Tak Bisa Gerak Sendiri Menjaga Cagar Budaya

Bincang-Bincang dengan Muslimin AR Effendy, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII

BAHAS CAGAR BUDAYA: Kepala BPK Wilayah XIII Muslimin AR Effendy (dua dari kanan) menerima suvenir usai menjadi bintang tamu Podcast Ruang Redaksi, Selasa (23/1).

Podcast Ruang Redaksi Kalteng Pos kembali kedatangan tamu spesial. Jika yang datang sebelumnya adalah sosok-sosok yang berkecimpung di bidang politik, kali ini yang berkecimpung di bidang kebudayaan. Khususnya pada pengelolaan objek-objek bangunan bersejarah. Ia adalah Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIII, Muslimin AR Effendy. Perbincangan itu juga ditayangkan di kanal YouTube Kalteng Pos.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

MUSLIMIN menceritakan, instansi yang dipimpinnya tak hanya menangani soal objek kebudayaan, tetapi juga jenis pelestarian kebudayaan lain seperti tari-tarian, wisata, permainan tradisional, kesusastraan, bahasa, manuskrip, dan sebagainya. Bertugas melakukan perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan untuk melestarikan kebudayaan yang ada di daerah, berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

“Kami tidak bisa bergerak sendiri, tetapi butuh kemitraan dengan instansi yang ada di daerah, antara lain dinas kebudayaan atau apa pun namanya yang melakukan tugas dan fungsi kebudayaan,” ungkap Muslimin saat berbincang santai dengan pembawa acara podcast, Gilang Rahmawati.

Terkait dengan urgensi pelestarian dan perlindungan kebudayaan di Bumi Tambun Bungai, Muslimin menyebut, dalam rangka menggerakkan pelestarian kebudayaan yang sifatnya fisik, pihaknya tentu harus melakukan kajian terlebih dahulu.

“Sebagai contoh bangunan Pesanggrahan Tjilik Riwut, kami sudah melakukan kajian teknis betapa pentingnya bangunan itu. Kemudian, Paviliun Tjilik Riwut, kami sudah kaji itu, ada nilai yang melekat dalam bangunan tersebut, yakni aspek kesejarahan,” jelasnya.

Pemugaran perlu dilakukan dalam upaya menjaga eksistensi suatu objek kebudayaan. Dalam hal ini objek cagar budaya maupun objek yang masih diduga cagar budaya. Pada prinsipnya, tutur Muslimin, memugar bangunan cagar budaya berbeda dengan memugar bangunan yang bukan kategori cagar budaya. Perlakuannya berbeda, karena harus memerhatikan kaidah bangunan lama.

“Kota Palangka Raya punya 15 bangunan cagar budaya yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kota melalui rekomendasi tim ahli cagar budaya,” sebutnya.

Menurut Muslimin, ada satu bangunan di Kota Palangka Raya yang cukup menarik baginya dari segala aspek kecagarbudayaan sebagai bangunan bersejarah, yakni Gedung KONI Kalteng. Dahulunya merupakan kantor DPRD Provinsi Kalteng. Bangunan itu termasuk dalam objek diduga cagar budaya (ODCB).

“Kenapa bangunan itu masuk ODCB, karena dulu pernah disidangkan untuk menjadi CB, saya sebagai ketua tim ahli cagar budaya kota dan Provinsi Kalteng saat ini, kami sudah mengembalikan naskah akademik kajian itu ke dinas tiga tahun lalu, memang masih ada beberapa dokumen yang harus kami lengkapi,” terangnya.

Menurut pria bergelar Master of Arts (MA) ini, gedung lama KONI Kalteng sendiri sudah diusulkan untuk objek cagar budaya tingkat kota. Mekanisme pengusulan cagar budaya itu, ujarnya, berjenjang. Dari kota, provinsi, baru diusulkan ke pusat untuk menjadi cagar budaya nasional.

“Gedung KONI Kalteng itu memungkinkan untuk dijadikan sebagai ikon penanda tumbuh dan berkembangnya sejarah sosial dan politik di Kota Palangka Raya,” ujarnya. (*/ce/ala/kpfm)

285 Views