Garap Sektor Pertanian Skala Luas di Kalteng
PALANGKA RAYA – Rencana kerja sama RI dan China untuk mengembangkan lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah (Kalteng) menjadi angin segar bagi pengembangan sektor pertanian. Karakteristik lahan di Kalteng yang merupakan rawa gambut dan masih terbatasnya mekanisasi pertanian, menjadi alasan kuat mengapa kerja sama itu dinilai sangat krusial.
Peneliti padi lahan rawa dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Susilawati mengatakan, rencana tersebut perlu disambut baik. China bakal menjalankan kerja sama itu secara bertahap. Tidak mesti harus langsung membuka lahan 1 juta hektare (ha).
“Dari segi kesesuaian lahan, Kalteng memiliki kesesuaian untuk pengembangan tanaman padi, luasnya itu memenuhi, artinya secara umum siap menerima itu, kesiapan negara lain itu (China) untuk membantu dari sisi teknologi,” kata Susilawati saat diwawancarai Kalteng Pos melalui telepon saat tengah meninjau lokasi pertanian food estate di Pulang Pisau, Senin (29/4).
Kemudian terkait teknologi, lahan, dan perkara teknis pertanian lainnya, Kalteng memiliki agroekosistem yang berbeda dengan China. Baik kondisi lahan maupun sistem pengelolaannya.
“Maka dari itu kita perlu melihat dahulu teknologi seperti apa yang cocok. Kalai menyangkut pengelolaan padi, teknologi China memang diakui Food and Agriculture Organization (FAO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, teknologi pertanian yang dimiliki China sudah diakui internasional,” jelasnya.
Maka dari itu, perlu diketahui teknologi seperti apa yang bakal diaplikasikan untuk pengembangan pertanian di Kalteng. Susilawati meyakini, jika sudah menggarap lahan, China akan menyesuaikan metode penggarapan yang digunakan, sehingga tidak ujug-ujug mengaplikasikan teknologi tanpa mempertimbangkan kecocokan dengan kondisi tanah pertanian di Bumi Tambun Bungai.
“Dari pengalaman saya mengamati teknologi pertanian China, mereka memiliki agroekosistem yang dikelola untuk tanaman padi, sangat luar biasa dalam skala luas, mereka memiliki lahan-lahan yang bisa dikelola dengan baik dengan mekanisasi skala luas,” sebutnya.
Akan tetapi, terdapat kondisi yang membuat sektor pertanian di China lebih mudah dibanding Indonesia. Dengan ideologi komunis yang dijalankan, pemerintah China bisa mengatur seluruh lapisan masyarakat. Salah satunya, petani digaji oleh negara dan hasil panen diambil oleh negara untuk kemudian dijual ke pasar.
“Jadi kalau sampai waktu tanam, petani di sana mendapatkan bantuan subsidi pupuk, lalu sarana produksi lain itu sudah stand by disediakan pemerintah. Petani hanya bekerja dengan gaji per bulan,” ujarnya. Dengan hasil panen yang pasti akan diangkut oleh negara, maka petani di China sudah terbiasa menggarap lahan skala luas.
Sementara di Kalteng, ujar Susilawati, pengelolaan lahan pertanian skala luas masih belum biasa dilakukan para petani. Pengelolaan pertanian di Kalteng masih terbatas pada kelompok tani atau rumah tangga.
“Saya sangat appreciate kalau mekanisme demikian diaplikasikan di Indonesia. Kalau terkait teknologi, saya pikir tidak perlu khawatir,” sebutnya.
Menurut Susilawati, rencana pengembangan lahan sejuta hektare jangan dipikir simsalabim alias langsung direalisasikan dengan membuka lahan lagi atau areal baru. Sebab, sudah dikatakan bahwa program itu akan dijalankan secara bertahap. Apalagi Kalteng memiliki area-area sawah yang siap diperbaiki, sehingga tidak perlu membuka lahan baru.
“Kita sudah ada food estate, lahan-lahan itu bisa kita optimalkan. Harapan kami, teknologi yang akan digunakan oleh China mampu mengoptimalkan lahan-lahan yang belum termanfaatkan itu,” ujarnya.
