ini juga dapat terjadi akibat rendahnya daya beli masyarakat karena kondisi perekonomian saat Ini,” imbuh Muktarudin.
Apalagi, saat ini Mukhtarudin mengingatkan ketidakpastian global yang tereskalasi selalu memberi tekanan terhadap perekonomian nasional.
Pasalnya, kata Mukhtarudin, harga minyak yang naik tentu akan menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun berjalan, karena berkonsekuensi pada membengkaknya nilai belanja atau impor bahan bakar minyak (BBM).
“Karena rantai pasok global yang terganggu akibat perang bisa menjadi penyebab naiknya harga komoditas strategis lainnya, termasuk bahan pangan seperti beras,” tutur Mukhtarudin.
Untuk meminimalisir ekses ketidakpastian global itu, Fraksi Golkar DPR meminta pemerintah memaksimalkan pemanfaatan potensi dalam negeri di sektor industri. “Ya, tentu dengan melindungi pasar tanah air dari serbuan produk impor yang dijual dengan harga dumping,” cetus Mukhtarudin.
Apalagi, sektor manufaktur dalam negeri mampu memenuhi permintaan ragam kebutuhan untuk lebih dari 280 juta jiwa konsumen dalam negeri.
“Jika pemerintah memproteksi dan memandu kebangkitan sektor industri, niscaya tahun 2025 ini akan tercipta jutaan lapangan kerja baru,” kata Mukhtarudin.
Sedangkan Anggota DPD RI utusan Kalteng Agustin Teras Narang mengatakan kebijakan PPN 12 bagaimanapun akan berdampak. Oleh karena itu ia mengharapkan pemerintah untuk membantu mengurangi dampaknya terhadap masyarakat menengah kebawah. Misalnya UMKM diberikan kemudahan.
“Kalo 12 persn diberlakukan pasti ada dampaknya. Maka pemerintah termasuk pemerintah daerah harus membantu masyarakat dari menengah ke bawah,” tegas Teras Narang.
Salah satunya memberikan bantuan dan kemudahan dan tidak membebani lagi dengan adanya pungutan yang tidak sesuai aturan. Selain itu pada bidang transportasi menurutnya jangan sampai ada kendala oleh rusaknya jalan.
Sebab itu nanti akan berpengaruh dengan perputaran ekonomi daerah. Karena suplay barang jangan terhambat.
“Hal itu harus dilakukan di Kalteng. Saya yakin Kalteng akan mampu meningkat pertumbuhan perekonomian daerah. Karena daerah kita perkebunan dan pertambangan memadai jadi bisa dimaksimalkan,” tegasnya.
Ia berharap kedepan kerja sama pemerintah, pengusah, dan masyarakat terjalin dengan baik. Dan kemudian kebutuhan masyarakat agar bisa dibantu.
Terakhir ia berharap aparatur penegak hukum harus banyak membantu dengan memberikan kebebasan sesuai dengan aturan. Jangan sampai ada pungli dijalan.
“Pokoknya 2025 ini semangat kebersamaan, gotong royong ataupun Huma Betang harus terjalin dengan baik,” tegasnya.
Sementara itu, Kalimantan Tengah menghadapi tantangan besar dalam upaya menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonominya di tengah berbagai kebijakan nasional dan global yang mulai berlaku pada tahun 2025. Hal ini disampaikan oleh pengamat ekonomi Universitas Palangka Raya (UPR), Fitria Husnatarina, dalam wawancaranya dengan Kalteng Pos pada Selasa (31/12/24).
Menurut Fitria, tantangan ekonomi yang dihadapi Kalimantan Tengah tidak jauh berbeda dengan tantangan ekonomi nasional secara umum. “Kita menghadapi berbagai kebijakan seperti UMP (Upah Minimum Provinsi), PPN (Pajak Pertambahan Nilai), hingga kebijakan perdagangan global yang tentunya berdampak pada aktivitas ekonomi daerah,” ujarnya.
Selain itu, implementasi Program Strategis Nasional seperti Food Estate juga membawa dampak signifikan pada struktur ekonomi daerah. Namun, Fitria menekankan bahwa tantangan tersebut harus menjadi peluang untuk mendorong transformasi ekonomi, terutama melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2029.
Ia menggarisbawahi pentingnya RPJMD sebagai cetak biru pembangunan ekonomi daerah. “RPJMD bukan hanya dokumen wajib, tetapi panduan strategis untuk mengoptimalkan potensi daerah, termasuk mengintegrasikan sektor ekonomi dengan lingkungan, ketenagakerjaan, dan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Sebagai daerah yang selama ini mengandalkan sektor ekstraktif seperti pertambangan batu bara, Kalimantan Tengah dihadapkan pada tantangan besar untuk beralih dari brown economy ke ekonomi yang lebih berkelanjutan, seperti green economy, blue economy, dan circular economy.
“Brown economy yang berbasis pada sumber daya tak terbarukan harus mulai dialihkan ke green economy yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ini membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur hijau serta kebijakan yang mendukung transisi ini,” lanjutnya.
Akademisi UPR ini juga menekankan bahwa pasar untuk ekonomi hijau tidak harus menunggu tercipta secara alami. “Pasar bisa diciptakan. Kita harus membangun ekosistem yang memungkinkan ekonomi hijau berkembang di Kalimantan Tengah. Ini mencakup investasi di sektor energi terbarukan, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, hingga pembangunan infrastruktur ramah lingkungan,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa Kalimantan Tengah memiliki peluang besar untuk menciptakan pasar baru di sektor ekonomi hijau, mengingat potensi sumber daya alam yang melimpah dan strategis. “Kuncinya adalah bagaimana pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dapat bersinergi untuk mendorong transformasi ini,” tegasnya.
Dirinya optimis bahwa dengan visi dan komitmen yang kuat, Kalimantan Tengah dapat menjadi pelopor ekonomi berkelanjutan di Indonesia. “Transformasi ini memang tidak mudah, tetapi dengan perencanaan matang dan keberanian untuk berinvestasi pada sektor-sektor baru, Kalimantan Tengah bisa menjadi contoh bagi daerah lain dalam mewujudkan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Menurutnya, melalui langkah-langkah strategis yang terintegrasi dalam RPJMD 2025-2029, Kalteng diharapkan dapat mengubah tantangan menjadi peluang, membawa ekonomi daerah menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. (irj/zia/ala/kpfm)