Walhi Kalteng Mencatat Ada 345 Kasus
PALANGKA RAYA-Konflik agraria di Kalimantan Tengah (Kalteng) masih sangat marak. Konflik pertanahan paling banyak terjadi di sekitar wilayah perusahaan besar swasta, baik yang bergerak di bidang perkebunan, pertambangan, maupun izin-izin pelepasan kawasan hutan. Hal ini diungkap berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng terkait konflik agraria di Bumi Tambun Bungai.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengungkapkan, konflik agraria di Kalteng masih menjadi isu besar dan penting, karena terus terjadi hingga saat ini. Berdasarkan catatan pihaknya, konflik agraria yang sedang terjadi di Kalteng mencapai ratusan lebih kasus.
“Konflik agraria di Kalteng mencapai 345-an kasus, kalau tidak salah mayoritas konflik terjadi di sektor- industri ekstraktif sumber daya alam (SDA), seperti perkebunan sawit, pertambangan, kehutanan, maupun HPH dan HTI,” beber Bayu kepada Kalteng Pos, Selasa (13/6).
Bayu menyebut, berdasarkan data pihaknya, sekitar 80 persen konflik terjadi antara masyarakat dengan perusahaan besar sawit.
“Dari keseluruhan konflik yang terjadi itu, sampai dengan tahun 2020, 80 persennya terjadi antara masyarakat dengan perusahaan besar swasta, yakni perkebunan sawit,” bebernya.
Adapun dari sebaran konflik agraria itu, lanjut Bayu, paling banyak terjadi di wilayah kabupaten yang sudah banyak memiliki izin industri ekstraktif SDA, baik sektor pertambangan, kehutanan, maupun perkebunan.
“Karena kebanyakan konflik itu terjadi di daerah-daerah perkebunan kelapa sawit, maka kami bisa melihat bahwa wilayah Barat Kalteng seperti Kobar, Seruyan, Kotim, Lamandau, dan Sukamara merupakan daerah-daerah yang paling banyak terjadi konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan,” tuturnya.
Lebih lanjut Bayu menjelaskan, permasalahan ini harus menjadi perhatian serius semua pihak. Bukan hanya oleh pihak perusahaan, tetapi juga pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Menurut Bayu, pemerintah harus memperhatikan kepastian terkait proses-proses pemberian dan pengelolaan izin, baik di sektor perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan.
“Pemerintah harus memastikan aspek keterbukaan di awal, karena konflik ini umumnya bermula dari ketidakadilan antara penguasaan dan penggunaan lahan yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan, sedikit sekali proses sosialisasi dan penyampaian informasi yang terbuka kepada masyarakat yang lahannya dijadikan lahan perkebunan,” jelas Bayu.
Bayu menyebut, kurangnya sosialisasi atau keterbukaan informasi pihak perusahaan kepada masyarakat menyebabkan muncul banyak konflik karena ketidakjelasan proses atau mekanisme penggunaan lahan dan pembagian hasil dari aktivitas pembangunan perkebunan oleh perusahaan.
“Dengan tidak adanya keterbukaan informasi di awal oleh pihak perusahaan, ketika pihak perusahaan menggarap lahan, sementara masyarakat setempat tidak tahu adanya proyek itu dan mengapa proyek itu bisa dijalankan di tempat mereka, akhirnya berujung konflik,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Bayu, masyarakat juga dapat melapor atau mengutarakan komplain kepada badan atau instansi pemerintah terkait terkait adanya potensi-potensi konflik yang bisa terjadi antara perusahaan dengan masyarakat.
“Kami merekomendasikan kepada pemerintah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk membentuk sebuah lembaga penyelesaian konflik agraria, sehingga dapat menghimpun dan menerima aduan dari masyarakat serta memfasilitasinya dalam menyelesaikan konflik seperti ini,” tuturnya.
Di samping itu, Bayu juga menyarankan agar pemerintah maupun pihak terkait lain dapat melakukan penegakan hukum atau sanksi kepada perusahaan yang tidak kooperatif.
“Perlu penegakan hukum yang lebih proporsional terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran, yang mana bisa dilakukan pencabutan izin, pembekuan usaha, ataupun sanksi lainnya sesuai kewenangan pemerintah,” tandasnya. (dan/ce/ala/kpfm)