Desa Kaburan merupakan salah satu dari sekian desa di Kalimantan Tengah (Kalteng) yang telah meninggalkan sistem pertanian berladang.
Warga desa setempat kini harus mendatangkan beras dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Padahal, ketika sistem pertanian berladang masih diterapkan, masyarakat setempat mampu memenuhi beras secara mandiri lewat sistem pertanian manugal.
Kepala Dusun Tumbang Onah, satu dusun di Desa Kaburan, Sipiansyah Alsuan menjelaskan, petani peladang di Desa Kaburan sudah tidak ada lagi sejak lama. Sebab, ada banyak mata pencaharian lain yang dirasa lebih menjanjikan, seperti bertani karet dan berkebun kelapa sawit.
“Sudah puluhan tahun enggak ada lagi orang bertani, saya sendiri sempat buka ladang, tetapi tidak memungkinkan karena kadang-kadang di sini tanahnya keras, sulit untuk padi tumbuh, kalaupun bisa tumbuh, tidak subur,” jelas ayah enam anak itu.
Meski demikian, Sipiansyah mengakui bahwa hampir dua dekade lalu masyarakat Kaburan memiliki mata pencaharian sebagai petani ladang. Faktor utama berpindahnya mata pencaharian masyarakat setempat adalah karena menoreh getah lebih menjanjikan perekonomian.
“Sekarang ini usaha masyarakat di sini yang paling banyak adalah menoreh getah, sebagian lagi menanam sawit,” ucap pria yang mengaku sudah tinggal di Dusun Tumbang Onah selama 23 tahun.
Kepala Desa Kaburan, Metro, akibat sudah tidak ada lagi warga Desa Kaburan yang berladang, maka seluruh kebutuhan beras harus dipasok dari luar yang jaraknya jauh, seperti Banjarmasin.
“Masyarakat sini sebelumnya berladang, tetapi sudah lama ditinggalkan, sejak saya kecil, tahun 2002 masih ada, tetapi mulai berkurang,” ungkapnya.
Selain kondisi lahan yang tidak memungkinkan, Metro menyebut, biaya berladang cukup mahal. Hama juga sering menyerang. Terutama pada lahan-lahan pertanian yang berada dekat perkebunan kelapa sawit.
“Banyak sekali keluhan masyarakat terhadap mahalnya beras, masyarakat di sini mengonsumsi beras lokal dari Pulang Pisau dan Banjarmasin,” pungkasnya.
Masyarakat Desa Kaburan, khususnya yang bermukim di Dusun Tumbang Onah, menggantungkan kehidupan mereka pada aktivitas bertani karet. Sayangnya, pekerjaan itu tidak terlalu bagus untuk menopang perekonomian mereka, karena harga karet selalu anjlok di pasaran.
“Getah karet yang kami jual dihargai murah, sementara kebutuhan hidup meroket, makanya kami mau mengorbankan karet, lalu pindah kerjaan ke berkebun sawit,” ungkap Kepala Dusun Tumbang Onah, Sipiansyah Alsuan.
Ia mengatakan, lantaran akses jalan menuju Desa Kaburan yang tidak memadai, harga jual karet jadi anjlok. Di daerah hilir dan Kahayan yang akses jalannya lebih baik, getah karet yang dijual petani dibeli seharga Rp12 ribu per kilogram.
“Sementara harga karet yang bisa dijual kami hanya Rp7 ribu per kilogram, kan jauh sekali, kasihan para petani di sini,” ujarnya.
Getah karet yang dijual oleh petani Desa Kaburan harus diantar menggunakan transportasi air berupa perahu kecil. “Setelah sampai Pujon, barulah diangkut lagi pakai transportasi darat,” imbuhnya.
“Makanya saya tekankan perbaikan jalan, karena akses yang sulit, segala barang yang datang jadi mahal, segala yang dijual jadi terkendala, salah satunya karet, harga jualnya murah sekali,” tandasnya. (dan/ce/ram/kpfm)