Tahun Ini Kalteng Targetkan Pengerjaan Cetak Sawah Setengah Juta Hektare

KUALA KAPUAS – Menteri Pertanian (Mentan) RI Amran Sulaiman beserta rombongan mengunjungi kawasan pengembangan food estate di Desa Bentuk Jaya, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas, Jumat (27/9). Dalam kunjungan itu, Amran mengaku optimistis Kalteng dapat menjadi salah satu wilayah lumbung pangan nasional.
Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka melihat lokasi cetak sawah di wilayah bekas proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektare zaman Orde Baru. Dalam kunjungan itu, Amran menyebut, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto meminta agar Indonesia mulai membangun pertanian modern.
“Kita bertransformasi dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Target kami adalah tiga juta hektare,” ucap Amran.
Selain di Kalteng, Amran menyebut lahan cetak sawah yang sudah dikerjakan pemerintah adalah di Merauke, Papua Selatan seluas satu juta hektare. Di Kalteng, pemerintah menyiapkan satu juta hektare untuk proyek lumbung pangan, dengan target pengerjaan tahun ini seluas 500 ribu hektare.
“Kemudian Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan. Ini kami fokuskan di daerah-daerah yang menjadi lumbung pangan Indonesia nanti,” kata Amran.
Amran optimistis dengan keberhasilan proyek cetak sawah ini. Ia bahkan menyebut lahan 500 ribu hektare di Kalteng bisa menghasilkan lima juta ton pangan, sekaligus menjawab defisit pangan di Indonesia.
“500 ribu hektare ini kita selesaikan, panen dua kali saja, itu 10 ton dikali 500 ribu sama dengan lima juta ton, artinya defisit yang ada sekarang bisa diselesaikan dengan produksi padi dari lahan-lahan pertanian yang ada di Kalteng,” jelasnya.
Oleh karena itu, lanjut Amran, pihaknya memfokuskan agar lumbung pangan di Merauke dijadikan sebagai cadangan pangan nasional, sedangkan lumbung pangan di Kalteng untuk menutupi defisit produksi beras.
Lebih lanjut ia mengatakan, proyek cetak sawah ini merupakan strategi pemerintah untuk menyetop impor, mencapai swasembada beras, bahkan bisa mengekspor beras.
“Itu mimpi besar yang bisa kita capai paling lambat tiga tahun,” ujarnya.
Amran mengklaim proyek cetak sawah ini merupakan berkah dan anugerah untuk masyarakat Kalteng, khususnya yang berada di Dadahup. Sebab, pemerintah menghibahkan alat mesin pertanian modern untuk masyarakat serta melibatkan para petani milenial dari luar daerah.
Amran meyakini bahwa dengan proyek cetak sawah yang menggelontorkan dana 7-10 triliun rupiah itu, Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. Selain itu, Amran juga optimistis tahun 2025 Indonesia mampu memproduksi padi lebih banyak dari tahun ini.
“Kalau mau berhasil itu harus ada kemauan, membangun narasi enteng, membangun pencitraan enteng, tapi membangun peradaban baru, membangun pertanian modern, menjadi lumbung pangan dunia dari Indonesia itu harus ada kemauan,” ucapnya.
Ia menjelaskan, pemerintah melaksanakan proyek cetak sawah menggunakan teknologi modern, bukan menggunakan sistem berladang tradisional masyarakat adat Kalteng. Alasannya, karena ingin menyejajarkan pertanian Indonesia dengan beberapa negara yang memiliki teknologi pertanian maju. Padahal, sistem pertanian tradisional dinilai lebih menjawab target menuju swasembada pangan itu sendiri. Upaya pemerintah untuk membuka cetak sawah baru, dinilai mengabaikan prinsip pemenuhan pangan lewat sistem pertanian tradisional yang sudah mengakar pada masyarakat adat Kalteng.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata, dalam mengejar swasembada pangan, pemerintah sebaiknya mengadopsi sistem pertanian tradisional seperti berladang.
Pemerintah diharapkan tidak mengejar target swasembada pangan melalui proyek pembukaan lahan dan konversi hutan skala besar, seperti rencana yang baru-baru ini digulirkan kembali.
Walhi Kalteng menyarankan pemerintah mengakui pola pertanian tradisional masyarakat Kalteng, alih-alih menggunakan sistem pertanian skala luas dan monokultur dalam bentuk sawah.
Kebijakan itu dinilai tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di Kalteng, khususnya petani lokal yang sehari-hari memenuhi kebutuhan pangan melalui sistem pertanian tradisional berladang.
“Wilayah yang akan menjadi sentra produksi pertanian seperti Pulang Pisau, Palangka Raya, Kapuas, Barito Selatan, ataupun Katingan, itu kan wilayah-wilayah yang sangat rentan kalau dilakukan aktivitas eksploitasi, karena kawasan hutan dan ekosistem gambutnya sudah sangat menurun,” ujarnya, Kamis (26/9).
Bayu mengatakan, sejak awal pihaknya sudah tegas menolak proyek-proyek ketahanan pangan yang dilakukan pemerintah dengan konsep pembukaan lahan skala besar, berupa konversi hutan dan lahan gambut secara luas. Ia menyarankan agar proyek yang akan berjalan dibatalkan, dan yang sudah berjalan segera dihentikan.
“Yang penting adalah memastikan terkait dengan pengakuan dan perlindungan sistem pertanian tradisional, sistem produksi pangan yang ada di Kalteng sendiri, karena terbukti bisa menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat di sini,” tuturnya.
Menurut Bayu, pemerintah dapat mengadopsi konsep pertanian tradisional dengan sistem berladang untuk mencapai target swasembada pangan, tanpa harus mengonversi hutan dan lahan dalam skala besar.
“Tanpa harus membuka lokasi baru, di atas lahan yang juga sudah tidak cocok karakteristiknya, pemerintah bisa mendukung sistem pertanian tradisional seperti berladang, karena lebih terbukti bisa mencapai ketahanan pangan bagi masyarakat,” jelasnya.
Tak hanya itu, masalah yang terjadi di Kalteng dewasa ini telah menunjukkan makin sedikitnya lahan-lahan produktif, karena banyak terkonversi menjadi areal industri perkebunan skala luas.
“Dengan wacana Kalteng akan membuka lahan cetak sawah baru seluas satu juta hektare, maka potensi kerusakan lingkungan makin besar ke depan, di tengah kondisi Kalteng yang sudah darurat ekologis,” pungkasnya. (dan/ce/ala/kpfm)