
PALANGKA RAYA – Tiap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kalteng, memiliki kewajiban untuk merealisasikan plasma alias kebun masyarakat sebesar 20 persen. Tujuannya agar perekonomian masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah perkebunan dapat dalam kondisi baik. Kehadiran investor sudah seharusnya berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun karena rumitnya persoalan lahan di Kalteng, pemerintah membolehkan realisasi plasma tidak terbatas dalam bentuk kebun, tetapi bisa juga dalam wujud usaha produktif lain.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng H Rizky R Badjuri mengungkapkan, kendala di lapangan dalam menyelesaikan persoalan perkebunan kelapa sawit di Kalteng, salah satunya terkait realisasi plasma 20 persen, adalah akibat ketiadaan lahan untuk dijadikan kebun plasma bagi masyarakat.
“Makanya dinas perkebunan mendorong perusahaan untuk mewujudkan plasma kepada masyarakat dalam bentuk yang lain, itu dibenarkan sesuai regulasi yang diperbarui pemerintah pusat, jadi perwujudan plasma bisa dalam bentuk kegiatan usaha produktif lain,” jelas Rizky kepada wartawan di Kantor Gubernur Kalteng, Rabu (10/7).
Kegiatan usaha produktif sebagai substitusi kewajiban plasma 20 persen itu, ujar Rizky, dapat diwujudkan dalam beragam bentuk usaha yang disesuaikan dengan potensi daerah sekiar perkebunan.
“20 persen plasma itu tetap wajib. Bagaimana caranya? Itu ada rumusnya. Beberapa perusahaan sudah ada yang meng-update penerapannya. Terkait pola penerapan kan bisa disesuaikan dengan potensi wilayah, perlu ada kesepakatan bersama antara perusahaan, masyarakat, koperasi,” ujarnya seraya menekankan bahwa usaha produktif itu harus mampu menyejahterakan masyarakat.
Dijelaskannya, penerapan plasma 20 persen yang menjadi kewajiban perusahaan itu bisa dalam bentuk lahan atau kegiatan lain. Kegiatan lainnya itu adalah bagaimana pemerintah hadir di antara kedua belah pihak (PBS dan masyarakat), agar realisasi plasma 20 persen diwujudkan. “Salah satunya dalam bentuk usaha produktif,” imbuhnya.
Rizky menjelaskan, diambilnya kebijakan itu merupakan solusi mengatasi masalah lahan di Kalteng yang tak kunjung selesai. Jika masalah lahan berupa tumpang tindih dengan kawasan hutan atau keterlanjuran pembangunan kebun sudah diselesaikan, maka realisasi kebun plasma sebanyak 20 persen itu bisa direalisasikan.
“Tapi tergantung kesepakatan kedua belah pihak, karena umumnya perusahaan-perusahaan besar di Kalteng terkendala masalah lahan untuk bisa merealisasikan plasma, alhamdulillah sudah mulai mencari pola lain untuk merealisasikan kewajiban plasma itu, salah satunya melalui usaha produktif lain,” ujarnya.
Lebih lanjut Rizky menjelaskan, salah satu kendala merealisasikan lahan plasma adalah adanya perkebunan kelapa sawit yang berada di atas lahan berstatus kawasan hutan. Apabila masyarakat ingin lahan sawit di atas kawasan hutan itu menjadi kebun plasma, maka akan sulit diwujudkan karena sertifikat calon petani (CP) tidak bisa keluar.
“Kan ada banyak persoalannya, jadi tidak bisa sesuatu itu diwujudkan sesuai keinginan, karena ada banyak aturan yang mesti jadi perhatian,” tuturnya.
Pada dasarnya, ujar Rizky, kewajiban plasma sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang, yakni perusahaan merealisasikan kebun masyarakat sebanyak 20 persen dari inti kebun. Namun untuk di Kalteng, kewajiban ini terkendala karena lahan-lahan yang bersinggungan dengan perkebunan kelapa sawit masih dalam proses penyelesaian, entah pemutihan dan sebagainya.
Rizky memastikan sudah ada sekitar 80 persen perusahaan perkebunan di Kalteng yang telah menerapkan kewajiban plasma 20 persen. Hanya sekitar 20 persen perusahaan yang tercatat belum merealisasikan itu. Namun, lanjut Rizky, 20 persen perusahaan ini bisa saja sudah menerapkan plasma, tetapi belum ada kesepakatan dengan koperasi.
“Ada salah pemahaman, yang penting kan solusinya sudah dipertimbangkan. Kalau tidak ada lahan, bisa diterapkan dalam bentuk kegiatan usaha produktif,” tuturnya.
Tim satuan tugas (satgas) sawit yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah di lingkup pusat dan daerah sedang menyelesaikan persoalan tata kelola perkebunan kelapa sawit dari hulu ke hilir.
“Kalau kita bicara keterlanjuran, teman-teman dari satgas sawit hadir di Kalteng, tanggal 3 Desember sudah harus clear,” beber Rizky. Pada tanggal 3 Desember 2024, satgas sawit menargetkan masalah tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan di wilayah Kalteng sudah diselesaikan.
Pihaknya menerapkan kebijakan pemutihan kepada perusahaan-perusahaan yang lahan kebunnya dibangun di atas kawasan hutan. Sementara perusahan harus membayar denda kepada negara sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Tinggal penyelesaian beberapa ya, itu ada di KLHK, pemutihan untuk lahan yang telanjur dibangun jadi kebun itu diproses oleh satgas sawit, mereka bekerja bersama dengan beberapa kementerian,” bebernya. (dan/ce/ala/kpfm)