PALANGKA RAYA-Putusan majelis hakim atas kasus dugaan pelecehan yang menjerat AKP MA mendapat sorotan dari praktisi hukum. Pihaknya menilai hukuman dua bulan penjara yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak itu tidak sesuai jika merujuk pada aturan yang berlaku. Karena itu, upaya hukum banding yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) merupakan langkah yang tepat. Hal tersebut diungkapkan anggota Tim Advokasi UPT PPA Kalteng sekaligus Sekretaris DPC Peradi Palangka Raya, Kartika Candrasari.
“Dakwaan primernya Pasal 82 ayat 1 Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak tertera tuntutan 7 tahun penjara dan denda Rp6,8 miliar, subsider 6 bulan kurungan. Kemudian untuk dakwaan alternatifnya Pasal 6 huruf A juncto Pasal 15 ayat (1) huruf E dan G Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Nah, justru dakwaan alternatif yang diajukan jaksa penuntut dijadikan sebagai acuan putusan terhadap AKP MA, sehingga dijatuhi hukuman 2 bulan penjara, denda Rp5 juta, subsider sebulan kurungan,” ucap Kartika kepada Kalteng Pos, Minggu (13/8).
Dikatakannya, hingga saat ini tim advokasi UPT PPA Kalteng masih terus berkoordinasi dengan jaksa penuntut untuk meminta salinan putusan perkara tersebut.
“Karena dengan adanya salinan putusan itu barulah bisa diketahui bagaimana pertimbangan hakim dalam memberikan putusan, yang hanya mengacu pada Pasal 6 huruf A juncto Pasal 15 ayat (1) huruf E dan G Undang-Undang Nomor 12 Nomor 2002 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ucapnya.
Kartika menambahkan, jika ada dakwaan alternatif yang diajukan jaksa, maka hakim bebas untuk memilih dakwaan mana yang dianggap paling tepat untuk menjatuhkan putusan. Putusan yang dihasilkan itu tentunya didasarkan pada pembuktian dan keyakinan hakim.
Dalam konteks ini, lanjut Kartika, yang dipersoalkan adalah mengapa majelis hakim memilih penerapan Pasal 6 huruf A juncto Pasal 15 ayat (1) huruf E dan G Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Sedangkan yang diketahui korban pelecehan seksual berstatus anak, apakah hakim berpendapat bahwa Undang-Undang Kekerasan Seksual dapat mengesampingkan Undang-Undang Perlindungan Anak, karena dalam kasus ini korbannya adalah anak,” jelasnya.
Kartika berpendapat, langkah hukum banding yang diambil JPU sudah tepat. Dengan begitu, pengadilan tinggi dapat menilai dan memberikan pendapat hukum, dengan memeriksa kembali bukti dan fakta hukum yang ada.
“Semoga majelis hakim pengadilan tinggi tidak mengabaikan Pasal 82 ayat 1 Undang-undang Perlindungan Anak, mengingat korban adalah anak, walaupun terdapat dakwaan alternatif yang diajukan JPU. Sehingga keadilan bagi korban dan perlindungan terhadap anak dapat benar-benar diterapkan,” tandasnya.
Menyikapi putusan majelis hakim atas kasus yang menjerat AKP MA, Kabidhumas Polda Kalteng Kombes Pol Erlan Munaji mengatakan, Polda Kalteng masih menunggu keputusan yang inkracht atau berkekuatan hukum untuk perkara tersebut.
“Terkait kasus AKP MA, kami masih menunggu inkracht dari pengadilan yang diserahkan ke kami (Polda Kalteng, red),” terang Erlan kepada Kalteng Pos melalui sambungan telepon, Senin (14/8).
Setelah putusan inkracht dikeluarkan pengadilan, lanjut Erlan, Polda Kalteng dalam hal ini Ditpropam Polda Kalteng akan segera menindaklanjuti dengan menggelar sidang kode etik. “Kalau sudah inkracht dan diserahkan ke polda, barulah digelar sidang kode etik,” ucapnya.
Mengenai status AKP MA di instansi Polri, Erlan mengatakan saat ini terdakwa masih berstatus anggota kepolisian yang bertugas di Polda Kalteng. “Yang bersangkutan masih ditempatkan di Yanma,” ujarnya.
Ketika diminta tanggapan terkait anggapan berbagai pihak yang menyebut putusan Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya terhadap AKP MA sangat ringan dan tidak berkeadilan bagi korban, Erlan menyebut pihaknya tidak berkomentar soal putusan sidang. “Itu ranahnya pengadilan,” tegasnya. (dan/sja/ce/ala/kpfm)