Menarikan Ritual Penyembuhan, Padukan Sakralitas dan Seni Pertunjukan

 Murung Raya, Juara Pertama Tari Pedalaman FBIM 2024

Masyarakat suku Dayak Kalteng sejak dahulu memiliki beragam jenis ritual penyembuhan diri. Lazim dikenal sebagai pengobatan tradisional. Ritual penyembuhan ini berkaitan erat dengan spiritualisme yang lahir dari kearifan masyarakat lokal. Fragmen cerita tentang metode penyembuhan tradisional suku Dayak itu tersimbolisasi dalam lenggak-lenggok tubuh para penari yang tampil pada Lomba Tari Pedalaman FBIM 2024.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

SETITIK pelita menyala di tengah gelapnya panggung penampilan Lomba Tari Pedalaman FBIM 2024 di halaman Gor Indoor Serbaguna, Palangka Raya, Rabu malam (22/5). Seorang penari berputar-putar dari tengah panggung sambil memegang bolam lampu, mengitari panggung. Penampilannya disusul delapan orang penari yang bergerak bersisian. Cahaya mulai berpendar menerangi lekuk-lekuk tubuh para penari itu. Asap merah mengepul hebat ketika para penari mulai melenggak-lenggokkan tubuh mereka ke sisi-sisi panggung.

Di benak penonton, suasana sakral begitu terasa. Suasana itu tercipta dari gerakan-gerakan yang diperagakan penari dan musik latar katambung yang mendayu, diiringi syair berbahasa Dayak Siang. Musik berpadu padan dengan nada karungut. Makin lama tempo musik katambung makin cepat. Lalu, muncul tabuhan gong yang mengiringi alunan musik, menambah kemegahan penampilan. Tempo musik perlahan mulai cepat. Seiring itu, gerakan penari pun makin padu dan lincah.

Kemudian, tiga orang penari wanita masing-masing menarik tiga helai selendang yang terikat dari pinggang seorang penari pria. Satu selendang merah berada di tengah dan dua helai selendang kuning di sisi kiri dan kanan pinggang. Tempo musik melambat, tiga penari wanita menari bersama selendang kain yang mengikat pinggang penari pria itu. Sang penari pria yang diapit tiga penari wanita itu tampak melenggak-lenggokkan tubuhnya dengan anggun.

Kemudian penari pria itu pindah ke sisi belakang. Tempo musik menjadi cepat. Ia pun menari dengan sangat lincah seperti kerasukan di tengah 11 penari lain. Tempo musik melambat, irama tari pun menyesuaikan. Syair bahasa Dayak Siang bermakna doa dan harapan kemudian mengiringi gerak tari. Lalu, empat penari wanita menghidupkan api di atas tiang kecil terbuat dari kayu yang berada di sisi belakang panggung.

Musik bertabuh cepat, 12 penari kemudian muncul di sisi depan panggung menghadap para penonton. Demikianlah pertunjukan tari pedalaman dari Kabupaten Murung Raya, peserta kesembilan yang tampil pada Lomba Tari Pedalaman FBIM 2024 malam itu. Ribuan penonton yang memadati hajat budaya itu pun bersorak-sorai usai menyaksikan pertunjukan singkat yang sakral nan artistik itu.

Sebelum tampil, pembawa acara menjelaskan, tarian itu menceritakan tentang proses melepas pemberian atau warisan dari leluhur yang didapat melalui mimpi. Di dalamnya ada sebuah sarana atau media ritual penyembuhan, serta meminta pertolongan dan perlindungan kepada Tuhan YME.

Tarian tersebut merupakan garapan yang menginterpretasikan kembali tradisi Suku Dayak Siang, yakni uik danum dan punan kareho dalam posisi ritual pengobatan, yakni tete uman baun jaot ngengka pocihan atas aksi yang spiritual, ragawi, dan batiniah. Di dalam pemaknaan ritual balian, ini merupakan prosesi basir saing nenong bapunu dan nengka pocihan dari seseorang, yang apabila tidak dirawat atau dijaga maka dapat menimbulkan sakit fisik, mental, bahkan meninggal dunia.

Dari 13 kabupaten/kota lain yang saling mengunggulkan para penarinya di lomba tersebut, Kabupaten Murung Raya keluar sebagai juara pertama. Kemenangannya ada pada tarian yang mengulas cerita dan ritual pengobatan masyarakat Dayak Siang tersebut. Kabupaten yang terletak di ujung timur Kalteng ini berhasil meraih nilai 855. Sementara juara kedua diraih peserta dari Barito Utara dengan nilai 852, disusul peserta dari Palangka Raya dengan nilai 850.

