Perkuat Mitigasi Bencana Karhutla

Walhi Dorong Pemerintah Perhatikan Kerusakan Ekosistem Gambut

PALANGKA RAYA-Para pegiat lingkungan mengapresiasi pemerintah telah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Saat ini ada empat daerah yang berstatus siaga, yakni Kota Palangka Raya, Kabupaten Sukamara, Lamandau, dan Barito Selatan (Barsel). Pemerintah diharapkan terus memperkuat mitigasi terhadap ancaman bencana karhutla di Bumi Tambun Bungai. 

Mitigasi bencana musim kemarau seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) membutuhkan kepekaan pemerintah dalam melihat faktor dominan penyebabnya. Identifikasi persoalan ini menjadi faktor penting, agar kebijakan yang diambil dan langkah penanganan betul-betul efektif. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) akan segera menetapkan status siaga darurat karhutla di provinsi dengan luas 153.564 km² ini. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi masalah yang tepat atas faktor utama penyebab karhutla, sehingga bisa mengoptimalkan langkah-langkah yang akan diambil ke depan dalam upaya mitigasi bencana.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata menilai sampai saat ini pemerintah belum bisa mengidentifikasi akar masalah yang menjadi penyebab dominan kebakaran hutan dan lahan, yakni kerusakan ekosistem gambut di salah satu provinsi di Indonesia dengan lahan gambut terluas ini.

Bayu Herinata

“Pemerintah harus memperhatikan kerusakan lingkungan, khususnya ekosistem gambut yang ada di Kalteng, terutama di wilayah kabupaten/kota yang lahan gambutnya sudah diintervensi oleh aktivitas yang memperparah kerusakan ekosistem gambut,” ucap Bayu kepada Kalteng Pos, Minggu (14/5).

Contoh kegiatan yang memperparah kerusakan ekosistem gambut, lanjut Bayu, yakni proyek-proyek perusahaan besar seperti sawit dan food estate. “Ini yang menurut kami menjadi faktor dominan penyebab karhutla di Kalteng sampai saat ini, dari tahun ke tahun polanya cenderung berulang,” imbuhnya.

Narasi bahwa faktor utama penyebab karhutla adalah masyarakat yang membuka lahan dengan membakar, menurut Bayu tidak berdasar. Narasi tersebut malah memposisikan masyarakat adat sebagai kambing hitam atas kasus karhutla yang terjadi. Padahal kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat lokal atau masyarakat adat dalam berladang itu tidak sebesar dan seluas kebakaran yang terjadi di areal konsesi.

“Contoh yang paling dekat, bisa kita lihat di Kabupaten Kapuas, dulu ada suatu perusahaan, lalu di Katingan, ada dua perusahaan yang mana lahan di areal konsesinya terjadi kebakaran, itu juga dibuktikan oleh pemerintah sendiri dengan KLHK mengajukan gugatan terhadap perusahaan yang bersangkutan karena terbukti bersalah,” jelasnya.

Bayu menyebut, pihaknya menyayangkan sikap pemerintah yang menarasikan bahwa penyebab karhutla adalah karena ulah masyarakat adat yang membuka ladang dengan cara membakar.

“Tidaklah benar bahwa penyebab karhutla semata disebabkan oleh masyarakat lokal yang membuka lahan untuk berladang, karena kebakaran yang ditimbulkan di areal konsesi justru jauh lebih besar, hal ini dibuktikan dengan sejumlah kasus yang pernah terjadi,” tuturnya.

Menanggapi langkah pemerintah menetapkan status siaga darurat karhutla, Bayu menilai bahwa hal tersebut sangat baik sebagai bentuk respons terhadap prediksi cuaca yang menyebut Kalteng akan segera memasuki musim kemarau.

“Hanya saja yang menjadi penting adalah bagaimana agar ketetapan status siaga darurat ini dioptimalkan untuk upaya-upaya mitigasi yang lebih jelas dan terukur, sehingga bukan hanya seremonial, apel siaga, dan segala macam itu, menurut kami itu tidak substansial dalam upaya mitigasi karhutla,” tuturnya.

