Warga Bantaran Kahayan dalam Bayang-Bayang Ablasi

DOKUMEN KALTENG POS

PALANGKA RAYA-Fenomena pengikisan tanah di bantaran sungai atau yang biasa disebut ablasi, terjadi lagi di bantaran Sungai Kahayan. Bencana geologis ini disinyalir terjadi akibat pengikisan tanah oleh air sungai secara terus-menerus, yang diperparah dengan banyaknya permukiman yang bercokol di sekitar bantaran sungai tersebut.

Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR), Siti Maimunah SHut MP menjelaskan, ablasi yang terjadi di daerah bantaran Sungai Kahayan disebabkan karena pembukaan bantaran sungai. Berdasarkan ilmu terkait konservasi DAS, seharusnya sepanjang 100 meter sisi kanan dan kiri sungai tidak boleh dibuka untuk kegiatan manusia.

“Jenis tanah pada bantaran sungai merupakan pasiran yang mudah larut, didukung lagi dengan sungai yang dijadikan sarana transportasi memperburuk kondisi, termasuk kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) di sekitar lokasi itu,” jelas Maimunah kepada Kalteng Pos, Selasa (25/4).

PETI merupakan kegiatan memproduksi mineral atau batu bara, yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa mengantongi izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial.

Karena itu, masyarakat yang tinggal di wilayah bantaran Sungai Kahayan hampir pasti akan terus dibayang-bayangi ablasi, karena tidak ada perakaran pohon yang mengikat tanah di sekitarnya.

“Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai hampir pasti tidak lepas dari bayang-bayang ablasi. Hal ini diperparah juga dengan kegiatan penambangan di tubuh air sehingga menyebabkan berat air meningkat, yang mana mengalir lebih banyak dengan membawa tanah sekitar bantaran sungai, kondisi ini diprediksi bisa makin meluas karena akan menggerus lebih dalam, juga akan menjadi bencana rutin bila tidak dikendalikan,” imbuhnya.

Maimunah menjelaskan, khusus untuk sungai-sungai yang melintasi kawasan heath forest atau hutan kerangas sangat riskan, karena tanahnya berstruktur pasiran yang mudah hanyut terbawa arus air.

“Jika kita telaah lebih lanjut, ambil contoh di Murung Raya, di sana jenis tanahnya adalah tanah latosol dan podsolik sehingga jarang terjadi ablasi, berbeda dengan tanah pasiran,” jelasnya.

Maimunah mengatakan, sudah seharusnya wilayah bantaran sungai bebas dari pemukiman warga. Juga harus ada peraturan daerah yang mengatur terkait itu. “Harus ada relokasi pemukiman, di samping mengamankan pinggiran sungai yang telah terbuka, meski dalam realisasinya pasti akan cukup sulit dilaksanakan,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, Maimunah juga menyebut bahwa pemerintah harus berupaya untuk lebih tegas dalam menegakkan peraturan daerah yang berlaku. “Kalau sudah ada peraturan daerah (perda) terkait itu, maka harus aktif juga menyosialisasikan ke masyarakat,” ujarnya.

Ia menyebut, pada dasarnya wilayah bantaran sungai bukan tempat yang layak untuk dijadikan pemukiman. Bantaran sungai harusnya menjadi lahan terbuka hijau yang dijaga hutannya, sebagaimana ketentuan berlaku bahwa sepanjang 100 meter sisi kanan dan kiri sungai merupakan kawasan konservasi untuk menjaga daerah aliran sungai.

Maimunah menambahkan, salah satu solusi untuk mengatasi persoalan ablasi adalah dengan membuat terasering untuk mencegah terjadinya ablasi yang lebih besar.

“Yang terjadi di lapangan adalah kawasan bantaran sungai dijadikan permukiman. Mungkin jika dalam waktu dekat ketiadaan pohon di bantaran tidak berpengaruh nyata dan aman, tapi bencana akan terjadi setelah beberapa waktu. Tidak adanya pelindung permukaan tanah di wilayah bantaran air sungai dikarenakan tidak ada lagi akar pohon yang menguatkan tanah, diperparah lagi dengan adanya pasang surut air sungai,” jelasnya.

Karena itu ia menyarankan agar wilayah sekitar bantaran sungai bebas dari permukiman dan ditanami pohon-pohon. “Perlu direlokasi permukiman yang ada di bantaran sungai, juga memasang pemecah gelombang seperti memasang cerucuk bambu di sepanjang bantaran sungai, jadi bambu-bambu ini sekaligus menjadi pembatas daratan, atau bisa saja ditanami pohon sungkai atau galam,” tandasnya. (dan/ce/ala/kpfm)

270 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.