Sungguh merupakan selisih nilai yang sangat kecil. Kemenangan itu sedikitnya sudah terlihat dari animo penonton usai menyaksikan penampilan ketiga daerah tersebut.

Kontestan dari Barito Utara mengangkat tari ritual penyembuhan berjudul Mamantun. Temanya adalah sabadiri sebagai media ritual penyembuhan mamantih yakni ritual penyembuhan yang dilakukan oleh basir karena diganggu oleh hantu. Cerita ini berlatar daerah pinggiran Sungai Barito Utara. Biasanya penyakit itu berwujud sakit perut, sakit kepala berkepanjangan, dan demam panas dingin.

Sementara peserta dari Palangka Raya mengangkat ritual penyembuhan masyarakat suku Dayak di Kalteng bernama nyaruan bereng, merupakan tarian yang diadaptasi dari ritual sangiang yang dilakukan oleh pelaku ritual yakni panyanyiang. Tarian ini mencoba merekonstruksi runutnya panyanyiang memanggil roh leluhur untuk masuk ke dalam dirinya dan memohon untuk diberikan kesehatan dan umur panjang agar hal buruk dapat dilepaskan.

Koordinator tim tari pedalaman Kabupaten Murung Raya (Mura), Eddy Forwanto menjelaskan, tarian yang dibawakan itu disajikan sesuai dengan tema yang sudah ditetapkan oleh Disbudpar Kalteng, yakni tradisi penyembuhan. Mengangkat dari kebudayaan daerah di Mura, pihaknya pun melakukan eksplorasi untuk membuat gerak tari yang sesuai tema, berdasarkan kearifan lokal masyarakat Murung Raya.

“Kemudian kami dapatlah yang namanya ritual penyembuhan ngengka pocihan, itu seperti ilham atau pemberian dari leluhur, sehingga harus dilepaskan melalui sebuah ritual penyembuhan,” ungkap Eddy kepada Kalteng Pos, Kamis (23/5).

Eddy menjelaskan, secara historis masyarakat Dayak zaman dahulu mayoritas menganut agama Kaharingan. Sehingga metode penyembuhan atau pengobatan sehari-hari berbasis budaya lokal yang menyangkut kepercayaan kepada Tuhan.

“Ibaratnya masih tradisional, tidak medis, jadi dalam tari ini kami mengangkat prosesi penyembuhan zaman dahulu yang mengaitkan unsur spiritual dan batiniah,” tuturnya.

Menurut Eddy, tiap suku Dayak di Kalteng memiliki keunikan sendiri dalam ritual penyembuhan. Di Kabupaten Murung Raya juga tidak hanya satu tradisi, meski banyak terdapat persamaan.

“Kalau kami ambil sampel di Desa Tumbang Apat, Kecamatan Sungai Baubat, Murung Raya, di sana masih kental dengan budaya itu, kami kemarin berkunjung ke sana untuk melihat dan meneliti sumber awal gerak tari ini, jadi kami melihat langsung basir yang melakukan,” sebutnya.

Dalam tarian tersebut, mereka menggunakan bahasa Kandan dan bahasa Sangiang, yakni bahasa yang dianggap sebagai bahasa tertinggi suku Dayak Siang. Bahasa ini digunakan dalam berkomunikasi dengan leluhur.

“Kalau kepercayaan Dayak Siang, melalui bahasa Kandan ini kita bisa berkomunikasi langsung dengan mereka (leluhur, red), bisa dalam bentuk doa, permintaan, penyembuhan, atau hajat yang ingin dilakukan,” jelasnya.

Sejarah dan filosofi itulah yang tersimbolisasi dalam gerak demi gerak tari yang mereka tampilkan. Pada adegan awal, tampak seorang penari memegang lampu kecil. Itu merupakan gambaran dari seseorang yang sedang mengalami sakit, yang sakitnya itu berawal dari mimpi. Orang sakit itu diberikan sesuatu oleh leluhur berupa benda terang bercahaya.

“Kalau dalam cerita, sebetulnya lampu itu merupakan batu bercahaya, itulah yang dinamakan dengan pocihan, jadi dia masih tertidur, dapat mimpi begitu, lalu bangun dalam kondisi sudah dirasuki leluhur,” sebutnya.