Menurut Bayu, yang semestinya dilakukan setelah adanya penetapan status siaga darurat karhutla adalah mengefektifkan sarana prasarana pembasahan gambut, serta memaksimalkan partisipasi masyarakat khususnya di wilayah yang rentan terjadi karhutla.

“Itu beberapa hal yang menurut kami harus dioptimalkan, sehingga pembiayaan dapat tersalurkan secara tepat dan efektif, bukan hanya seremonial,” tandasnya.

Prakirawan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Tjilik Riwut Palangka Raya, Ika Priti Widiastuti mengatakan, selama masa peralihan cuaca atau pancaroba, ada potensi untuk terjadinya perubahan cuaca ekstrem dalam waktu singkat, baik hujan lebat maupun panas terik yang dapat terjadi tiba-tiba.

“Misal, siangnya sangat panas, lalu sore atau malam harinya tiba-tiba hujan dengan intensitas sedang hingga lebat, bisa juga disertai angin kencang, karenak itu selama masa peralihan ini tidak hanya dampak hujan lebat yang patut diwaspadai, tapi juga panas terik,” jelas Ika kepada Kalteng Pos, Minggu (14/5).

Hingga pertengahan Juni mendatang, diperkirakan wilayah Bumi Tambun Bungai akan terus mengalami perubahan cuaca kontras dalam waktu singkat. Menurut Ika, baik potensi panas terik maupun hujan lebat, keduanya berpotensi terjadi selama masa peralihan musim.

“Karena dalam masa peralihan ini, cuaca bisa berubah signifikan dalam waktu singkat, tapi makin hari intensitas atau durasi hujan cenderung terus berkurang, sementara cuaca panas terik makin lama,” jelasnya.

Lebih lanjut dikatakan Ika, hingga besok kondisi cuaca di Kalteng secara umum diperkirakan berawan dan berpotensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat.

“Tetapi potensi-potensi hujan itu masih terbatas dalam skala lokal, artinya di suatu daerah bisa terjadi hujan sementara daerah yang lain tidak, dalam artian sifat hujannya hanya skala kecil,” bebernya.

Kemarin, hari ini, dan besok, cuaca diprediksi akan terus berawan. Untuk besok, Selasa (16/5), Ika menyebut potensi hujan dari intensitas sedang hingga lebat yang bersifat lokal terjadi di Kabupaten Katingan dan Barito Utara.

“Adapun untuk empat hari berikutnya, yakni tanggal 17,18,19,dan 20 ada potensi turun hujan di beberapa wilayah Kalteng, seperti Kobar, Lamandau, Seruyan, Kotim, Katingan, Gunung Mas, Palangka Raya, Murung Raya, Barito Utara, Kapuas, Pulpis, dan Barsel,” bebernya seraya menyebut bahwa potensi hujan untuk empat hari berikut lebih besar dari potensi hujan saat ini.

Sementara untuk cuaca panas, Ika menambahkan, cuaca panas di Kota Palangka Raya yang diukur pada pukul 07.00 WIB tanggal 12 Mei hingga 13 Mei pada jam yang sama. Suhu tertingginya masuk urutan ke-3 di Indonesia.

“Dari stasiun kami mencatat suhu maksimumnya itu mencapai 36,3°C, kemudian untuk di Sampit 35,8°C, dan disusul oleh hasil pengukuran di Stasiun Meteorologi Buntok pada hari yang sama, yakni 35,8°C,” jelasnya.

Awal Juni mendatang, wilayah Kalteng diperkirakan akan memasuki musim kemarau. Ada beberapa hal yang mesti menjadi perhatian masyarakat, karena selama peralihan musim ada potensi terjadinya perubahan cuaca ekstrem dalam waktu singkat.

“Diimbau kepada masyarakat agar berhati-hati ketika beraktivitas di luar ruangan, karena saat ini wilayah Kalteng akan masuk musim kemarau, kami imbau masyarakat agar bertindak bijak mengikuti aturan pemerintah setempat,” tandasnya. (dan/ce/ala/kpfm)

248 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.