Menurut Susilawati, karena sifat tanah di Kalteng yang kebanyakan memiliki tingkat keasaman tinggi, maka perlu dipikirkan teknologi yang akan diterapkan nanti. Kalteng juga memerlukan mekanisasi pertanian, karena pertanian di Kalteng terkendala oleh keterbatasan sumber daya manusia (SDM).
Terpisah, Wakil Gubernur Kalteng H Edy Pratowo mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana yang disampaikan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan tersebut. Saat ini, di bawah arahan Gubernur Kalteng, pihaknya mulai melakukan persiapan dan koordinasi terkait proyek besar tersebut.
“Biasanya pusat akan bergerak cepat, Kalteng ini kan salah satu yang menjadi lokasi fokus (lokus) ketahanan pangan Indonesia, yang diharapkan menjadi lumbung pangan nasional,” ujarnya kepada awak media usai memimpin upacara peringatan Hari Otonomi Daerah 2024 di halaman Kantor Gubernur Kalteng, Kamis (25/4).
Pemprov Kalteng berterima kasih kepada pemerintah pusat yang sudah berkenan mempercayakan Kalteng sebagai lokasi ketahanan pangan nasional. Dikatakan Edy, Kementerian Pertanian RI juga sudah menyiapkan program optimalisasi lahan rawa dan pompanisasi 81.000 ha lahan di Kalteng. Ia berharap program itu bisa meningkatkan produktivitas hasil pertanian Kalteng.
“Untuk wilayah-wilayah, kemarin itu ada di 10 kabupaten, di antaranya Kapuas 50.000 hektare, kemudian Pulang Pisau 21.000 hektare, sisanya ada di daerah-daerah yang lain yang punya potensi lahan,” bebernya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalteng, Rahmat Nasution Hamka, mengaku optimistis proyek tersebut dapat berjalan lancar. Menurutnya, Kalteng memiliki potensi yang besar dalam bisnis sektor pertanian.
“Potensi lahan kita ini kan luar biasa, tinggal bagaimana pengolahannya yang didukung teknologi modern,” kata Rahmat kepada wartawan, Rabu (24/4).
Menurutnya, adanya tawaran dari Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan untuk menggandeng China membawa teknologi pertaniannya ke Kalteng, merupakan angin segar untuk kemajuan pertanian di Bumi Tambun Bungai.
“Kenapa tidak? Toh kita juga siap kan, anak-anak muda kita, petani-petani milenial kita, para pemuda di Kalteng harus siap menyambut itu, sehingga kita juga bisa ambil bagian dalam proyek itu,” katanya.
Menurut Rahmat, potensi bisnis pertanian di Kalteng sangat luar biasa. Tinggal bagaimana kemudian didukung oleh teknologi pertanian yang memadai. Sementara, untuk memiliki teknologi pertanian yang memadai, butuh biaya yang tidak kecil.
“Teknologi itu kan mahal, China memang bagus dalam hal inovasi iptek, negara itu juga tidak pelit teknologi, diharapkan bisa mendukung kemajuan pertanian Kalteng,” tambahnya.
Sementaara itu, Direktur Eksekutif LSM Save Our Borneo Muhammad Habibie mengaku heran dengan pemerintah yang sangat ingin membangun ketahanan pangan skala luas di Kalteng. Seperti diketahui, proyek ketahanan pangan di Kalteng tidak dilakukan kali ini saja, melainkan punya sejarah yang panjang. Dimulai dari zaman orde baru dengan proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektare (ha).
“Padahal kalau dilihat-lihat kan hampir semuanya gagal atau tidak berjalan dengan baik, kami sangat menyayangkan rencana itu, mengapa tidak mengoptimalkan lahan-lahan pangan yang ada terlebih dulu dan mempertahankan lahan-lahan pangan dari provinsi lain,” ujarnya kepada Kalteng Pos, Kamis (25/4).
Tidaklah salah pemerintah mengambil keputusan untuk mendatangkan China menggarap lumbung pangan di Kalteng dengan teknologi canggih. Tetapi, ujar Habibie, keputusan itu bisa baik di satu sisi, tetapi buruk untuk sisi lainnya. Salah satunya dampak buruk bagi lingkungan. Sebelum ini, pemerintah juga sudah menjalin kerja sama dengan Korea Selatan untuk pengembangan food estate singkong di Kalteng, tetapi hasilnya pun belum jelas.
