Penjelasan Vaksinasi Covid-19 Direncanakan pada November dan Desember

Ilustrasi menyuntikkan vaksin. Indonesia berencana melaksanakan vaksinasi Covid-19 pada November dan Desember untuk tahap awal (Fool)

JAKARTA – Pemerintah memastikan ketersediaan vaksin Covid-19 sudah siap untuk diberikan pada gelombang awal yakni 9,1 juta pada November dan Desember 2020. Vaksin itu pembelian dari 3 perusahaan Tiongkok yakni Sinovac, Sinopharm, dan CanSino. Sementara itu, uji klinis fase 3 baru akan selesai di Indonesia pada Desember 2020. Dengan melihat rencana tersebut, apakah pelaksanaan vaksin terburu-buru? Dan, apakah efeknya akan aman?

Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Prof Wiku Adisasmito mengatakan pada prinsipnya vaksinasi merupakan bentuk intervensi medis yang dilakukan dan memiliki dampak positif bagi kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Dan, roadmap menurutnya sedang disusun pemerintah dan masuk tahap finalisasi.

“Timeline vaksinasi akan dijelaskan lebih lanjut dalam roadmap tersebut. Yang paling penting adalah pastikan semua vaksin selesai uji klinisnya dan diberikan ke masyarakat setelah lolos uji klinis sehingga aman dan efektif,” tegas Prof Wiku, Selasa (20/10).

Sementara itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto sebelumnya mengatakan vaksin yang diproduksi oleh Sinovac sudah menyelesaikan uji klinis fase III di beberapa tempat yakni Tiongkok dan Brasil. Sedangkan di Indonesia akan selesai pada Desember oleh Biofarma dan Universitas Padjajaran. Bahkan Pemerintah Tiongkok sudah menyuntikkan vaksin itu kepada warganya. Vaksin itu juga sudah mendapatkan Izin Penggunaan Darurat dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Tiongkok.

Berdasar itu, kalau ditotal pada November dan Desember nanti, Indonesia siap untuk melakukan vaksinasi untuk 9,1 juta orang. Itu jika sudah mendapatkan kepastian dari BPOM dan Kemenag serta MUI.

“Vaksinasi bagi 9,1 juta orang ini tergantung kita kapan dapat kepastiannya. Yang jelas, ketersediaan masih akan sangat tergantung oleh Emergency Use atau Izin Penggunaan Darurat oleh BPOM dan regulasi dari Kemenag dan MUI. Kepastian disetujui atau tidaknya diperkirakan akhir Oktober, atau minggu awal November. Sehingga apakah sudah pasti halal dan aman,” ungkap Yurianto.

Menurut Pakar Kesehatan dari Fakuktas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono, selama ini proses pembuatan vaksin tentu harus didaftarkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dan, dimulai dulu uji kimianya, uji fisikanya, lalu didaftarkan.

“Kalau internasional daftarnya ke WHO. Mulai uji kimia, bilogi, sampai uji klinis,” tegas Tri Yunis kepada JawaPos.com.

Fase I, vaksin akan diberikan pada maksimal di bawah seribu subjek. Dan tim peneliti akan melihat efektivitas keamanannya terlebih dahulu. Lalu fase II, bisa sampai 4 ribuan subjek, dam akan dilihat efektivitas serta keamanannya.

Kemudian fase III minimal 10 ribu subjek. “Semua proses itu dipantau terus oleh WHO. Dan ada istilah penggunaan Emergency Use Authorization atau Izin Penggunaan Darurat. Kemudian, WHO akan mengizinkan atau tak mengizinkan. WHO sendiri yang akan keluarkan izinnya pada negara-negara tertentu akan diizinkan penggunaan daruratnya,” katanya.

“Daruratnya bisa di bidang mana, kesehatan, ekonomi, pertimbangannya macam-macam,” jelas Tri Yunis.

Lalu bagaimana dengan Tiongkok yang sudah memvaksin beberapa orang di garda terdepan? Tiongkok mendapatkan izin darurat dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Tiongkok.

“Tiongkok sudah dapat izin dari BPOM Tiongkok, itu BPOM Tiongkok boleh saja. Tapi risiko ditanggung oleh negara masing-masing,” jelasnya.

Tri Yunis mencontohkan ada kasus vaksin DBD di Filipina, saat itu sempat ada 4 orang meninggal. Dan akhirnya vaksin itu ditarik. Maka dia menegaskan agar semua uji klinis I, II, III, harus dilalui terlebih dahulu dan diselesaikan.

“Jangan lupa, uji klinis fase 3 belum selesai, keamanan belum dijamin. Jangan lupa pada vaksin DBD dulu ada 4 orang meninggal di Filipina. Hati-hati saja,” tegasnya.

Sedangkan sejauh ini dalam uji klinis vaksin Sinovac fase III di Bandung, belum ada efek samping berat pada subjek. Namun Tri Yunis kembali menegaskan bahwa jika pun ada satu dari sejuta orang yang mengalami efek samping, maka hal itu bisa diabaikan mengingat saat ini menghadapi masa pandemi dan demi nyawa jutaan orang lainnya.

“Pasti ada efek-efek tak diharapkan, enggak mungkin enggak ada. Tapi 1 di antara sejuta abaikan saja. Itu demi nyawa sejuta orang,” ujarnya.

Lalu apakah tenaga kesehatan yang divaksin lebih dulu seolah menjadi kelinci percobaan? Tri Yunis membantah hal itu. Sebab, bicara soal efek dan keamanan, sudah dipastikan atau dijamin di uji klinis fase I dan II.

“Bicara efek itu kan sudah dicek saat uji coba klinis fase I dan II. Kalau mau dipakai ya kira-kira. Bayangkan gini, ada mobil nih, mobil baru belum uji on the road. Tapi uji keamanan sudah. Apakah Anda mau beli? Mungkin kalau untuk penggunaan jangka panjang bisa saja enggak beli, tapi jika hanya untuk jangka pendek satu tahun misalnya ya pasti tetap digunakan (daripada tidak). Untuk menghilangkan wabah di negeri ini, konsekuensi tanggung bersama,” tegasnya.

Berdasar itu, bicara keamanan dan efek samping vaksin pasti sudah dijamin setelah lolos pada fase I dan II, dan wajib lolos fase III. Jika itu semua sudah dilalui, maka BPOM kemungkinan akan mengeluarkan izin penggunaan darurat. (jpc/101kpfm)

360 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.