Wiyatno: Segera Kembalikan Desa Dambung ke Kalteng

AUDIENSI: Rombongan yang dipimpin Ketua DPRD Kalteng Wiyatno menyampaikan keberatan terkait Permendagri Nomor 40 Tahun 2018 di hadapan Direktur Jenderal Administrasi Wilayah Kemendagri Safrizal ZA, Senin (3/4).

JAKARTA-Perjuangan untuk mengembalikan Desa Dambung ke Kalimantan Tengah (Kalteng) dimulai. Ketua DPRD Kalteng H Wiyatno, Bupati Barito Timur (Bartim) Ampera, bersama pejabat kabupaten dan provinsi, serta tokoh masyarakat menggelar audiensi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI. Pertemuan itu dilaksanakan di gedung H, lantai 3, Aula Rapat Direktorat Jendral Bina Administrasi Wilayah Kemendagri di Jakarta, Senin (3/4).

Kedatangan Ketua DPRD Kalteng Wiyatno dan perwakilan Pemerintah Provinsi Kalteng, Pemerintah Kabupaten Barito Timur, DPRD Barito Timur, serta perwakilan masyarakat desa, diterima oleh Direktur Jenderal Administrasi Wilayah Kemendagri, Safrizal ZA.

“Dalam audiensi ini kami menyampaikan keberatan atas penetapan Peraturan Menteri Dalam Negeri  Nomor 40 Tahun 2018 tentang Batas Daerah Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dengan Kabupaten Barito Timur,” kata Wiyatno, kemarin.

Dengan keluarnya permendagri itu, Desa Dambung yang sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Barito Timur, Kalteng, kini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Tabalong, Kalsel.

“Kami telah sepakat untuk mengupayakan pembatalan Permendagri Nomor 40 Tahun 2018, sehingga batas daerah kembali ke Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1973 tentang Penegasan Perbatasan Antara Kalteng-Kalsel, yang mana Desa Dambung masuk wilayah Barito Timur,” jelasnya.

Wiyatno juga menyinggung pentingnya stabilitas sosial masyarakat dalam upaya pembangunan di Bumi Tambun Bungai.

“Potensi konflik sosial kemasyarakatan terkait tata batas pasca terbitnya Permendagri 40 Tahun 2018 perlu disikapi secara serius, baik oleh daerah maupun pusat. Jangan hanya karena masalah tata batas di Desa Dambung, keamanan Kalteng menjadi tidak kondusif, sehingga membuat perekonomian terhambat dan stagnan, seperti saat peristiwa kerusuhan antaretnis tahun 2001 lalu. Tidak berbicara proses, oleh karenanya segera kembalikan Desa Dambung ke Kalteng untuk kepentingan yang lebih besar,” tegas Wiyatno.

Sementara itu, Direktur Jenderal Administrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri, Safrizal ZA menyampaikan bahwa pihaknya telah mempelajari dan pernah memaparkan terkait persoalan tata batas kedua provinsi. Karena itu pihaknya mempersilakan perwakilan rombongan untuk menyampaikan aspirasi.

“Kalau saja ada novum baru yang menjadi bahan kebijakan bagi Kementerian Dalam Negeri untuk menindaklanjuti. Sebagai catatan, Peraturan Menteri Dalam Negeri terkait tata batas tidak bisa diubah atas inisiasi dari pihak Menteri Dalam Negeri,” katanya.

Safrizal ZA berjanji akan membaca dan mempelajari kembali kronologi terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1973 hingga munculnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2018.

Ia meminta agar pihak Pemprov Kalteng dan Pemkab Barito Timur menyampaikan ulang dokumen resmi notifikasi atau kronologi terkait itu.

Dokumen itu nantinya akan menjadi bahan pertimbangan kebijakan dari Direktorat Adminitrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri untuk menindaklanjuti keberatan terkait Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2018 sekaligus sebagai bahan laporan kepada Menteri Dalam Negeri.

Terpisah, pengamat kebijakan publik Farid Zaky Yopiannor SSos MSi mengatakan, secara hukum Desa Dambung dapat kembali ke wilayah Kalteng jika ada pembatalan permendagri terkait.

“Agar itu bisa dipercepat, butuh momentum politik, juga perlu sinergi antarelemen terkait di Bartim maupun Pemprov Kalteng agar jendela kebijakan (policy window) dapat terbuka,” ungkap Zaky kepada Kalteng Pos, Minggu (2/4).

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMPR) ini menilai langkah yang diambil oleh pemerintah daerah saat ini, yakni ingin membatalkan secara hukum Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, sudah di jalur yang benar. Namun sebaiknya upaya yang dilakukan tidak hanya sebatas hukum saja, melainkan juga secara politis.

“Sebelum upaya hukum itu dapat terwujud, tentu dibutuhkan skema politis yang harus dilakukan. Dalam ilmu kebijakan publik, ada yang namanya agenda setting, bagaimana aktor-aktor yang terlibat mampu membingkai masalah tapal batas, dalam hal ini wilayah administrasi Desa Dambung menjadi isu yang serius, isu ini harus lebih dahulu muncul ke permukaan, sehingga menjadi atensi publik yang lebih luas, kalau bisa sampai didengar oleh Kemendagri,” tuturnya.

Dalam konsep agenda setting, aktor-aktor yang terlibat dapat menyelesaikan masalah ini mesti bisa memanfaatkan lebih banyak momentum, sehingga dapat menyedot perhatian publik dan pemangku kebijakan di level atas.

“Harus diangkat dulu dengan serius masalah ini sampai bisa menjadi perhatian pusat, masalah ini harus memberikan bargaining atau pressure ke pemerintah pusat, kuncinya harus menyentil kemendagri dulu, baru bisa selesai,” ucapnya.

Lebih lanjut Zaky menjelaskan, skema pembatalan aturan bisa dilakukan bilamana kemendagri berkenan beraudiensi dengan pihak-pihak yang terkait persoalan ini. “Kalau itu bisa, jalan hukum pasti ada, tapi sekali lagi, kita perlu kemauan politis sebenarnya, political will untuk menyelesaikan masalah ini belum muncul di kemendagri, jadi harus dimunculkan,” ujarnya.

Jebolan magister ilmu administrasi pembangunan Universitas Lambung Mangkurat ini menyebut, perlu ada upaya membangkitkan kembali isu ini di tengah masyarakat, utamanya di kalangan para pemangku kebijakan.

“Bisa dengan cara mengangkat nilai-nilai historis terkait keberadaan Desa Dambung, lalu tentang masyarakatnya, untuk itu perlu ada sinergi yang kuat lintas pemda, saya kira pemprov perlu menjadikan isu ini sebagai isu provinsi, jangan sebagai isu Bartim saja, agendanya harus dibangun sedemikian rupa agar bisa menjadi atensi hingga tingkat pusat,” tandasnya. (irj/dan/ce/ala/kpfm)

238 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.