“Jangan sampai Indonesia justru jadi terbebani utang, kan ada banyak proyek dengan China yang menjadi utang bagi negara kita, salah satunya kereta cepat,” tuturnya.
Ia juga mempertanyakan bagaimana jika proyek tersebut gagal. Jangan sampai proyek ini justru menambah pembukaan hutan Kalteng yang kondisinya saat ini makin sedikit. Tak hanya itu, ia juga mempertanyakan kebutuhan siapa yang ingin dipenuhi dari adanya proyek pangan yang akan dibangun dengan sangat luas tersebut.
“Untuk memenuhi kebutuhan siapa, apakah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri, atau bisnis pangan di dunia, apalagi melibatkan negara lain,” ujarnya.
Menurutnya, jika tujuan dari proyek itu adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dari ancaman krisis pangan, maka lahan-lahan pangan yang sudah ada yang perlu dipertahankan. “Kemudian upaya penguatan, pendampingan, dan dukungan dari pemerintah kepada masyarakat harus ditingkatkan, kalau pemerintah bangun proyek baru, tentunya harus ada lahan baru yang dibuka,” tuturnya.
Maka dari itu, Habibie menyebut pemerintah perlu membuktikan dahulu keberhasilan pemerintah menanam di lahan yang ada sekarang ini (lahan eksisting). Apakah bisa berhasil atau tidak. Jika sudah terbukti berhasil, barulah memperluas lahan dengan tidak mengabaikan aspek lingkungan.
“Proyek dengan luasan mencapai satu juta hektare itu kan sangat ambisius, kami khawatir itu akan mengancam ketersediaan hutan dan keberlangsungan lingkungan Kalteng,” sebutnya.
Dari aspek ketahanan pangan, ujar Habibie, pihaknya memang tidak menolak. Tetapi, alangkah baiknya jika praktik-praktik ketahanan pangan yang selama ini dijalankan masyarakat didukung pemerintah.
“Bagaimana akses masyarakat selaku petani terhadap ketersediaan pupuk, benih, itu harus dipikirkan. Selama ini kan petani hanya melakukan praktik pangan itu secara mandiri, beli pupuk sendiri dengan harga yang tidak terjangkau alias mahal, begitu juga dengan benih,” sebutnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata mempertanyakan mekanisme proyek pertanian yang dicanangkan tersebut. Pelaksanaan megaproyek itu perlu dicek lagi. Apakah akan berbentuk konsesi untuk digarap sendiri oleh China ataukah melibatkan petani lokal dengan ditransfer pengetahuan dan teknologi.
“Kalau berbasis konsesi atau izin yang akan diberikan kepada korporasi dari China, itu akan menghilangkan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat khususnya petani,” kata Bayu kepada Kalteng Pos, kemarin.
Kemudian, perlu dipastikan proyek ketahanan pangan tersebut dilakukan di mana. Apakah dilakukan pada lahan sawah yang sudah ada (intensifikasi) atau menambah luasan sawah baru (ekstensifikasi). Sebab, keputusan itu akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan yang akan dijadikan lahan pengembangan pangan dan penerapan teknologi canggih tersebut.
“Jika dilakukan di lahan-lahan yang sudah eksisting seperti di Pandih Batu, itu kan pasti ada kendala dengan lahan yang sudah dikelola oleh petani di sana,” ujar Bayu
“Tetapi kalau itu berbentuk izin konsesi yang pengelolaannya sepenuhnya dilakukan oleh China, maka akan terjadi konflik dengan masyarakat khususnya petani,” tambahnya.
Sementara, jika rencana megaproyek itu dilaksanakan di lahan baru alias ekstensifikasi, maka tentu hal itu akan berdampak pada kerusakan lingkungan, dalam hal ini ekosistem gambut di wilayah Pulang Pisau maupun wilayah lainnya yang diusulkan untuk menjalankan proyek tersebut.
“Perlu dilihat lagi urgensinya, lagi-lagi kami pertanyakan apakah memang perlu mendatangkan korporasi atau perusahaan dari China untuk mengembangkan pertanian di Indonesia khususnya Kalteng,” ujarnya. (dan/ce/ala/kpfm)