Kemudian, adegan yang menampilkan tiga selendang yang ditarik oleh tiga penari wanita dari pinggang seorang penari pria, bermakna mengikat orang yang sakit agar jiwa atau roh yang bersangkutan tidak dibawa ke alam baka, sehingga tetap terjaga dan berhasil mencapai kesembuhan.

“Sosok penari itu mewakili seorang yang sakit, yang rohnya ingin ditarik, tetapi ditahan agar tetap terjaga,” ucapnya.

Agar bisa tampil maksimal dalam perlombaan kali ini, persiapan dilakukan sejak tiga bulan lalu, Februari-Mei 2024. Sebelum melenggang untuk berlomba di tari pedalaman FBIM 2024, mereka terlebih dulu memenangkan Festival Tirangka Balang tingkat kabupaten, lalu terpilih untuk mewakili kabupaten pada ajang FBIM 2024.

“Jumlah personel yang tampil kemarin kurang lebih 25 orang, yakni 12 penari, 8 pemusik, dan 5 orang tim pendukung,” bebernya.

Penampilan mereka juga didukung penuh Pj Bupati Murung Raya Hermon serta dibimbing langsung Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Mura Ferdinand Wijaya dan Kepala BKPSDM Kabupaten Mura Lentine Miraya.

Salah satu juri Lomba Tari Pedalaman FBIM 2024, Abib Habibie Igal menjelaskan, malam itu seluruh peserta diminta menampilkan tarian yangmenggambarkan ritual sakral adat suku Dayak, khususnya ritual penyembuhan, bagaimana suku Dayak melakukan ritual berkomunikasi dengan leluhur untuk membantu proses penyembuhan atau pengobatan.

Ritual yang digambarkan dalam seni tari itu, ujar Igal, lazimnya diperagakan oleh satu orang penari yang berperan sebagai trans atau seseorang yang sedang dalam kondisi tidak sadar karena dirasuki roh leluhur. Dalam ritual suku Dayak, seseorang akan dirasuki oleh roh leluhur untuk membantu mengangkat penyakit.

“Tubuh trans yang ada di Kalimantan tentu berbeda dengan trans yang ada di luar Kalimantan, keunikan trans ini yang sebenarnya menjadi menarik ketika dikomposisikan dalam gerak tari,” ujarnya ketika diwawancarai usai penampilan tari seluruh peserta.

Jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini menyebut, terdapat perbedaan antara kesakralan ritual yang dilakukan masyarakat adat Dayak dalam kehidupan sehari-hari dengan yang ditampilkan dalam seni pertunjukan oleh peserta. Igal menambahkan, ritual sakral yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat itu adalah milik masyarakat.

“Ketika ritual sakral itu ditampilkan di atas panggung, maka itu menjadi milik kita bersama,” ucap Igal.

Sementara itu, budayawan Kalteng Gauri Vidya Dhaneswara menjelaskan, masyarakat Dayak secara khusus yang berdiam di wilayah Kalteng terdiri dari berbagai subkelompok. Masing-masing memiliki kekhasan dalam aktivitas budaya.

“Seluruh aktivitas budaya bahkan sampai pada aktivitas religi yang dipraktikkan, tentunya merupakan bentuk dari pemahaman akan kondisi lingkungan fisik sekitar,” kata Gauri kepada wartawan, Kamis (23/5).

Apabila hal tersebut menjadi bagian dari aktivitas religi, lanjut Gauri, maka termasuk dalam kategori sakral. Dari praktik-praktik tersebut, orang dapat melihat secara langsung maupun tidak langsung mengenai adanya isu-isu penting dalam kehidupan masyarakat Dayak, yaitu manifestasi dari upaya menjaga alam maupun tata aturan dalam mengelola hubungan sosial antarmanusia maupun dengan Tuhan. Hal itulah yang kemudian dikenal dengan kearifan lokal.

“Terkait penampilan tari yang ditampilkan pada FBIM 2024, walaupun berdasar pada praktik ritual yang sifatnya sakral, tetapi harus dipahami bahwa tarian-tarian yang ditampilkan itu merupakan bentuk kreasi atau pengembangan yang mengikuti kaidah-kaidah dalam seni tari,” sebutnya.

Walaupun tetap ada unsur ritual yang terbawa, lanjut Gauri, tetapi peserta dari masing-masing daerah telah melibatkan dan menerima arahan serta aturan dari para tokoh agama di daerah masing-masing, sehingga tetap ada pemisahan antara sisi sakral maupun profan. (*/ce/ala/kpfm)

560 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.