
Penulis Adalah Ahli Pemugaran Cagar Budaya dan Mantan Ketua Tim Pemugaran Angkor Wat di Kamboja.
BANGUNAN eks rumah jabatan (rujab) wali kota Palangka Raya itu berdiri dengan kondisi yang sangat memprihatinkan di pinggir Bandara Tjilik Riwut. Bagaimana tidak memprihatinkan? Bangunan yang dibangun tahun 1962, bercirikan atap pelana dengan tutup sirap itu, sebagian telah hancur, baik atap maupun tiang-tiang penyangganya.
Sehubungan dengan hal itu, kita patut bersyukur bahwa instansi yang terkait seperti Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII dan Pemko Palangka Raya melalui Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Palangka Raya mengambil inisiatif segera menurunkan tim ahli cagar budaya untuk menetapkan status bangunan tersebut menjadi bangunan cagar budaya. Dengan demikian, legal aspek perlindungan bangunan tersebut sebagai cagar budaya telah terpenuhi.
Meski demikian, usaha pelestarian terhadap bangunan cagar budaya eks rumah jabatan wali kota tersebut tidaklah harus berhenti pada pemberian status hukum penetapan. Pemko dengan dibantu BPKW XIII berusaha untuk memugar dan memanfaatkan nantinya setelah proses pemugaran selesai. Sudah barang tentu, pemugaran terhadap bangunan cagar budaya akan selalu berasaskan keaslian, meskipun ada pengembangan yang disesuaikan dengan fungsi baru, baik secara adaptasi maupun revitalisasi, seperti tercatat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Asas Keaslian.
Sudah merupakan hal yang biasa kita jumpai pada monumen atau bangunan-bangunan yang bersifat living monument, dalam perjalanan waktu pasti akan mengalami perubahan-perubahan atau penambahan baru, baik dari segi struktural maupun arsitektural. Seperti kita ketahui bahwa bangunan eks rumah jabatan wali kota ini juga sudah mengalami penambahan-penambahan baru, terutama pada bagian lantai, plafon, atap, dan lainnya.
Oleh karena itu, ketika tim termasuk penulis meninjau ke lokasi bangunan tersebut, Dr Muslimin A.R Effendy, MA Kepala BPK W XIII itu, begitu melihat ada beberapa bagian bangunan yang asli sudah diganti, dia menyampaikan bahwa dalam pemugaran kali ini harus dikembalikan seperti aslinya. “Lantai baru harus kita ganti dengan lantai seperti ini,” katanya sambil menunjuk ke arah tegel asli berwarna abu-abu yang tersisa di garasi dan kamar tidur.
Asas atau prinsip keaslian memang merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan pemugaran bangunan cagar budaya, karena dikhawatirkan perubahan atau tambahan yang dilakukan sebelumnya itu, justru akan memerosotkan nilai penting bangunan itu sendiri. Oleh karena itu, konvensi internasional UNESCO, yang kemudian diadopsi sebagai regulasi oleh negara-negara berkembang, memberi istilah tentang perubahan yang memerosotkan nilai penting dengan istilah misguided change atau perubahan yang salah arah dan insensitife change atau perubahan yang kurang peka.
Lantas, bagaimana dengan undang-undang kita? Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terutama pasal 77 ayat (2) tertera bahwa pemugaran cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan: Keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan atau teknologi pengerjaan; Kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin; Penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak; Kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.
Apa yang tersurat dalam pasal 77 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya tersebut yang akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan pemugaran eks rumah jabatan wali kota, utamanya prinsip keaslian agar nilai penting sejarah, arsitektur, dan kebudayaan bangunan tersebut tetap lestari dan bermanfaat untuk generasi selanjutnya.
Kabarnya, setelah selesai dipugar, bangunan cagar budaya eks rumah jabatan wali kota ini akan dimanfaatkan sebagai museum. Suatu ide yang patut kita dukung bersama. Pengertian pemanfaatan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 1 ayat (33) berbunyi: “Pemanfaatan adalah pendayagunaan cagar budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, dengan tetap mempertahankan kelestariannya.”
Dari apa yang tersurat dalam undang-undang tersebut, dapat dipahami bahwa museum itu nantinya akan memberikan kesejahteraan lahir maupun batin kepada masyarakat. Sejahtera lahir artinya museum akan mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar, untuk ikut berpartisipasi dalam melaksanakan fungsi museum. Misalnya, dengan menjajakan suvenir atau pemandu yang bisa menjelaskan kepada pengunjung. Sedangkan kesejahteraan batin museum mengandung arti harus mampu memberi pencerahan tentang nilai penting sejarah bangunan cagar budaya eks rumah jabatan wali kota.
Menurut sejarah, keberadaan bangunan cagar budaya ini tidak terlepas dengan kiprah Presiden RI pertama, Ir Soekarno. Konon, dalam ide besarnya ingin membangun Kota Palangka Raya, Bung Karno telah mengundang para arsitek dari Rusia dan ditempatkan di bangunan ini. Nilai penting sejarah yang mendunia inilah yang akan mengangkat Palangka Raya menjadi kota yang bermartabat, karena menjunjung tinggi sejarah dan budaya bangsa. Semoga. (*/kpfm)